Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Pak Sukanda


Waktu SMA dulu, kami punya guru pelajaran PPKn namanya Pak Sukanda. Di kelas, ia mengajar dengan metode yang bagi kami saat itu terbilang tidak lazim. Ia mendominasi jam pelajarannya dengan bercerita dan bercerita. Seringkali apa yang diceritakan tidak ada relevansinya sama sekali dengan bab yang ada di buku. Saya tidak banyak ingat apa yang Pak Sukanda pernah bicarakan kala itu, pasti disebabkan oleh tingkat pemahaman yang belum sampai. Namun ada satu hal yang tidak pernah saya lupakan hingga hari ini, yaitu kebiasaan beliau memberikan nilai ulangan bagus secara mudah!

Mudah disini bukan karena soal-soalnya yang mudah. Tapi karena ada satu persyaratan ganjil yang terlampau mudah untuk dilaksanakan: Barangsiapa yang bisa menuliskan nama dirinya di kolom nama, ia langsung mendapat nilai tujuh puluh. Apa yang bisa keliru dengan itu? Semua murid pastilah bisa menulis nama diri, bahkan dalam keadaan sakit panas sekalipun. Kemudahan semacam itu tentu saja membuat reaksi terhadap Pak Sukanda menjadi beragam, ada yang senang, ada yang juga jadi menggampangkan. Katanya, asal tulis nama, maka mengerjakan asal-asalan pun tidak apa-apa.

Belakangan saya mencoba mengingat-ingat alasan mengapa Pak Sukanda mau bermurah hati seperti itu. Yang saya ingat cuma kata identitas, identitas. Semacam betapa pentingnya kenal identitas diri, ingat nama sendiri. Sedemikian penting sehingga identitas itu menjadi lebih dari separuh nilai ulangan. Seakan lebih esensial dari soal-soalnya. Saya bergidik ketika samar-samar mulai paham: Masa SMA itu adalah sekitar sembilan atau sepuluh tahun yang lalu, sekarang ini apakah saya masih yakin dengan identitas diri?

Identitas diri adalah ilusi, ia rasa-rasanya berasal dari lingkungan dan kekuasaan. Nama adalah pemberian, memang kita bisa memilihnya di waktu dewasa, tapi pertanyaan berikutnya, tidakkah nama itu menjadi absah ketika mendapat pengakuan? Mendapat panggilan dari yang lain? Pun status sosial, jabatan, gelar, KTP, SIM, dan lain-lain itu bukanlah pilihan-pilihan sadar kita. Identitas diri tersebut diberikan lingkungan bagi kita, membentuk ilusi besar yang kita rasakan sebagai "diri kita yang sejati dan utuh". 

Menurut Rocky Gerung, ia pesimis bahwa ada yang dinamakan identitas diri. "Identitas diri yang final," katanya, "Hanya ada pada orang mati." Dengan demikian selama manusia hidup, ia terus menerus mengalami perubahan identitas. Bahkan dalam diri kita pun sadar betul bahwa apa yang dinamakan "diri" kita hari ini begitu berbeda dengan hari-hari belakangan. Lama kelamaan bahkan kita bisa membelah identitas diri kita tergantung untuk keperluan apa.

Pada titik inilah sungguh saya memahami Pak Sukanda dengan haru. Rupanya dari segala identitas yang berubah-ubah dan tidak stabil itu, ada satu yang paling keras dan fundamental, yaitu nama. Nama merupakan pembeda pertama, seperti kata Saussure. Nama Syarif menjadikan saya adalah bukan Budi, Anto, dan Arief. Nama Syarif Maulana menjadikan saya adalah bukan Syarif Hidayatullah ataupun Elsa Syarif. Ketika diri menyadari mula-mula bahwa nama membedakan saya dengan yang lain, maka itu adalah titik berangkat menuju identitas-identitas yang lain. Bukankah dalam gelar, SIM, KTP, dsb juga terkandung nama? Dan tujuannya pun sama, agar berbeda satu sama lain. Karena dalam keberbadaan terkandung juga data-data yang berbeda.

Meskipun ilusif, tapi perlu diakui bahwa identifikasi diri adalah berangkat dari kenyataan bahwa kita unik dan berbeda dari yang lain. Keberbedaan itu baru niscaya ketika kita mengetahui nama-nama. Dengan tahu nama, kita jadi tahu apa-apa saja yang melekat pada nama tersebut. Ini sudah diingatkan, dari jauh hari, oleh Pak Sukanda. Beliau seolah mau mengatakan: Sebingung apapun kalian, anak-anakku, pada identitas diri, segera ingatlah nama, dari sana kamu akan mendapati siapa kamu.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat