Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Piala Dunia dan Piala Eropa: Masih Asyikkah untuk Ditonton?



Tahun ini adalah tahun genap. Artinya, pasti berlangsung gelaran akbar sepakbola entah itu Piala Dunia atau Piala Eropa. Kebetulan 2012 ini adalah tahunnya Piala Eropa yang akan digelar di Polandia dan Ukraina Juni nanti. Gelaran akbar yang menghadirkan pertandingan antar negara tersebut selalu saja dinanti sekaligus juga didramatisasi. Mari kita bandingkan dengan gelaran liga yang nyaris setiap minggunya kita konsumsi: Sebetulnya, mana yang lebih bergizi?

Katanya, menonton pertandingan tim nasional adalah lebih asyik, karena isinya adalah kombinasi bintang-bintang lokal yang tampil keren. Bayangkan posisi kiper Barcelona yang relatif lemah, kemudian bisa dikombinasikan dengan kiper Real Madrid, Casillas, sehingga saling menambal. Yang demikian hanya bisa terjadi di tim nasional, ketika Real Madrid dan Barcelona bisa dipersatukan oleh orang-orang dengan kewarganegaraan yang sama. Pun bayangkan ketika City, United, Arsenal, Chelsea, Tottenham, dan Liverpool dengan segala dinamika rivalitasnya di Premier League, tiba-tiba mereka bersatu di Piala Eropa membela panji Three Lions.

Namun coba nikmati secara objektif penampilan klub-klub di liga, bagaimana mereka berjibaku dengan program latihan, putar otak di bursa transfer, konsistensi mental dan fisik di pertandingan yang seringkali dua kali seminggu, mana sebetulnya yang bisa kita sebut sebagai kemenangan sejati di akhir cerita? Tim nasional biasanya cuma punya persiapan dua minggu sebelum even dimulai. Sang pelatih meramu taktik dengan adaptasi yang kelewat buru-buru. Bahkan pelatih Spanyol seperti Vicente del Bosque diuntungkan dengan sebagian besar pemainnya yang berasal dari Barcelona, sehingga tinggal meneruskan strategi tiki-taka saja. 

Artinya, penampilan timnas tidak sama dengan kombinasi bintang-bintang dan kemudian sama dengan keutuhan permainan. Justru tidak jarang di timnas kita saksikan banyak permainan yang menjadi kurang kompak dan turun nilai estetiknya. Perhatikan saja penampilan Lionel Messi di Argentina. Meskipun ia tampil dengan bintang-bintang seperti Aguero, Tevez, dan Higuain, ia seperti tersesat karena kehilangan teman main masa kecilnya yakni Iniesta, Xavi, ataupun Puyol. Banyak juga pemain-pemain yang di klub begitu gemilang namun menjadi kehilangan taji di tim nasional seperti Cristiano Ronaldo ataupun Wayne Rooney.

Saya menjadi agak curiga, bahwa kegemaran orang akan Piala Dunia dan Piala Eropa sebenarnya adalah soal patriotisme. Ada gengsi antar negara di sana. Namun kita juga sekaligus tahu, seiring dengan Era Romantik yang sudah semakin jauh menjadi sejarah di belakang, isu patriotisme menjadi dipertanyakan. Apa itu negara? Masih berhargakah negara untuk dibela? Tidakkah dunia hari ini justru memungkinkan orang untuk melampaui batas-batas negara? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru dengan sangat baik sudah dijawab oleh klub-klub dan liga tempat mereka bernaung. Isi pemainnya sudah melebur, tidak seketat dulu dalam mempertimbangkan paspor. Arsene Wenger adalah contoh betapa ia tidak peduli dengan warganegara selama pemain itu bagus mengapa tidak? Gaya Wenger tersebut sudah semakin jamak ditemukan dan barangkali hanya beberapa klub saja yang masih mempertahankan asal-usul misalnya Athletic Bilbao. Wenger bahkan orang yang termasuk berang jika pemainnya "dipinjam" timnas lalu pulang dalam kondisi cedera. Ia merasa tidak adil, karena timnas meminjam pemain yang sudah susah payah dibesarkannya.

Namun maksud saya menuliskan semua ini bukan dalam rangka mengajak pemirsa untuk tidak bergairah pada Piala Dunia dan Piala Eropa. Sepakbola rasa-rasanya tidak bisa dianalisa sesederhana itu karena saya percaya bahwa sepakbola mengandung magi, mengandung sihir yang sulit ditangkal! Saya cuma menyadarkan adanya zeitgeist (semangat jaman) yang justru semakin bersesuaian dengan gairah klub-klub di liga-liga. Dunia hari ini mengajarkan kita tentang semakin tidak pentingnya batas-batas teritori. Namun dengan demikian, justru yang dinilai adalah murni kemampuan objektif si pemain. Tidak penting dia pemain Afrika atau Asia, selama punya andil dalam memperkuat tim. Meskipun ekses negatifnya, yang menjadi kuasa berikutnya adalah uang. 

Selain itu, saya juga memberikan ucapan selamat agak sinis bagi tim nasional yang berlaga di Piala Dunia maupun Eropa. Tidakkah mereka berisikan pemain-pemain yang sudah kelelahan menjalani lebih dari empat puluh pertandingan di liga? Tidakkah mereka berisikan pemain-pemain yang mengabdi pada sesuatu yang riil semisal uang, ketimbang ideologi abstrak yang tidak laku lagi bernama negara? Sekali lagi, kesinisan tersebut tidak menghilangkan penilaian positif saya akan Piala Dunia dan Eropa. Konsep negara kadang perlu untuk mempersatukan, membuat kawanan manusia secara imajiner merasakan perasaan satu dengan yang lainnya.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1