Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Catatan dari Acara Young Composers in Southeast Asia Competition & Festival 2011

Young Composers in Southeast Asia Competition & Festival 2011 adalah suatu acara yang diselenggarakan atas kerjasama Goethe Institut dan Universitas Pendidikan Indonesia. Secara umum, acara ini digelar untuk menampung komposer muda yang memiliki ketertarikan pada komposisi untuk instrumen barat dan timur sekaligus. Kata Dieter Mack, penyelenggara, dari tujuh puluhan komposisi yang masuk, sepuluh diantara menjadi finalis terpilih. Sepuluh karya itulah yang kemudian ditampilkan pada malam itu di Dago Tea House. Para performa berasal dari Ensembel Mosaik dan Kyai Fatahillah. Ensembel Mosaik yang berasal dari Jerman mewakili instrumen barat, sedang Kyai Fatahillah dari Bandung mewakili instrumen timur. Keduanya bersatu padu menampilkan dan menginterpretasi komposisi-komposisi dari para finalis. Saya tidak punya suatu judul yang menggambarkan garis besar dari apa yang saya saksikan barusan. Saya lebih memilih judul "catatan", agar tidak perlu berupaya mencari-cari satu esensi. 1. Tidak dapat disangkal, bahwa sajian malam itu adalah apa yang disebut dengan "musik kontemporer". Jika disebut musik klasik, tidak tepat juga, karena apa yang disuguhkan mempunyai suatu "perasaan kebaruan" yang barangkali tidak ada padanannya di masa lampau. Yang saya rasakan, kebaruan ini berasal dari dua aspek, pertama yaitu aspek musikal itu sendiri. Secara ritmikal, harmoni, maupun tonalitas, musik yang dihadirkan terasa tidak lazim. Secara subjektif juga sulit dinikmati dan dicerna langsung. Kedua, adalah eksplorasi instrumen. Instrumen tidak hanya dibunyikan "sebagaimana mestinya", tapi juga ada upaya untuk menggali kemungkinan-kemungkinan apa saja yang mampu dihasilkan oleh suatu karakteristik alat musik. 2. Saya tidak setuju jika musik kontemporer dikatakan suatu musik yang "asal bunyi". Meskipun secara sepintas dapat dikatakan demikian, jika acuannya adalah ritmik dan harmoni yang sehari-hari kita jumpai. Sering sekali terdapat celetukan, "Ah, bikin yang kaya gitu sih saya juga bisa." Hal tersebut merupakan respon dari komposisi musik kontemporer yang jika dilihat sekilas seperti chaotic dan tidak punya keteraturan. Musik kontemporer justru sedang berupaya menangkap keseharian kita yang sejati sesuai dengan salah satu karakteristik seni yang mengimitasi kehidupan. Dalam pengalaman keseharian kita, seringkali bunyi hape, deru mobil, percakapan orang, serta bunyi pesawat terbang berseliweran sembarangan tanpa teratur. Musik kontemporer ada upaya menangkap fenomena itu, sehingga ketika mendengarkannya seyogianya kita justru menyadari sebuah keadaan "kesekarangan". 3. Menambahkan poin di atas, saya juga menemukan suatu keadaan nostalgic bagi sebahagiaan kaum yang kerap memuja musik masa lampau namun menutup diri pada musik kontemporer. Perlu diketahui bahwa ada kecenderungan bagi manusia untuk menganggap masa lalu lebih baik dari sekarang. Penyuka Bach, Beethoven, Schumann, Debussy, atau Mozart yang menganggap musik mereka jauh lebih harmonis dan enak didengar, mungkin lupa bahwa pada jamannya mereka-mereka ini justru atonal dan tidak harmonis: kontemporer. Apa yang disuguhkan malam tadi terasa tidak nyaman di telinga jaman ini, namun suatu saat akan dikenang sebagai "musik yang mewakili jaman itu". 4. Menyaksikan konser secara live adalah whole body experience. Seluruh indra ditajamkan dan "dipaksa" untuk menangkap segala fenomena yang terjadi. Kata Dieter Mack, "Menyaksikan konser musik secara langsung jauh lebih baik daripada menonton televisi ataupun mendengarkan CD." Beberapa komposer menyadari hal itu sehingga ada beberapa sajian komposisi yang juga menarik secara visual. 5. Persoalan harmonisasi instrumen timur dan barat tidak seharusnya menjadi hal yang terlalu serius. Sajian malam tadi membuktikan bahwa yang terpenting bukan lagi soal tuning ataupun key signature, tapi lebih pada interaksi antar sesama pemain. Lagi-lagi saya mengutip Dieter Mack, "Apapun yang dimainkan dengan perasaan sungguh-sungguh, akan sampai pada penonton." 6. Kontemporer bukanlah sejenis aliran musik. Ia adalah suatu kesadaran yang mencoba menangkap fenomena masa kini dan meresponnya. Orang bisa saja mengambil jalur kontemporer, tapi saya pikir ia mesti lebih dulu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang musik-musik di masa lampau. Selain itu, ia juga mesti memiliki konsep yang kuat tentang bagaimana ia menangkap dunia keseharian. Lagi-lagi Dieter Mack, "Memahami musik harus disertai filsafat, atau seseorang mempunyai lubang dalam konsepnya." 7. Faktanya, acara "seni yang dipertandingkan" masih sering diperdebatkan. Namun di akhir acara saya sempat berbincang sejenak dengan legenda hidup Slamet Abdulsjukur. Katanya, "Ini pertandingan yang sangat sehat dengan juri yang jujur." Suatu pendapat yang menarik karena akhirnya saya menemukan opini mengenai "pertandingan seni yang sehat". 8. Pasca perang dunia kedua, dunia barat dilanda suatu trend filsafat bernama posmodernisme. Tokoh-tokoh seperti Lyotard, Foucault atau Derrida mengatakan adanya konstruksi kebenaran dalam segala sesuatu. Pengaruh besarnya, dunia barat sebagai "kiblat kebenaran" di era-era sebelumnya mengalami kegoncangan, dan dunia timur lambat laun mulai ditengok. Acara ini sungguh pandai memanfaatkan momen global dimana dunia timur sedang menjadi pusat perhatian. Posmodernisme adalah suatu jalan bagi "kaum yang terpinggirkan" di era-era sebelumnya untuk bersuara. Suatu kesempatan juga bagi dunia timur selain mengeksplorasi ke luar, tapi juga menggali ke dalam. Mencari jati diri yang asali. Demikian beberapa catatan tentang acara yang pada akhirnya "dimenangkan" oleh Alexander Villanueva (Filipina), Matius Shan Boone (Indonesia), dan Danilo Endangan Imson (Filipina) tersebut. Patut dipuji karena ketiga pemenang tersebut tidak berhierarki juara satu, dua, dan tiga. Ketiganya adalah pemenang bersama dengan hadiah uang yang sama pula.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1