Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Alex Ferguson - Biografi Saya: Lebih dari Sekadar Manajer Sepakbola



Saya bukan orang yang silau dengan buku-buku yang dipajang di bagian khusus di sebuah toko buku. Malah saya selalu berusaha mencari sudut-sudut gelap dengan harapan dapat menemukan buku yang aneh. Atas alasan itu pula -selain karena memang bukan penggemar tim sepakbola Manchester United- , saya tidak terlalu tertarik dengan buku Alex Ferguson - Biografi Saya yang kerap ditempatkan di bagian depan Gramedia. Ternyata tanpa harus membelinya, buku tersebut sampai ke tangan saya sebagai tanda kasih setelah menjadi narasumber di komunitas film Layarkita. Batin saya mengatakan begini ketika menerimanya, "Oh, ternyata saya tidak alergi buku best-seller, asal gratis."

Buku tersebut, tanpa diduga, ternyata menarik. Sering sekali saya berniat membaca satu paragraf, jadinya sebab; membaca sebab, jadinya tiga bab. Untuk buku setebal 397 halaman, saya termasuk cukup cepat menyelesaikannya -jika ditotal, mungkin perlu 24 jam saja-. Alasan buku tersebut menarik mungkin saja sangat subjektif:

  • Buku ini menarik karena menyuguhkan pendapat-pendapat Sir Alex tentang berbagai hal mulai dari David Beckham, Cristiano Ronaldo, Ruud van Nistelrooij, Roy Keane, hingga rivalitasnya dengan Wenger, Mourinho, serta klub Liverpool. Cara penuturan Sir Alex sangat melompat-lompat dan tidak bisa fokus membahas satu hal saja. Misalnya, ketika dia sedang membahas suatu pertandingan, ia menyebut nama satu pemain bernama Denis Irwin. Kemudian pembahasan berlanjut menjadi tentang Denis Irwin dan cerita mengenai pertandingan tadi tidak dilanjutkannya. Artinya apa? Lompatan-lompatan kisah tersebut hanya menarik bagi penggila bola. Jika tidak, akan sangat kebingungan. Bagi saya, makin sering Sir Alex berpendapat, makin bagus -dan itu tidak masalah jika dia harus berlompatan-.
  • Sebagai orang yang sedang menulis sebuah biografi seorang tua, saya sadar bahwa sudah banyak hal yang dialami oleh mereka. Wajar jika pikirannya tidak selalu sistematis dan memori demi memori muncul secara samar untuk kemudian ia berkata, "ah, sebentar, saya ingat bagian ini!" Atas dasar itu pula, menjadi mudah bagi saya untuk menikmati biografi sang manajer.
  • Menurut saya alasan ini sangat berpengaruh: Saya pernah secara serius bermain game Championship Manager musim 96/97 dan itu sangat membantu dalam memahami perkataan-perkataan Sir Alex. Dia banyak bicara tentang Class of '92 yang berisi pemain-pemain binaan Manchester United seperti Nicky Butt, Paul Scholes, David Beckham, Ryan Giggs, dan lain lain, yang kemudian menjadi fondasi tim tersebut hingga beberapa tahun ke depan. Artinya, biografi ini menarik bagi mereka yang mengikuti liga Inggris dan perjalanan Manchester United dari rentang waktu yang cukup panjang. Mungkin akan membosankan bagi mereka pendukung bola yang baru saja bergabung sejak tahun 2008-an.
Selain alasan-alasan subjektif tersebut, tentu saja kenyataan bahwa buku ini diceritakan dalam bahasa yang enak, sama sekali tidak bisa diabaikan. Tidak lupa juga disisipkan sejumlah foto berwarna agar lebih terasa momentum demi momentum yang pernah dialami Sir Alex bersama Manchester United maupun klub sebelumnya, Aberdeen. Ada satu kalimat dalam buku tersebut, yang dikatakan oleh Sir Alex, yang berbunyi seperti ini, "Jangan pernah lupa, bahwa kehidupan itu sendiri lebih besar dari sepakbola." Kalimat tersebut menjadi kunci kebagusan buku ini secara (mendekati) objektif: Sebagaimanapun kita pendukung City, Liverpool, Arsenal, atau Spurs, seorang Sir Alex tetap merupakan manusia inspiratif. Ia adalah seorang loyalis dan pekerja keras yang selalu bergairah hingga usia senjanya. Ia bukan sekadar manajer sepakbola. Sir Alex adalah penikmat hidup sejati.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1