Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Hari Sabtu tanggal 9 Juli kemarin, tanpa tedeng aling-aling saya merasa harus pergi ke museum. Tidak ada yang mengajak, tidak ada yang menyuruh. Hanya ingin. Saya membuat daftar museum yang akan dikunjungi, tapi apa daya yang terealisasi cuma Museum Geologi. Yang saya rasakan adalah, saya pernah berkali-kali ke museum, tapi selalu beramai bersama acara sekolahan. Tidak pernah datang sendirian dalam kondisi sadar dan jauh dari euforia. Dalam kondisi merenung dan sendiri, melihat segalanya secara lebih holistik.
Di Museum Geologi, pengunjung sangat sepi jika dibandingkan mal-mal yang biasa kamu kunjungi. Padahal museum ini gratis. Saya langsung masuk ke sayap kanan, bagian sejarah alam semesta. Saya pandangi satu per satu display yang ada. Di sana ditunjukkan gambar dan tulisan mengenai proses pembentukan bumi pada mulanya. Hitungannya bukan puluhan atau ratusan tahun lagi, tapi ratusan juta tahun. Mulai dari awalnya ia sebagai bola panas, sampai terbentuk daratan dan lautan, munculnya organisme sederhana, hingga ada hewan bercangkang, mamalia, lalu monyet sampai nanti ada manusia. Cukup banyak saya mengalami kesulitan teknis oleh istilah-istilah yang agak asing. Tapi saya datang ke sana bukan untuk (atau setidaknya belum mempunyai tujuan untuk) memahami secara detail. Saya ke sana untuk merasakan suatu kesan berada di tengah-tengah sebuah kuburan kenangan.
Setelah dua jam berkeliling, saya pergi ke luar museum. Dari pintu, saya melihat gerombolan supir angkot saling menyalip sana sini. Bunyi klakson hiruk pikuk dan manusia tampak saling sikut untuk mendapatkan nafkah.
O, manusia, adakah perbedaan ia sekarang dengan jutaan tahun yang lalu? Adakah manusia hari ini lebih beradab dari Australopithecus? Atau jangan-jangan, manusia pada hakikatnya selalu berkebutuhan yang sama tentang yang empat: makan, minum, tidur dan seks. Nalar manusia, menuru Daniel Calne, hanya berfungsi menjawab "Bagaimana agar kita mencapai tujuan yang empat itu?" Nalar tidak sanggup mengubah tujuan hidup biologis kita. Hanya saja pengalaman manusia terakumulasikan dan diwariskan pada anak cucunya, sehingga seolah makin kemari dunia manusia lebih maju ketimbang yang dulu. Seolah-olah peradaban manusia mengarah pada sesuatu yang positif.
Dari museum saya belajar, bahwa manusia tidak lebih dari sekumpulan makhluk yang menanti untuk dimuseumkan. Tidak ada sesuatupun dari manusia masa lalu yang tersisa kecuali kuburan, karya, dan mitos. Ketiganya pun bisa hilang disapu waktu dan kekuasaan.
Saya masuk ke pertanyaan paling eksistensial (baca: galau): Jika demikian, mengapa manusia dilahirkan?
Jawaban saya yang ngaco: Karena Tuhan bosan sendirian. Ia butuh hiburan. Maka kita-kita ini diciptakan untuk jadi tontonan. Agar Dia tertawa-tawa.
Di Museum Geologi, pengunjung sangat sepi jika dibandingkan mal-mal yang biasa kamu kunjungi. Padahal museum ini gratis. Saya langsung masuk ke sayap kanan, bagian sejarah alam semesta. Saya pandangi satu per satu display yang ada. Di sana ditunjukkan gambar dan tulisan mengenai proses pembentukan bumi pada mulanya. Hitungannya bukan puluhan atau ratusan tahun lagi, tapi ratusan juta tahun. Mulai dari awalnya ia sebagai bola panas, sampai terbentuk daratan dan lautan, munculnya organisme sederhana, hingga ada hewan bercangkang, mamalia, lalu monyet sampai nanti ada manusia. Cukup banyak saya mengalami kesulitan teknis oleh istilah-istilah yang agak asing. Tapi saya datang ke sana bukan untuk (atau setidaknya belum mempunyai tujuan untuk) memahami secara detail. Saya ke sana untuk merasakan suatu kesan berada di tengah-tengah sebuah kuburan kenangan.
Setelah dua jam berkeliling, saya pergi ke luar museum. Dari pintu, saya melihat gerombolan supir angkot saling menyalip sana sini. Bunyi klakson hiruk pikuk dan manusia tampak saling sikut untuk mendapatkan nafkah.
O, manusia, adakah perbedaan ia sekarang dengan jutaan tahun yang lalu? Adakah manusia hari ini lebih beradab dari Australopithecus? Atau jangan-jangan, manusia pada hakikatnya selalu berkebutuhan yang sama tentang yang empat: makan, minum, tidur dan seks. Nalar manusia, menuru Daniel Calne, hanya berfungsi menjawab "Bagaimana agar kita mencapai tujuan yang empat itu?" Nalar tidak sanggup mengubah tujuan hidup biologis kita. Hanya saja pengalaman manusia terakumulasikan dan diwariskan pada anak cucunya, sehingga seolah makin kemari dunia manusia lebih maju ketimbang yang dulu. Seolah-olah peradaban manusia mengarah pada sesuatu yang positif.
Dari museum saya belajar, bahwa manusia tidak lebih dari sekumpulan makhluk yang menanti untuk dimuseumkan. Tidak ada sesuatupun dari manusia masa lalu yang tersisa kecuali kuburan, karya, dan mitos. Ketiganya pun bisa hilang disapu waktu dan kekuasaan.
Saya masuk ke pertanyaan paling eksistensial (baca: galau): Jika demikian, mengapa manusia dilahirkan?
Jawaban saya yang ngaco: Karena Tuhan bosan sendirian. Ia butuh hiburan. Maka kita-kita ini diciptakan untuk jadi tontonan. Agar Dia tertawa-tawa.
Yang pasti ya Raf, kalo manusia dila-lerin, bukan dila-hirkan, artinya manusia itu udah mau mati ato jarang mandi ... =D
ReplyDeleteNgikngok
Cicak merah nempel di dinding,
jangan marah just kidding ... =P
hahaha.. asik2..
ReplyDelete