Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat. Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit
Selasa kemarin saya mengalami kehilangan. Seserius apa nilai kehilangannya, selalu relatif bagi setiap orang. Saya kehilangan dua buah laptop yang digondol maling dengan cara memecahkan kaca mobil. Tapi orang yang pernah kehilangan lebih besar akan menganggap hal yang seperti ini sepele. "Saya pernah kehilangan anak," "Saya pernah kehilangan golok leluhur kakek saya," "Saya pernah kecurian tiga buah laptop," dst, dst. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kehilangan jelas merupakan pengalaman eksistensial. Bagi saya pribadi, hilang laptop berarti juga hilang hiburan dan pekerjaan. Sehari-hari saya menulis, entah itu demi uang atau demi penyaluran hasrat. Kehilangan laptop membuat saya membayangkan hari-hari ke depan yang penuh kehampaan.
Jika kehilangan merupakan suatu bencana. Maka saya teringat tiba-tiba suatu pepatah dari Sir Muhammad Iqbal, "Bencana membuat kita bisa melihat keseluruhan kehidupan." Saya menyatakan setuju untuk apa yang ia ungkapkan. Kehilangan secara mendadak seperti kemarin membuat saya mampu berpikir secara holistik tentang hidup, mati, nasib, rejeki, hingga cinta. Betapa manusia tiada punya kuasa tentang apa-apa yang ia rencanakan. Saya beri contoh sebaliknya: Pernah suatu hari rumah lupa dikunci, dan tidak terjadi kecurian apa pun. Sedangkan alarm mobil saya termasuk canggih dan sensitif, tapi ia tak sanggup menyalak meski kacanya dihantam.
Kehidupan begitu menyayangi saya. Ia masih mengajarkan, bahwa di dunia yang makin rasionalistik ini, masih ada yang mistis. Masih ada misteri yang menyelimuti sehingga perasaan fascinatum et tremendum tetap lestari meski terdengar seperti cerita lama Abad Pertengahan. Kita bisa katakan kejadian seperti ini bisa dihindari seandainya tidak lalai, seandainya lebih waspada, seandainya bla bla bla. Tapi kehidupan tidak pernah kenal "seandainya". Ajarannya sudah mutlak, tinggal bagaimana seorang manusia bisa melihat setitik kebaikan di tengah prahara, ataupun setitik bahaya di tengah bahagia.
"Tidak ada yang benar-benar datang, tidak ada yang benar-benar hilang," demikian kata seorang kawan yang kebetulan juga bernama Iqbal. Bahkan ayam yang kita santap dan masuk ke perut ia tidak lenyap, hanya berubah bentuk. Herman Hesse dalam Siddhartha mengatakan, bahkan tanaman yang merimbunkan kehidupan, ia tak mungkin hidup jika tanpa tanah, dan tanah tak mungkin terjadi jika bukan dari batu-batu yang hancur. Jadi bagaimana kita bisa mengatakan bahwa tanaman punya derajat lebih tinggi dari bebatuan, hanya karena yang satu hidup dan yang satu mati?
Laptop saya hilang. Ia mungkin menjadi uang bagi si pencuri yang berhasil menjualnya. Uang itu ia belikan makanan. Makanan itu menjadi daging yang menghidupinya, dan sebagian lagi menjadi ampas, kembali ke tanah. Suatu hari saya, kita semua, akan kembali ke tanah. Di situ mungkin tiada beda antara yang datang dan yang hilang.
Yang penting nggak kehilangan akal, Raf ... wehehehe ..
ReplyDelete