Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Angkot



Aki mobil hari ini habis dan tidak ada peluang bagi dirinya untuk di-starter. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat kerja dengan menggunakan angkutan kota (angkot). Meski sehari-hari saya menggunakan kendaraan pribadi, tapi penggunaan angkot sama sekali bukan hal baru -dari SMP hingga selepas sarjana, kemana-mana saya menggunakan angkot-. Tapi memang keanehan selalu ada. Ketika tadi naik angkot, saya merasa bahwa memang sudah lama sekali saya tidak menaikinya oleh sebab termanjakan keberadaan mobil pribadi. 

Saya sadar bahwa penggunaan mobil pribadi adalah suatu jenis pengalienasian tersendiri. Kita duduk di satu ruang kendali tertutup -saking tertutupnya, suara dari luar nyaris tak terdengar- dengan udara dingin yang keluar dari mesin pendingin, serta musik yang bertujuan membawa setengah kesadaran kita ke wilayah sureal. Seluruh kaki tangan bergerak mengendalikan kendaraan dan saya adalah tuan dari apa yang saya tunggangi. Intinya, mobil pribadi adalah suatu perasaan ketuanan dahsyat dengan nilai-nilai empati yang tergerus oleh ketertutupan dari si ruang kendali.

Perasaan itu berubah drastis ketika menggunakan angkot. Pertama, tak ada satupun suara yang bisa direduksi kecuali kita menutup telinga dan menjadikan segala sesuatunya menjadi hening. Kedua, kita tak kuasa mengendalikan udara apalagi cuaca yang menerpa kita. Apa yang terjadi di sekitar, itu pula yang terjadi pada kita. Ketiga, tak ada musik. Kita tak punya daya upaya untuk lepas ke wilayah sureal dan melarikan diri dari keseharian. Kita ditawan oleh realitas dan mau tidak mau harus menghadapinya. Artinya, kita bukan tuan. Satu-satunya kuasa kita hanyalah atas kaki-kaki kita sendiri yang bisa capek dan pegal jika sudah diseret terlalu jauh. 

Namun saya bersyukur atas kematian sang aki hari ini. Ternyata ada hal-hal yang biasanya dalam keseharian dilewatkan begitu saja oleh sebab keadaan ruang kendali yang kedap realitas, menjadi terang dan jelas karena saya hadapi tanpa pembatas apa-apa. Misalnya, sudah puluhan kali saya melewati kebun kangkung di dekat rumah. Dari mobil pribadi, saya tahu itu kebun kangkung dan memang demikianlah kebun kangkung sejak dahulu kala hingga sekarang. Tadi saya sadari bahwa kebun kangkung itu terjadi karena ada orang-orang yang menanam. Mereka terjun ke kebun dan bergerak telaten di panas terik seolah untuk menyadarkan saya bahwa dunia keseharian itu menarik hanya jika kita tidak bergerak secara instan dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya lagi, saya bisa mendengarkan berbagai jenis percakapan di dalam angkot yang begitu beragam mulai dari tentang kondisi anak, situasi ramadhan, hingga sindiran para pengamen yang urung diberi koin oleh para penumpang. 

Ini semua adalah apa yang disebut oleh Edmund Husserl sebagai lebenswelt. Dunia kehidupan apa adanya tanpa asumsi, pretensi, dan presuposisi. Ia hadir begitu saja, tampak ke hadapan kita tanpa tedeng aling-aling. Kita terkesiap dan tidak punya waktu untuk menyiapkan senjata apriori dan mau tidak mau yang bisa kita lakukan adalah mencandrainya secara utuh. Manusia modern mengalami suatu percepatan dalam hidupnya sehingga yang dipikirkannya hanyalah mencapai target dari satu tujuan ke tujuan lainnya. Kita luput untuk menggumuli apa yang tidak termasuk dalam tujuan hidup kita yang seringkali artifisial. Kita luput untuk menerima bumi sebagaimana adanya ia. Terpujilah mereka yang naik angkot, karena seketika aki mobil saya terisi kembali, saya sudah melupakan tulisan ini dan sekaligus juga melupakan sang hidup itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1