Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Sebelumnya, terima kasih pada Pirhot Nababan, kawan yang dengan baik mengopikan 40 GB koleksi filmnya ke hard disk milik saya. Salah satu diantaranya adalah ini, yang dengan semangat ia sarankan untuk menontonnya. Suatu film berdurasi kurang dari dua jam, judulnya Religulous. Judul yang berasal dari gabungan dua kata, yaitu religious dan ridiculous.
Film dokumenter ini enak ditonton. Penuh interupsi visual yang menghibur. Berkisah tentang komedian Bill Maher yang melakukan "perjalanan spiritual". Ia bertemu petinggi-petinggi agama dan beragam orang-orang religius (believer) baik di AS, Vatikan, gereja Mormon, hingga Yerusalem, untuk kemudian didebat, diparodikan, diserang, hingga dihantam oleh argumen yang sesungguhnya sulit untuk ditanggapi secara memuaskan.
Dokumenter garapan Larry Charles ini juga sering menyisipkan ilustrasi-ilustrasi yang mengundang gelak tawa. Seperti ketika Bill mewawancarai Mohamed Junas Gaffar, seorang kiai di sebuah mesjid di Amsterdam tentang, "Apakah Islam adalah sebuah ancaman bagi nilai-nilai di Belanda?" Sang kiai menjawab, "Tidak. Islam adalah damai dan damai." Setelah itu tiba-tiba ada interupsi dari gambar lain, menunjukkan khutbah yang mengajak umat Muslim untuk membunuhi orang-orang Yahudi.
Bill, meskipun tampak antagonis dengan kelakuannya yang satir dan sering terbahak-bahak mendengarkan penjelasan para believer, apa yang ia serang sesungguhnya bisa dipahami. Seperti ketika Bill mewawancarai Jeremiah Cummings, seorang pastur, yang dikritiknya sebagai, "Lihat pakaian dan segala kekayaanmu, apakah Yesus mengajarkan ini?" Kata Jeremiah dengan gugup, "Tentu saja. Yesus selalu berpakaian baik, ia bahkan menggunakan linen bagus." Bill sendiri langsung tertawa sambil berkata, "Jelas sekali. Yesus adalah pembela orang miskin dan menentang segala kekayaan yang berlebihan."
Bill kerap mempertanyakan segala upaya "pembumian" agama. Misalnya, gerakan anti homoseksual, pertalian agama dan negara (baca: politik), pertalian agama dan ekonomi, pertalian agama dan sains, serta pertalian agama dan perang. Semuanya dipertanyakan dengan kalimat besar, "Apakah betul agama membicarakan itu semua? Atau ini hanya berkaitan dengan kepentingan kalian?" Di akhir film ia berpesan, "Grow up, or die." Mengajak kita semua merenungkan arti agama, jika memang ia adalah sumber kekerasan dan dehumanisasi.
Film dokumenter ini enak ditonton. Penuh interupsi visual yang menghibur. Berkisah tentang komedian Bill Maher yang melakukan "perjalanan spiritual". Ia bertemu petinggi-petinggi agama dan beragam orang-orang religius (believer) baik di AS, Vatikan, gereja Mormon, hingga Yerusalem, untuk kemudian didebat, diparodikan, diserang, hingga dihantam oleh argumen yang sesungguhnya sulit untuk ditanggapi secara memuaskan.
Dokumenter garapan Larry Charles ini juga sering menyisipkan ilustrasi-ilustrasi yang mengundang gelak tawa. Seperti ketika Bill mewawancarai Mohamed Junas Gaffar, seorang kiai di sebuah mesjid di Amsterdam tentang, "Apakah Islam adalah sebuah ancaman bagi nilai-nilai di Belanda?" Sang kiai menjawab, "Tidak. Islam adalah damai dan damai." Setelah itu tiba-tiba ada interupsi dari gambar lain, menunjukkan khutbah yang mengajak umat Muslim untuk membunuhi orang-orang Yahudi.
Bill, meskipun tampak antagonis dengan kelakuannya yang satir dan sering terbahak-bahak mendengarkan penjelasan para believer, apa yang ia serang sesungguhnya bisa dipahami. Seperti ketika Bill mewawancarai Jeremiah Cummings, seorang pastur, yang dikritiknya sebagai, "Lihat pakaian dan segala kekayaanmu, apakah Yesus mengajarkan ini?" Kata Jeremiah dengan gugup, "Tentu saja. Yesus selalu berpakaian baik, ia bahkan menggunakan linen bagus." Bill sendiri langsung tertawa sambil berkata, "Jelas sekali. Yesus adalah pembela orang miskin dan menentang segala kekayaan yang berlebihan."
