Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Ketika awal-awal mengikuti kuliah filsafat di Extension Course Filsafat (ECF) Unpar, Pak Bambang Sugiharto mengatakan sesuatu tentang "Tubuh adalah penjara jiwa" yang sesungguhnya ia kutip dari Plato. Kemudian masih di pertemuan yang sama, beliau mengatakan hal sebaliknya yang ia ambil dari Foucault. Katanya, "Jiwa adalah penjara tubuh". Jika tubuh adalah penjara jiwa, agaknya masih mudah dipahami. Namun soal pernyataan Foucault, apa maksudnya?
Mari membedah dulu omongan Plato. Plato adalah murid Sokrates, yang sama-sama mengagungkan eudaimonia. Kata yang dapat diterjemahkan menjadi "kebahagiaan" mesti tak tepat benar padanannya. Mungkin saya bisa usulkan "keluhuran jiwa". Baik Sokrates maupun Plato keduanya sepakat bahwa manusia yang bijaksana adalah mereka yang sukses mencapai eudaimonia. Bagi Plato, jiwa ini murni adanya. Ia mempunyai pengetahuan ideal yang diturunkan dari dunia ide pra-eksistensi. Ketika manusia lahir ke dunia berbalutkan tubuh, maka jiwa ini mengalami kelupaan. Tugas manusia berikutnya adalah "mengingat kembali" apa-apa yang pernah ada di dunia ide, suatu kondisi dimana jiwa ini pernah sedemikian murninya sebelum terbungkus tubuh yang penuh dengan tipu daya dan kesementaraan.
Untuk membedah tagline Foucault, sesungguhnya bagi saya mudah saja karena pisau bedahnya berasal dari pengalaman saya pribadi belakangan ini. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan saya baik lewat bacaan, diskusi, film, musik dan lain sebagainya, saya mempunyai kegelisahan yang amat Sokratik: Bahwa saya menyadari ternyata banyak yang saya tidak tahu. Hal ini sangat mengganggu dan seringkali membuat kalap. Untuk mengatasinya, saya meng-copy bergiga-giga film dari kawan, menyiapkan tumpukan literatur untuk dibaca, serta mengurut list link youtube ataupun e-book yang wajib diunduh maupun dilihat. Ini belum ditambah dorongan yang semakin kuat untuk datang ke tempat apapun: diskusi, seminar, pagelaran musik kontemporer, bahkan konser Westlife pun saya sempat mempertimbangkan untuk hadir! Meskipun seolah ditujukan untuk menambah pengetahuan, tapi ada tujuan yang lebih penting daripada itu bagi saya, yakni meredakan kegelisahan jiwa.
Hari-hari belakangan ini, jiwa saya menjadi rajin meronta. Saya kebingungan setiap paginya untuk mencari apa yang pas bagi kebutuhan jiwa. Jika kamu bertanya apa sesungguhnya kesibukan saya, maka secara konkrit (jika yang konkrit artinya menghasilkan uang) tidak banyak. Saya hanya mengajar gitar klasik setiap sore, meng-update blog Tobucil Senin pagi, dan mengajar mata kuliah di kampus yang baru satu-dua saja jumlahnya. Sisanya saya betul-betul disibukkan untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Ada dorongan aneh yang mengharuskan saya menonton minimal satu film setiap hari, menulis artikel minimal satu posting setiap hari, mendengarkan musik, berlatih gitar, memikirkan suatu acara, dan lain sebagainya. Bahkan selalu ada momen terselip ketika saya tiba-tiba merasa perlu untuk memikirkan nasib umat manusia!
Pada titik ini saya merasa justru jiwa yang memenjarakan tubuh. Saya ingin tubuh ini bebas, mengerjakan hal-hal yang dia suka yang sesungguhnya cuma empat saja: makan, minum, tidur dan seks. Saya ingin tubuh ini tidur ketika ngantuk, makan ketika lapar, seks ketika ingin, dan bukannya menahan diri oleh sebab hambatan dari jiwa yang minta perhatian. Jiwa saya sekarang mendadak memikirkan nasib para nabi. Apakah mereka bahagia dengan kenabiannya? Apakah Yesus sedemikian agungnya ketika dia sukses membangkitkan Lazarus tanpa sedikitpun perasaan takut seperti yang digambarkan oleh Martin Scorcese dalam The Last Temptation of Christ? Apakah Muhammad sedemikian agungnya ketika menerima wahyu dari malaikat Jibril tanpa gejolak yang dahsyat pada jiwanya? Apakah Siddharta sedemikian agungnya ketika memutuskan pergi dari istana, tanpa ada ketakutan bahwa nantinya ia tak dapat apa-apa dari perjalanan spiritualnya?
