Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Pernikahan saya akan berlangsung delapan bulan lagi. Renungan tentang mengapa, bagaimana, akan seperti apa, tentu saja kerap terlintas. Sempat saya membayangkan pernikahan adalah seperti via dolorosa, jalan derita yang dilalui Kristus sebelum disalib. Ia menapaki sesuatu yang berat, susah, berdarah, tapi sesungguhnya demi sesuatu yang lebih tinggi, agung, dan mulia. Dalam keadaan mental yang lebih skeptik, saya membayangkan pernikahan adalah upaya pengerdilan percik-percik api asmara oleh lembaga. Karena cinta barangkali terasa menggairahkan ketika kita mencicipi potongan-potongannya, bukan menelan keseluruhannya.
Pernikahan juga, sempat saya membayangkan, adalah momen batas tegas dimana kita menjadi dewasa. Dewasa adalah impian sebagian orang, tapi sekaligus momok sebagian lainnya. Terkadang menyenangkan melihat segala sesuatu hitam putih tanpa usah dipikirkan dalam-dalam. Terkadang asyik menanggapi banjir sebagai danau yang membuat kita bisa berenang, alih-alih menganggap itu bencana yang menghanyutkan harta benda.
Pernikahan juga berarti potensi untuk mempunyai anak kelak. Anak yang, kata Gibran, dibangun dibina untuk menjadi seseorang yang lepas seperti anak panah. Anak yang barangkali suatu hari nanti akan menjadi Oedipus yang membunuh ayahnya sendiri.
Tidakkah absurd? Tidakkah mengerikan?
Waktu semakin dekat, pemaknaan semakin mengerucut. Pada akhirnya saya tidak mungkin mengatakan suatu apa pun tentang pernikahan tanpa mengalaminya. Tidak fair. Yang mesti dikumpulkan hari demi hari adalah keyakinan. Keyakinan bahwa saya sedang bergerak dari manusia estetis ke etis Kierkegaardian: Hidup demi tanggungjawab, menunda kebahagiaan untuk kebahagiaan yang lebih besar. Bahwa justru karena pernikahan itu absurd, tiada jalan lain kecuali mengimaninya, melakukan leap of faith sehingga yang gelap jadi terang.
Yang terakhir. Menikah barangkali adalah semacam suatu ungkapan optimistik tentang peradaban. Bahwa manusia dan kehidupan di muka bumi masih akan berlangsung untuk waktu yang lama. Jika bukan saya kelak yang menebar benih damai di dunia, maka biar penerus saya kemudian.
Selanjutnya adalah doa, "Ya Tuhanku, semoga pernikahan kami nanti diberkahi layaknya Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra. Biarkan tubuh kami yang menua, lapuk dimakan usia, tapi jiwa kami memuda bagaikan Alexander Supertramp yang lepas dari kedua orangtua. Amin."
Amin...
ReplyDelete