Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Perempuan di Moncong Senjata: Penggambaran Aung San Suu Kyi di film The Lady (2011)

 Dimuat di Majalah Bhinneka Edisi Desember 2012


Tidak ada adegan yang lebih dramatis dalam film The Lady, selain ketika Aung San Suu Kyi berjalan ke arah sekelompok tentara yang membidikkan senapan. Dengan semangat anti-kekerasan ala Mahatma Gandhi, Suu Kyi -yang diperankan dengan sangat prima oleh artis Singapura, Michelle Yeoh- menghadapi pasukan junta militer yang represif tersebut dengan senyum menawan. Ini bukan persoalan apakah adegan tersebut benar-benar terjadi di dunia nyata atau tidak. Yang lebih penting adalah bagaimana adegan itu menjadi simbol kekuatan perempuan dalam melawan tirani. 

Aung San Suu Kyi 

Sebelum membahas film The Lady, ada baiknya memberikan sedikit gambaran tentang tokoh yang diceritakan dalam film tersebut yakni Aung San Suu Kyi. Suu Kyi bukanlah perempuan yang menempati posisi puncak dalam pemerintahan Myanmar. Ia berdiri kokoh sebagai oposisi sejak tahun 1988 menentang tampuk tertinggi yang dijalankan oleh junta militer. Sejak tahun 1962, Myanmar, yang kala itu bernama Burma, diambil alih oleh kekuasaan militer di bawah pimpinan Jendral Ne Win. Dengan jalan kudeta, Ne Win membubarkan dengan paksa politik Burma yang cukup cemerlang di bawah pimpinan Presiden Win Maung dan Perdana Menteri U Nu. 

Sejak itu, Burma dipimpin oleh pemerintahan militer bernama Burma Socialist Programme Party (BSPP) dari tahun 1962 hingga 1988. Namun rakyat Burma tidak kunjung mendapatkan kebebasannya pasca BSPP terguling. Penggantinya, State Peace and Development Council (SPDC) memerintah dengan cara tak kalah represif di bawah pimpinan Jendral Saw Maung. Di masa SPDC ini pula, Burma berganti nama menjadi Myanmar. Pada periode SPDC inilah Suu Kyi berkarir secara politik. 

Keterlibatan Suu Kyi dalam politik sendiri bisa dibilang tidak disengaja. Pada tahun 1988, ia pulang ke Burma untuk mengunjungi ibunya yang sakit. Sebelumnya, Suu Kyi tinggal di Inggris beserta suaminya, Michael Aris dan hidup tenang dengan dua anak. Namun kepulangannya yang direncanakan singkat tersebut ternyata menjadi momentum bagi para aktivis yang tengah berdemonstrasi menentang kepemimpinan junta militer. Keberadaan Suu Kyi yang dianggap mampu memberikan kekuatan politik ini, tidak lepas dari sejarah. Ayah dari Suu Kyi, Aung San, adalah tokoh penting dalam politik Burma. Ia sukses memerdekakan Burma dari Inggris lewat jalur diplomasi, namun kemudian dieksekusi secara tiba-tiba oleh kelompok militer di usia 32 tahun. 

Meski meninggal sebelum Burma diresmikan merdeka dari Inggris, nama Aung San menjadi harapan bagi warga Burma. Mereka, khususnya aktivis anti pemerintahan militer, melihat keberadaan Suu Kyi sebagai mesias seperti halnya Aung San dulu membebaskan Burma dari penjajahan. Keberadaan Suu Kyi ini tercium oleh pemerintah SPDC yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap kestabilan. 

Suu Kyi, yang lahir pada tahun 1945, kemudian dikenakan tahanan rumah dari tahun 1989 hingga baru saja dibebaskan kemarin pada tahun 2011. Meski ditahan, ia tetap menjadi pemimpin bagi partai yang dinaunginya, National League of Democracy (NLD). Kabar terakhir, Suu Kyi, mewakili NLD, akhirnya resmi mempunyai posisi di pemerintahan. Ia menduduki parlemen sebagai oposisi bagi Presiden Thein Sein. Selain keberhasilannya menembus parlemen, Suu Kyi juga pernah dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1991 dan sejumlah penghargaan internasional lainnya seperti Sakharov Prize for Freedom of Thought, Jawaharlal Nehru Award for International Understanding dan International Simón Bolívar Prize

The Lady (2011) 

The Lady, yang disutradarai oleh Luc Besson, adalah film yang menceritakan tentang Suu Kyi di periode antara kedatangannya ke Burma, perjuangannya bersama NLD, hingga statusnya sebagai tahanan rumah. The Lady juga tidak sedikit menyoroti kehidupan pribadi Suu Kyi dengan sang suami, Michael Aris, serta kedua anaknya, Kim dan Alexander. Film berdurasi 134 menit ini bermain di dalamnya Michelle Yeoh sebagai Suu Kyi dan David Thewlis sebagai Michael Aris. 

Meski secara gamblang menunjukkan bahwa film ini adalah biografi Suu Kyi, namun tentu saja setiap film mempunyai fokus tertentu. Sebelumnya, kita ambil contoh film Munich karya Steven Spielberg. Munich berpijak pada tragedi nyata tentang bagaimana para atlit Israel dibunuhi di Olimpiade Munich 1972 oleh para teroris. Kemudian fokus film ini adalah bagaimana agen rahasia Israel, Mossad, melakukan pembalasan terhadap tragedi tersebut. Jadi, kisah nyata hanya digunakan sebagai pijakan skenario. Selebihnya, sutradara boleh (dan bahkan harus) memilih angle mana yang ingin diangkat sebagai pesan dari sebuah film. 