Jiwa ini mungkin tidak semanis perkataan Plato. Seringkali ia justru liar dan nakal. Menyelimuti seluruh aspek kehidupan dan kadang sukses menangguhkan lapar dan ngantuk hingga limit tertentu.
Mari membedah dulu omongan Plato. Plato adalah murid Sokrates, yang sama-sama mengagungkan eudaimonia. Kata yang dapat diterjemahkan menjadi "kebahagiaan" mesti tak tepat benar padanannya. Mungkin saya bisa usulkan "keluhuran jiwa". Baik Sokrates maupun Plato keduanya sepakat bahwa manusia yang bijaksana adalah mereka yang sukses mencapai eudaimonia. Bagi Plato, jiwa ini murni adanya. Ia mempunyai pengetahuan ideal yang diturunkan dari dunia ide pra-eksistensi. Ketika manusia lahir ke dunia berbalutkan tubuh, maka jiwa ini mengalami kelupaan. Tugas manusia berikutnya adalah "mengingat kembali" apa-apa yang pernah ada di dunia ide, suatu kondisi dimana jiwa ini pernah sedemikian murninya sebelum terbungkus tubuh yang penuh dengan tipu daya dan kesementaraan.
Untuk membedah tagline Foucault, sesungguhnya bagi saya mudah saja karena pisau bedahnya berasal dari pengalaman saya pribadi belakangan ini. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan saya baik lewat bacaan, diskusi, film, musik dan lain sebagainya, saya mempunyai kegelisahan yang amat Sokratik: Bahwa saya menyadari ternyata banyak yang saya tidak tahu. Hal ini sangat mengganggu dan seringkali membuat kalap. Untuk mengatasinya, saya meng-copy bergiga-giga film dari kawan, menyiapkan tumpukan literatur untuk dibaca, serta mengurut list link youtube ataupun e-book yang wajib diunduh maupun dilihat. Ini belum ditambah dorongan yang semakin kuat untuk datang ke tempat apapun: diskusi, seminar, pagelaran musik kontemporer, bahkan konser Westlife pun saya sempat mempertimbangkan untuk hadir! Meskipun seolah ditujukan untuk menambah pengetahuan, tapi ada tujuan yang lebih penting daripada itu bagi saya, yakni meredakan kegelisahan jiwa.
Hari-hari belakangan ini, jiwa saya menjadi rajin meronta. Saya kebingungan setiap paginya untuk mencari apa yang pas bagi kebutuhan jiwa. Jika kamu bertanya apa sesungguhnya kesibukan saya, maka secara konkrit (jika yang konkrit artinya menghasilkan uang) tidak banyak. Saya hanya mengajar gitar klasik setiap sore, meng-update blog Tobucil Senin pagi, dan mengajar mata kuliah di kampus yang baru satu-dua saja jumlahnya. Sisanya saya betul-betul disibukkan untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Ada dorongan aneh yang mengharuskan saya menonton minimal satu film setiap hari, menulis artikel minimal satu posting setiap hari, mendengarkan musik, berlatih gitar, memikirkan suatu acara, dan lain sebagainya. Bahkan selalu ada momen terselip ketika saya tiba-tiba merasa perlu untuk memikirkan nasib umat manusia!
Pada titik ini saya merasa justru jiwa yang memenjarakan tubuh. Saya ingin tubuh ini bebas, mengerjakan hal-hal yang dia suka yang sesungguhnya cuma empat saja: makan, minum, tidur dan seks. Saya ingin tubuh ini tidur ketika ngantuk, makan ketika lapar, seks ketika ingin, dan bukannya menahan diri oleh sebab hambatan dari jiwa yang minta perhatian. Jiwa saya sekarang mendadak memikirkan nasib para nabi. Apakah mereka bahagia dengan kenabiannya? Apakah Yesus sedemikian agungnya ketika dia sukses membangkitkan Lazarus tanpa sedikitpun perasaan takut seperti yang digambarkan oleh Martin Scorcese dalam The Last Temptation of Christ? Apakah Muhammad sedemikian agungnya ketika menerima wahyu dari malaikat Jibril tanpa gejolak yang dahsyat pada jiwanya? Apakah Siddharta sedemikian agungnya ketika memutuskan pergi dari istana, tanpa ada ketakutan bahwa nantinya ia tak dapat apa-apa dari perjalanan spiritualnya?
Jiwa ini mungkin tidak semanis perkataan Plato. Seringkali ia justru liar dan nakal. Menyelimuti seluruh aspek kehidupan dan kadang sukses menangguhkan lapar dan ngantuk hingga limit tertentu.
Comments
Post a Comment