Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Bane


Akibat sibuk menjalankan ibadah nonton tiga puluh film dalam tiga puluh hari bulan Ramadhan, saya dengan konyol melewatkan salah satu film terbaik tahun ini: The Dark Knight Rises yang marak diputar di bulan puasa. Bagian terakhir dari trilogi Batman karya sutradara Christopher Nolan ini baru saya tonton kemarin malam.

Kekeliruan pertama dalam menyaksikan rangkaian film Batman-nya Nolan ini adalah menganggapnya sebagai film hiburan sebagaimana yang sudah disajikan dulu oleh Tim Burton ataupun Joel Schumacher. Batman garapan Nolan adalah Batman yang penuh pergumulan psikologis maupun filosofis. Aksinya yang dahsyat -yang tentu saja sudah ditopang teknologi yang jauh lebih canggih ketimbang pendahulunya-, berlangsung tidak sebanyak dialognya yang sepertinya ingin lebih ditekankan oleh Nolan. Bagi mereka yang hanya berharap menyaksikan Batman beradu jotos secara full-action, tentu saja kehilangan banyak gizi jika tidak memerhatikan konten percakapan.

Ada satu ciri khas yang cukup menarik setidaknya dari dua film Batman terakhir yaitu The Dark Knight dan The Dark Knight Rises, yaitu bagaimana Nolan sanggup membuat penontonnya menyimpan simpati aneh terhadap para tokoh yang sudah secara tradisional merupakan antagonis sempurna seperti Joker dan Bane. Joker, kita tahu, diperankan dengan sempurna oleh almarhum Heath Ledger. Meski tidak semenjulang Ledger, Tom Hardy tidak kalah baiknya memerankan teroris intelek Bane -baik Joker maupun Bane kita sadari membuat posisi penonton kadang bimbang: Apakah betul keduanya jahat, atau malah Batman yang jahat?-

Bane, setelah menyekap Bruce Wayne di penjara bawah tanah yang "filosofis" -di penjara tersebut, para tahanan bisa menyaksikan langit cerah. Hal tersebut justru menyiksa karena seolah ada harapan untuk kabur padahal nyaris mustahil-, kemudian membuat situasi anarkis di Kota Gotham. Seisi kota dibuat tanpa kepemimpinan dan membiarkan rakyat mengontrol nasibnya sendiri-sendiri. Kota Gotham menjadi seperti milik bersama karena tiada lagi legitimasi kekuasaan maka itu yang kuat menjadi pemenang. Salah satu efek menarik dari anarki ciptaan Bane ini -dan sangat dirindukan oleh warga Indonesia- adalah bagaimana orang-orang kaya yang bersalah bisa diadili oleh rakyat dan dieksekusi saat itu juga.

Bane menciptakan khaos, itu jelas. Ia adalah antagonis yang meresahkan, membuat penonton gereget menanti Batman menata kembali Kota Gotham. Namun sadari sejenak bagaimana anarkisme ini ternyata menyenangkan juga, terutama ketika melihat para teroris binaan Bane bisa secara terbuka berperang melawan polisi yang cuma bermodalkan pentungan dan handgun seadanya. Pada situasi ini, polisi sebagai instrumen penegak hukum menjadi tidak lebih dari sekadar rakyat biasa berbaju hitam. Yang menang adalah mereka yang secara akses terhadap sumber daya jauh lebih terbuka -Dalam hal ini, kelompok Bane lebih unggul karena punya senjata-. 

Jika logika ini dibalik, tidakkah sesungguhnya kekuasaan juga hanya sekadar urusan akses terhadap sumberdaya? Tidakkah apa yang dimaksud dengan 'pemerintah', adalah tidak lebih dari sekumpulan orang rakus yang mempunyai sumberdaya lebih dan hanya mau dibagi sedikit dengan sesama? Mereka sesekali berbagi, agar wibawanya sebagai pemegang akses sumberdaya terjaga, maka itu posisi kekuasaan menjadi langgeng. Bane dengan ekstrim mewacanakan suatu perspektif yang berani: Apa jadinya jika segalanya dimulai dari nol. Tidakkah menjadi semacam fitrah manusia untuk mencari akses terhadap sumberdaya, sehingga daya tahan mereka untuk hidup lebih panjang menjadi terjamin?

Lebih jauh lagi, Bane hendak berkata tentang irelevansi pertentangan kapitalisme dan komunisme. Pada dasarnya keduanya berada dalam lubuk fitrah manusia sekaligus. Ketika kamu disejajarkan, kamu ingin menonjol. Ketika kamu menonjol, kamu ingin berpura-pura sejajar, agar terus menonjol!

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1