Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Ini adalah kali kedua saya didaulat menjadi petugas pembalik halaman partitur alias page turner. Ini kali kedua juga saya merasa harus menuliskannya karena betapa pengalaman ini sedemikian berkesan.
Pengalaman pertama datang setahun lalu tepatnya tanggal 3 Desember 2011. Waktu itu di Surabaya, debut saya tak tanggung-tanggung: Menjadi page turner bagi resital yang melibatkan dua pemain berkelas, yang satu adalah Urs Bruegger, klarinetis asal Swiss, dan Ratnasari Tjiptorahardjo, pianis Indonesia domisili Australia. Ketegangan yang dialami luar biasa, terutama disebabkan itu merupakan pengalaman pertama. Pada akhirnya, kegiatan membulak balik halaman itu berlangsung cukup lancar -Ibu Ratna mencatat saya satu kali terlambat membalik-. Saya mendapat kesimpulan istimewa: Inilah posisi VVIP dalam apresiasi musik klasik. Tidak ada senot pun yang terlewat untuk diapresiasi. Adrenalin khas konser pun mau tak mau ikut ditularkan pemain, sehingga saya terseret untuk tegang.
Kesempatan kedua kali baru saja datang tadi malam. Pianis Mutia Dharma meminta saya untuk membukakan tiga dari empat karya yang dibawakan malam itu. Resital Sarah Tunggal (flute) dan Arya Pugala Kitti (biola) tersebut membawakan komposisi dari Bach, Schubert, Dvorak, dan Faure. Dengan penuh rasa syukur, sekali lagi saya mendapatkan kesempatan untuk duduk di samping pianis dan merasakan aura konser secara utuh penuh. Liukan sahut menyahut ala Bach, sentimentalitas Schubert, serta keluasan Dvorak -bagai ia sedang memandangi tanah baru bernama Amerika yang penuh harapan- sanggup dinikmati tanpa kehilangan satu not pun. Sayang sekali saya tidak kebagian menikmati Faure dari tempat istimewa tersebut, padahal sungguh saya ingin mengapresiasi geliat scale janggal yang penuh kejutan dari sang impresionis. Rasa ngantuk yang sebelum konser sempat melanda, hilang entah kemana -berubah menjadi terjaga sepenuhnya-.Terdengar jelas bagaimana sang pianis sesekali berdecak kesal, bernapas tersengal, hingga melepaskan napas penuh kemenangan. Saya belum kehilangan nikmat itu, sebagaimana setahun lalu saya mendapati karya-karya Poulenc, Verdi dan Schumann bisa dikonsumsi tanpa sedikitpun gizinya terbuang.
Foto diam-diam dari posisi page turner di samping Mutia Dharma. |
Posisi page turner barangkali sedang dalam ancaman disebabkan keberadaan tablet yang sejumlah pianis sudah mulai menggunakannya. Partitur ditampilkan dalam tablet sehingga untuk membaliknya tinggal disentuh saja. Saya bisa paham jika lama-lama page turner tak digunakan. Selain digantikan teknologi, keberadaannya juga kerap mengganggu pemandangan dan tetap menyisakan kemungkinan human error yang fatal. Tapi sebelum kita ucapkan selamat tinggal pada posisi page turner ini dalam sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, saya akan sekali lagi bertestimoni: Inilah posisi terbaik dalam apresiasi musik klasik. Kalian yang sanggup membaca notasi secara cepat, seyogianya pernah mencoba duduk di sana. Sebelum istilah page turner tinggal sejarah.
Comments
Post a Comment