Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Orang Tua dan Anak Muda

 

Belakangan ini saya sering diberi visi tentang hubungan istimewa seorang tua dan seorang muda. Pertama ketika memoderasi sebuah bedah buku tulisan Andi Achdian (judulnya Sang Guru dan Secangkir Kopi) berisi percakapan ia dengan gurunya, seorang sejarawan legendaris, Ong Hok Ham. Saya terkesan dengan bagaimana Andi terkesan dengan gurunya. Tentu saja, sang guru, Ong, tidak serta merta mempunyai pribadi yang menyenangkan sepenuhnya. Terkadang Ong marah-marah, lain waktu meninggalkan Andi seorang diri di beranda rumahnya untuk tidur tanpa pamit. Namun apa yang disampaikan Ong nampak tidak ada satupun yang tersapu waktu. "Kritisisme, kritisisme," demikian pesan Ong pada Andi, tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. "Manusia itu, harus kritis," tambah Ong berulangkali.

Secara random, saya diingatkan pada hubungan orang tua dan anak muda yang sangat menarik dalam film Gran Torino (2008). Ini antara Walt Kowalski (Client Eastwood) dan Thao. Walt adalah veteran Perang Korea yang kesepian dan Thao adalah anak muda beretnik Hmong. Thao, yang menjadi pecundang di antara kawan-kawannya, diajari untuk berani dan bersikap maskulin oleh Walt. Meskipun Walt adalah pria tua yang keras kepala (terbukti dari beberapa kali ia mengusir pendeta yang memintanya berdoa), namun di hadapan Thao ia tidak bisa membohongi rasa sayangnya. Walt memberikan beberapa perkakas favoritnya semata-mata agar Thao punya kemampuan tukang untuk membekalinya kelak. Walt juga mengajak Thao ke tempat cukur, tempat Walt dan si tukang cukur bercakap-cakap dengan umpatan-umpatan kasar. Kata Walt, "Seperti inilah pria seharusnya berbicara."

Kemarin, hubungan sentimentil ini datang lagi. Hadir lewat film Scent of A Woman (1991) yang dibintangi oleh Al Pacino. Al Pacino berperan sebagai Letnan Kolonel (purnawirawan) Frank Slade yang kehilangan penglihatan dan tinggal di rumah keponakannya. Berhubung keponakannya sekeluarga hendak berlibur dan Kolonel enggan ikut, maka ia mempersilakan Charlie Simms (Chris O' Donnell), mahasiswa yang tengah mencari kerja sampingan untuk menemani Kolonel beberapa hari. Kolonel secara tiba-tiba mengajak Charlie ke New York, hal yang ia sebut sebagai, "Perjalanan yang memulai pendidikanmu." Kolonel kemudian baik secara langsung maupun tidak langsung, menunjukkan pada Charlie tentang kegairahan hidup. Wanita, anggur, tarian tango, dan berbagai fasilitas hotel yang seolah Kolonel mau menunjukkan pada Charlie, bahwa hidup tidak hanya tentang sekolah. Faktanya, inilah kehidupan sejati.

Ketiga contoh di atas, meskipun sama-sama berkonsep "Orang tua mewariskan sesuatu pada anak muda", tapi substansinya beragam. Namun bukan itu yang hendak dibahas, melainkan kenyataan bahwa pada dasarnya ada suatu perasaan keharusan dari orang tua untuk mewariskan sesuatu yang ia punya, pada kaum muda. Ketiga orang tua di atas: Ong, Walt, dan Kolonel, bukanlah orang tua yang mengalami suatu keramaian di masa tuanya. Mereka dihinggapi kesepian dan mempersiapkan akhir hidupnya nyaris dalam kesendirian. Dalam sisa-sisa waktu yang mereka punya, mereka barangkali menyadari bahwa jiwa mereka sesungguhnya masihlah sama seperti puluhan tahun sebelumnya. Tapi apa daya tubuh ini sudah renta dan biarkan tubuh yang lebih kokoh yang membawa semangat ini.

Pikiran saya tidak berloncatan lagi kesana kemari, ketika Bapak memanggil saya untuk duduk di meja makan. Bapak adalah pria tua yang bisa saya samakan dengan Ong, Walt, dan Kolonel. Ia pria tua yang sedang sibuk untuk mengumpulkan apa-apa saja yang bisa diwariskan pada orang muda yang dikenalnya. Seperti lazimnya pria tua juga, pribadi Bapak tidak selamanya enak. Ada saja temperamen meledak tiba-tiba, bermanja-manja, atau punya keinginan ini itu padahal saya sebagai anak muda saja dipenuhi kegiatan ini itu.

Pepatah orang tua pada anak muda barangkali tidak pernah terserap semua dalam memori ataupun perasaan. Namun saya merasa kata-kata Bapak mendagingi saya, tumbuh bersama tubuh saya, diserap oleh seluruh panca indera. Bapak adalah orang yang ketika saya kecil tidak pernah berhenti menyuguhkan musik jazz, pertunjukkan kesenian, serta butir-butir pemikiran mendalam yang waktu itu tak bisa saya pahami. Tapi ketika saya besar, saya punya sekop yang cukup kuat untuk menggali apa-apa yang pernah ia tanamkan dulu di seluruh panca indera saya. Orang tua sesungguhnya tidak pernah berbagi kebijaksaan, karena kebijaksanaan sejati tidak bisa dibagi-bagi. Orang tua memberikan pengetahuan tentang kebijaksanaan untuk lantas kebijaksanaan itu sendiri anak muda yang maju untuk mengarungi. Mencari.

Hari ini saya berbicara sebagai seorang muda, petualang penuh spirit. Nanti kelak saya menulis ini sebagai seorang tua, yang kakinya tak lagi kuat mendaki gunung, namun saya bisa berbicara tentang gunung tanpa mesti berada di puncaknya. "Sesungguhnya kebenaran sejati adalah pencarian kebenaran itu sendiri," demikian Bapak selalu berpesan berulang-ulang.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat