Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Lukisan Neraka: Menyelami Paradoks Hidup Seorang Seniman


Suatu hari, ketika saya sedang hanyut dengan akrobat bahasa dari Haruki Murakami dalam Norwegian Wood, tidak lupa saya menyempatkan diri untuk memberi apresiasi pada sang penerjemah yang bernama Jonjon Johana. Kebetulan, Pak Jonjon adalah kolega ibu saya di Sastra Jepang Universitas Padjadjaran sehingga saya pun dengan mudah mendapatkan nomor telepon beliau. Setelah mengirim pesan singkat menyampaikan apresiasi sejujurnya bahwa kebagusan Norwegian Wood tentu saja tidak lepas dari peran penerjemah, esoknya datang kiriman buku kumpulan cerpen Lukisan Neraka yang juga terjemahan Pak Jonjon. Katanya, kalau memang saya suka dengan terjemahannya, ini saya kirim terjemahan saya yang lain.

Jika sudah pernah membaca cerpen Rusia seperti Ruang Inap no. 6 dari Anton Chekhov, tentu saja cerpen dari Ryunosuke Akutagawa ini tidak terasa panjang meskipun juga jumlah halamannya termasuk di atas rata-rata yakni 62. Meski di dalamnya terdapat sejumlah cerpen, namun saya hanya membaca yang utama, yang paling depan, yang berjudul Lukisan Neraka itu. Saya menghabiskan waktu sekitar sejam untuk membereskannya sambil duduk di kereta dalam perjalanan menuju Surabaya. Kesimpulannya, Akutagawa benar-benar penulis yang mengagumkan dan menambah satu lagi daftar penulis Jepang dalam khazanah pengetahuan saya yang tampaknya "sakit jiwa" selain dari Yukio Mishima. 

Lukisan Neraka bercerita tentang pelukis bernama Yoshihide. Pelukis tersebut digambarkan tidak seperti seniman Timur yang biasa dicitrakan tidak egosentrik dan lebih mau untuk tidak dicantumkan namanya (anonim). Yoshihide adalah pelukis dengan tingkat keegoisan yang tinggi dan mau berjuang demi keluhuran estetika. Ketika ditugaskan untuk melukis neraka di sebuah dinding penyekat, ia bersikap total dengan mengurung diri, merenung, dan bersikap terlalu serius - ia menyiksa para muridnya agar tergambar jelas bagi Yoshihide bagaimana siksaan di neraka nantinya-. Yoshihide digambarkan sebagai seorang seniman sejati yang sering mengalami paradoks dalam hidupnya: Di satu sisi, ia mengedepankan estetika untuk ketenangan hatinya, namun di sisi lain, ternyata karena ia terlalu mengedepankan estetika, tubuhnya menjadi rusak, dan tidak jarang jiwa pun ikut rusak. 

Meski kelam dan mencekam, Lukisan Neraka diceritakan dengan cara yang ringan sekali. Akutagawa, penulis berjulukan "Bapak Cerpen Jepang" yang meninggal karena bunuh diri di usia 35 tahun tersebut, mengambil sudut pandang penceritaan dari seorang pesuruh istana yang sama sekali tidak terlibat dalam cerita. Hal tersebut menyebabkan segala gejolak Yoshihide dalam melukis neraka di sebuah dinding penyekat, tidak terasa sebagai sesuatu yang terlalu muram. Pesuruh istana yang digambarkan bodoh dan lugu tersebut, hanya menceritakan apa adanya dan tidak berusaha terlalu dalam memasuki psikologi Yoshihide. Meski demikian, kita tidak bisa menampik bahwa Lukisan Neraka ditulis oleh seorang yang "sakit jiwa". Dalam biografinya, Akutagawa, yang menulis cerita terkenal berjudul Rashomon -diangkat ke layar lebar oleh Akira Kurosawa pada tahun 1950-, memang dikenal mengalami semacam skizofrenia di akhir hidupnya, sebelum memutuskan bunuh diri dengan meminum obat tidur dosis tinggi.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1