Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

(Komunitas Kebangsaan) Mereka Berusaha Menumbuhkan Elan (2 dari 5)

*) Diambil dari Artikel yang Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Selisik, 7 September 2015

Tumbuhnya komunitas kebangsaan dapat diartikan sebagai respon terhadap konsep nasionalisme yang kian pudar, terutama di kalangan generasi muda. Asian African Reading Club (AARC), misalnya, menumbuhkan semangat nasionalisme lewat pengkajian pemikiran para Bapak Bangsa. Komunitas yang berkumpul setiap hari Rabu di Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) tersebut mempunyai program bernama tadarus buku. Apakah gerangan tadarus buku? Misalnya, karya Soekarno yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi, dibaca secara bergantian -dengan masing-masing orang membaca sebanyak dua hingga tiga halaman-. Kegiatan tersebut tentu tidak dilakukan dalam satu kali pertemuan saja. Kegiatan dilanjutkan di Rabu-Rabu berikutnya, hingga akhirnya buku Di Bawah Bendera Revolusi dengan tebal ribuan halaman tersebut, selesai hingga tanda titik yang terakhir. “Tadarus buku Di Bawah Bendera Revolusi,” kata Adew Habtsa yang menjabat sebagai sekjen AARC, “memakan waktu hingga delapan bulan.” Agar lebih variatif, dalam setiap pertemuannya, diundang narasumber untuk memberikan informasi-informasi yang bisa memantik diskusi. 

Asian African Reading Club 

AARC berdiri pada tanggal 23 Agustus 2009. Buku-buku yang pernah ditadaruskan oleh AARC –selain Di Bawah Bendera Revolusi-, antara lain, Demokrasi Kita karya Moh. Hatta, Islam dan Sosialisme karya H.O.S. Tjokroaminoto, dan Renungan Indonesia karya Sutan Sjahrir. Pemikiran yang dibicarakan di forum tersebut, sebenarnya tidak terbatas pada para pemikir dari Indonesia saja, melainkan juga dari negara-negara di Asia dan Afrika secara umum. Misalnya, AARC pernah mengadakan kegiatan berupa tadarus dari buku Nelson Mandela yang berjudul Langkah Menuju Kebebasan: Surat-Surat dari Bawah Tanah. Meski tidak membicarakan tentang Indonesia, namun prinsip-prinsip yang dipegang oleh tokoh Afrika Selatan tersebut bisa direlevansikan dengan kehidupan kita: Perjuangan untuk bebas dari segala penindasan. Selain Mandela, pernah dibahas juga novel berjudul Korupsi dari penulis Maroko bernama Tahar Ben Jelloun. 

Di AARC ini, seolah menjadi tradisi, sebelum dan sesudah kegiatan tadarus, seluruh peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Harapannya, kata Adew, nilai-nilai kebangsaan tidak masuk hanya ke dalam pikiran, tapi juga merasuk secara emosional. Konsistensi AARC dalam menjalankan programnya ini mendapat angin segar, terutama dalam setahun terakhir. “Setahun terakhir ini, AARC semakin didatangi oleh banyak orang dari beragam latar belakang, mulai dari psikologi, filsafat, hubungan internasional, hingga sastra,” ujar Adew. Selain tadarus dan diskusi, Adew juga berharap bahwa ke depannya, AARC bisa melakukan napak tilas ke tempat-tempat yang jauh. Misalnya, ke rumah pengasingan Soekarno di Ende, Flores, atau tempat pembuangan Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir di Banda Naira, Maluku. 

Api Bandung 

Lain AARC, lain pula Api Bandung. Meski berbeda, namun Api Bandung, yang didirikan pada tahun 2013 ini, diakui sendiri oleh Lely Mei, koordinator, sebagai komunitas yang terinspirasi oleh AARC. “AARC adalah ruang pertemuan, pembelajaran, dan diskusi nasionalisme serta nilai-nilai budaya, sedangkan yang bergerak untuk menyebarkan nilai-nilai itu, adalah Api Bandung,” ujar Lely. Maka itu, Api Bandung lebih banyak melakukan semacam aktivisme. Misalnya, pada tanggal 21 Mei 2015, bertepatan dengan hari ulang tahun Ali Sastroamidjojo –mantan Perdana Menteri dan Ketua Umum Konperensi Asia Afrika tahun 1955- yang ke-112, Api Bandung mengadakan kegiatan Malam Renungan untuk Ali Sastroamidjojo. Kegiatan tersebut diisi dengan penyalaan 112 lilin, pengumpulan tanda tangan dukungan agar Ali Sastroamidjojo diangkat sebagai pahlawan nasional, serta pembacaan catatan kenangan dari keluarga. 

Meski terhitung belia, geliat Api Bandung ternyata cepat menarik perhatian. Museum Sri Baduga, misalnya, mempercayakan Api Bandung untuk menghidupkan kembali museum tersebut lewat berbagai kegiatan. Misalnya, dengan menginisiasi terbentuknya komunitas Laskar Inggit yang bertujuan untuk mengenalkan siapa Inggit Garnasih –istri kedua Soekarno- pada generasi muda. Api Bandung pun tengah mengusahakan agar Inggit bisa diangkat posisinya menjadi pahlawan nasional. 

Lely berprinsip bahwa Api Bandung harus berpegang pada empat nilai inti Spirit Bandung, yaitu niat baik, egaliter, kerjasama, dan perdamaian. Dengan bermodalkan nilai-nilai tersebut, ia berjanji akan terus memerangi pengaruh dari hantaman globalisasi yang berdampak kuat pada lemahnya akar nasionalisme pada generasi muda. 

Pada anak muda seperti Adew dan Lely, kita bisa berharap banyak. Mereka tidak sedang mencari uang dan popularitas, atau bahkan tidak butuh setitikpun pujian. Semua orang pada dasarnya punya panggilan dalam hati tentang harus kemana ia berjalan dalam hidupnya. Hanya saja, ada yang mengikuti, ada juga yang memilih untuk tutup telinga dan hanya mengikuti arus zaman saja. AARC dan Api Bandung merupakan perwujudan suatu idealisme dari orang-orang yang mau mendengarkan panggilan hatinya yang terdalam. Pada mereka kita berharap semangat kebangsaan tertanam kuat dalam diri para pemuda.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1