Bill kerap mempertanyakan segala upaya "pembumian" agama. Misalnya, gerakan anti homoseksual, pertalian agama dan negara (baca: politik), pertalian agama dan ekonomi, pertalian agama dan sains, serta pertalian agama dan perang. Semuanya dipertanyakan dengan kalimat besar, "Apakah betul agama membicarakan itu semua? Atau ini hanya berkaitan dengan kepentingan kalian?" Di akhir film ia berpesan, "Grow up, or die." Mengajak kita semua merenungkan arti agama, jika memang ia adalah sumber kekerasan dan dehumanisasi.
***
Dalam kasus seperti ini, selalu ada pembelaan klasik, "Itu sih bukan agamanya, tapi orangnya." Tapi kemudian saya pribadi tidak terlalu lagi memegang teguh kalimat itu, karena jika demikian, "Adakah cara menjalankan agama yang paling benar?" Yang demikian juga tidak mudah menjawabnya. Karena jika yang dimaksud "menjalankan agama yang paling benar" itu mengikuti kitab suci dan apa-apa yang sudah tertulis, maka di Islam kita tahu, ada kelompok Salafi dan Wahabi yang sungguh-sungguh mengambil segala ajaran yang tertulis secara kaku. Ada juga kelompok yang lebih liberal, yang mengatakan agama seyogianya kontekstual, punya kelenturan dengan kehidupan keseharian dan perubahan jaman. Jika ini iya, maka kadang-kadang mereka tak tepat persis mengambil dari kitab suci, lantas, "Inikah cara menjalankan agama yang paling benar?"
Kata-kata Bambang Sugiharto mungkin ada benarnya. "Bukan semata-mata orangnya, jalinan sistem dalam agama mulai dari kitab suci, dogma, ritual, serta konsep ketuhanannya, sangat berpengaruh pada cara bersikap pemeluknya. Jadi jangan selalu salahkan orangnya, salahkan juga agamanya!"
Religulous dalam hal ini sesungguhnya tengah mengajak umat beragama untuk melakukan kritik diri. Atau dalam bahasa Bambang, "Membongkar aspek ilusoris dalam agama". Agama bagaimanapun juga mengandung dogma yang mau tidak mau harus diterima (disebut fideisme, atau faith-ism. Iman ya iman, nalar tidak boleh ikutan). Dogma bermaksud menangkap fenomena keilahian dan lantas diwariskan, tapi perlu diingat, bahwa: Dogma bukanlah fenomena keilahian itu sendiri. Untuk menemukan fenomena keilahian secara persona, kadang-kadang memang harus melalui pengalaman yang betul-betul mandiri. Sebuah pengalaman akan kehadiran: fascinatum et tremendum, mengagumkan sekaligus menggetarkan.
"Serangan-serangan" dari Bill Maher sudah sepatutnya tidak menjadikan diri kita tersinggung atau marah -seolah-olah kemarahan ini mewakili kemarahan Tuhan-, tapi menjadi suatu renungan mendalam tentang pengalaman beragama kita semua. Film ini layak ditonton walaupun saya tidak tahu dari mana bisa mendapatkannya (paling banter download). Ingat, sekali lagi, jangan marah! Jangan terpikir untuk menghalalkan darah Bill Maher karena ketika ia ditanya di Yerusalem oleh seorang believer, "What if you're wrong?", ia cuma bertanya balik: "What if you're wrong?"
Religulous dalam hal ini sesungguhnya tengah mengajak umat beragama untuk melakukan kritik diri. Atau dalam bahasa Bambang, "Membongkar aspek ilusoris dalam agama". Agama bagaimanapun juga mengandung dogma yang mau tidak mau harus diterima (disebut fideisme, atau faith-ism. Iman ya iman, nalar tidak boleh ikutan). Dogma bermaksud menangkap fenomena keilahian dan lantas diwariskan, tapi perlu diingat, bahwa: Dogma bukanlah fenomena keilahian itu sendiri. Untuk menemukan fenomena keilahian secara persona, kadang-kadang memang harus melalui pengalaman yang betul-betul mandiri. Sebuah pengalaman akan kehadiran: fascinatum et tremendum, mengagumkan sekaligus menggetarkan.
"Serangan-serangan" dari Bill Maher sudah sepatutnya tidak menjadikan diri kita tersinggung atau marah -seolah-olah kemarahan ini mewakili kemarahan Tuhan-, tapi menjadi suatu renungan mendalam tentang pengalaman beragama kita semua. Film ini layak ditonton walaupun saya tidak tahu dari mana bisa mendapatkannya (paling banter download). Ingat, sekali lagi, jangan marah! Jangan terpikir untuk menghalalkan darah Bill Maher karena ketika ia ditanya di Yerusalem oleh seorang believer, "What if you're wrong?", ia cuma bertanya balik: "What if you're wrong?"
Comments
Post a Comment