Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” kata Soekarno dalam pidatonya di tahun 1966. Bangsa yang besar, lanjut sang proklamator, adalah bangsa yang menghargai sejarahnya sendiri. Perwujudan kalimat yang kemudian disingkat dalam akronim “Jas Merah” tersebut tentu bisa kita temukan di dunia pendidikan. Pelajaran mengenai sejarah Indonesia tidak pernah luput diajarkan dari mulai tingkat sekolah dasar, sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi. Pendidikan sejarah juga dapat kita temukan melalui film-film yang marak beredar di bioskop belakangan ini seperti Soekarno, Sang Kiai, Sang Pencerah dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Selain itu, ada pula museum. Museum memberikan pendidikan penting lewat benda-benda bersejarah. Melalui artefak tersebut, para pengunjung dapat membayangkan serta merasakan apa yang terjadi di suatu masa yang lampau.
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” kata Soekarno dalam pidatonya di tahun 1966. Bangsa yang besar, lanjut sang proklamator, adalah bangsa yang menghargai sejarahnya sendiri. Perwujudan kalimat yang kemudian disingkat dalam akronim “Jas Merah” tersebut tentu bisa kita temukan di dunia pendidikan. Pelajaran mengenai sejarah Indonesia tidak pernah luput diajarkan dari mulai tingkat sekolah dasar, sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi. Pendidikan sejarah juga dapat kita temukan melalui film-film yang marak beredar di bioskop belakangan ini seperti Soekarno, Sang Kiai, Sang Pencerah dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Selain itu, ada pula museum. Museum memberikan pendidikan penting lewat benda-benda bersejarah. Melalui artefak tersebut, para pengunjung dapat membayangkan serta merasakan apa yang terjadi di suatu masa yang lampau.
Di Bandung sendiri, ada sejumlah museum yang bertemakan sejarah nasional Indonesia. Misalnya, Museum Mandala Wangsit Siliwangi dan Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA). Museum Mandala Wangsit Siliwangi menitikberatkan benda-bendanya pada hal yang terkait sejarah pasukan Divisi Siliwangi dan peristiwa Bandung Lautan Api tahun 1946. Sedangkan MKAA fokus pada peristiwa sejarah Konperensi Asia Afrika tahun 1955. Pada konferensi tersebut, kita tahu, sejumlah kepala negara dari negara-negara di Asia dan Afrika, mengumumkan tekad serta solidaritas untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Namun jika kita perhatikan, pengunjung museum belumlah terlalu ramai –kalaupun ramai, biasanya oleh anak sekolah yang sedang studi lapangan-. Menurut Setiawan Sabana, Guru Besar FSRD ITB yang menulis artikel berjudul Museum di Tengah Kepungan Mal, museum memang belum jadi tujuan utama warga Bandung ataupun turis sekalipun untuk melakukan rekreasi. Pamor museum masih kalah dengan mal atau pusat perbelanjaan. Namun jika demikian, atas minimnya animo terhadap museum, apakah kita bisa menyalahkan kesadaran masyarakat yang kurang? Kata Setiawan, tidak. Museum tidak bisa menunggu dan berharap masyarakat untuk datang ke museum dengan sendirinya. Justru di tengah kepungan mal yang semakin marak di Kota Bandung, museum harus lebih rendah hati untuk mendatangi masyarakat.
Lewat Komunitas
Sejalan dengan pernyataan Setiawan, sejumlah museum pun membenahi diri. Mereka mendatangi masyarakat dengan cara memberikan ruang bagi komunitas untuk berkumpul dan belajar bersama. Komunitas yang dihadirkan, tentu saja, harus punya keterkaitan dengan tema museum itu sendiri. Misalnya, komunitas Historia van Bandoeng yang berkumpul di Museum Mandala Wangsit Siliwangi. Komunitas tersebut, selain melakukan diskusi dan riset, juga melakukan hal-hal menarik seperti reka ulang sejarah lengkap dengan pakaian dan propertinya. Namun jauh sebelum itu, di tempat lain, Sahabat Museum digagas di Museum Konperensi Asia Afrika –dengan sebutan SMKAA atau Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika-. Menurut Desmond Satria Andrian, PIC kegiatan edukasi dan publikasi museum KAA yang berbasis komunitas, “MKAA menerapkan konsep pengembangan komunitas melalui partisipasi publik. Partisipasi publik tersebut dapat kita kelompokkan menjadi benefaktor (penerima manfaat), volunteer (pemberi manfaat) dan donatur (penyandang dana).” SMKAA sendiri mempunyai belasan program. Misalnya, pemutaran dan diskusi film dari komunitas Bioscoop Concordia dan Layarkita, klab budaya mulai dari China, Jepang, Asia Barat Daya, Afrika Utara, Esperanto, hingga Sunda; klab menggambar, klab angklung, klab public speaking, klab merajut, klab film, hingga Kelompok Studi Asia Afrika (KSAA).
Namun keberadaan komunitas-komunitas tersebut, diakui oleh Desmond, merupakan turunan dari semangat serta tradisi literasi dari Asian African Reading Club (AARC). AARC, yang digagas pada tahun 2009 dan berkumpul rutin setiap hari Rabu tersebut, disebut Desmond sebagai “pesantren” Dasasila Bandung (poin-poin pernyataan semangat dan solidaritas yang dihasilkan dari Konperensi Asia Afrika 1955). “AARC mengajak kita untuk melawan lupa dengan cara membaca. Tujuannya tidak lain adalah pada penguatan upaya internalisasi nilai-nilai KAA di kalangan generasi muda,” tambahnya. Walhasil, dengan sikapnya yang rajin “menjemput masyarakat” itu, MKAA mendapat penghargaan sebagai Museum Bersahabat dan Museum Menyenangkan dari Komunitas Jelajah.
Masa Depan Museum
Tidak hanya Museum Mandala Wangsit Siliwangi dan MKAA, museum-museum lain pun nampaknya semakin merasakan pentingnya menjemput publik untuk berpartisipasi. Museum Barli, Museum Geologi, dan Museum Sri Baduga, merupakan contoh museum yang juga mempunyai konsep Sahabat Museum. Terlebih lagi, jumlah museum di Kota Bandung semakin bertambah: Ada Museum Braga di Jalan Braga, Museum Wolff Schoemaker di Hotel Prama Grand Preanger, Museum Pendidikan Nasional di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Museum Memorabilia di Gedung Heritage Bank Indonesia. Jika museum-museum yang baru bermunculan tersebut melakukan hal yang sama dengan pendahulunya -membuka partisipasi publik-, maka kita bisa optimis bahwa lambat laun masyarakat kita akan jadi masyarakat yang tidak melupakan sejarah –seperti amanat Bapak Bangsa kita-.
Angin segar mulai bertiup. Museum tidak lagi dipandang sebagai bangunan membosankan yang berisi benda-benda dari masa lalu yang sudah tua dan berdebu. Museum hari ini harus pelan-pelan membuat publik yakin, bahwa museum juga merupakan sarana untuk membangun masa depan. Kita bisa bayangkan masa depan bangsa yang cerah, yang dihasilkan oleh generasi muda yang menyibukkan hari-harinya bersama sejarah.
Comments
Post a Comment