Lantas, fokus mana yang diangkat oleh Luc Besson pada film The Lady? Suu Kyi dalam film ini tidak digambarkan hanya sebagai pejuang politik, melainkan juga posisinya sebagai istri bagi Michael dan ibu bagi Kim dan Alexander. Kekuatan Suu Kyi untuk maju menentang junta militer tidak hanya didapat dari para aktivis NLD, tapi juga dari dorongan keluarganya. Ada sisi yang hendak dipertunjukkan oleh Besson pada penonton: Bahwa Suu Kyi adalah perempuan pada umumnya. Ia bukan Yoanna dari Ark atau Hypatia yang menempa diri; lantas mengabdi sepenuhnya pada idealisme “kekuatan” ataupun “kebenaran”. Suu Kyi bukan perempuan seperti Simone de Beauvoir yang mencurahkan pikirannya untuk memberi landasan filosofis bagi kesetaraan perempuan. 

Suu Kyi, dalam penggambaran Besson, sungguh mencerminkan perempuan “rumah-an” yang menganggap bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan yang mesti dilestarikan. Bahkan Suu Kyi, yang untuk pertama kalinya pidato di depan pendukungnya dengan amat percaya diri dan berapi-api, harus sejenak menunjukkan wajah tegang dan keringat dingin pada sang suami sebelum menaiki podium. Ketika Suu Kyi berpidato, kamera juga menyoroti secara bergantian ekspresi Suu Kyi dan Michael Aris –yang begitu khawatir-. Seolah-olah menunjukkan bahwa dalam konteks panggung politik yang kejam dan dingin, keperempuanan Suu Kyi membutuhkan tenaga dari sanak famili. 

Lainnya, tentu saja adegan dramatis ketika sebaris tentara membidikkan senapan pada sekelompok aktivis NLD yang tengah berkampanye. Suu Kyi maju menghadapi tentara itu, berjalan tenang dengan hiasan bunga di rambut –tersenyum- dan melewati moncong senjata tanpa sedikitpun tersirat rasa takut. Suu Kyi, dalam perjuangannya, selalu menekankan anti-kekerasan seperti halnya Mahatma Gandhi ketika menghadapi represi Inggris. 

Junta militer Burma digambarkan sangat maskulin: demikian agresif dan menyukai penaklukan. Mereka juga anti-kritik dan menggilai tampuk kekuasaan. Demokrasi nyaris ditiadakan dan berdiri semacam pemerintahan totalitarian. Kita tidak bisa melihat bagaimana cara yang tepat untuk menggulingkan pemerintahan semacam itu –yang bahkan represif juga terhadap seni budaya!-. Jika ingin dilawan dengan kekerasan, akses senjata tentu saja tidak berimbang dengan yang dipunyai sipil.

Besson menunjukkan lewat filmnya, The Lady, bahwa situasi represif akut yang maskulin semacam itu, hanya bisa ditundukkan oleh keperempuanan yang natural. Pierre Bourdieu, filsuf Prancis, menyebutkan, “Dominasi laki-laki sudah sangat mengakar dalam kesadaran kita, sehingga bahkan kita tidak sanggup melihatnya.” Apa artinya? Jika Suu Kyi kemudian mengambil jalur sikap maskulin dengan melakukan agresi balik dan revolusi kekerasan, maka secara tidak langsung Suu Kyi menundukkan diri pada dunia kemaskulinan –ketika maskulin dilawan dengan maskulin, berarti seluruh dunia ini menjadi maskulin!-. 

Catatan Penutup 

Lewat penonjolan keperempuanan Suu Kyi dalam film The Lady yang amat sederhana, bisa jadi keberadaan perempuan pemimpin bukan saja perlu, tapi mendesak. Namun sekali lagi, kepemimpinan yang dimaksud tidak sama dengan kepemimpinan yang maskulin. Majunya perempuan ke medan politik bukan seperti majunya pria. Berjuangnya perempuan bukan seperti berjuangnya pria. Ekstrimnya perempuan tidak sama dengan ekstrimnya pria. Pernyataan-pernyataan semacam ini bukan menunjukkan kritik terhadap feminisme yang berupaya menyamaratakan posisi perempuan dengan laki-laki hingga ke tataran “kodrati”. Kemendesakan kepemimpinan perempuan menjadi perlu dalam segala lini untuk menjaga agar dunia tetap pada harmoninya: Seimbang antara maskulin dan feminin –kita bisa sebut Yin dan Yang-. Karena tanpa suatu kekuatan keperempuanan yang natural dan berintensi pada keseimbangan alam, tidak mungkin senyuman Suu Kyi bisa menaklukkan moncong senjata yang siap menyalak. 

Syarif Maulana 
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNPAD dan Penggiat Klab Filsafat Tobucil www.syarifmaulana.blogspot.com 

Referensi 
http://news.xinhuanet.com/english/world/2012-04/02/c_131504585.htm
http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/1991/kyi-bio.html
http://www.youtube.com/watch?v=sZFpURJGv00&feature=related
http://editorials.voa.gov/content/burmese-parliamentary-elections-146265885/1493313.html http://en.wikipedia.org/wiki/The_Lady_%282011_film%29

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1