Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Rahim dan Alam Semesta


 
Ditulis tahun 2013 untuk buku bunga rampai berjudul Mom, The First God that I Knew.

Istri, saat saya tengah menuliskan ini, sedang dalam perjalanannya untuk menjadi seorang ibu. Ia tengah dalam masa hamil dan memasuki bulan ke sembilan. Namun jika ditanya, sudah siapkah menjadi ibu? Ia selalu menjawab sudah, karena saya sudah menjadi ibu. Sejak kapan? Anaknya saja belum lahir. Oh, tidak, kamu salah, saya sudah jadi ibu sejak anak itu berada dalam kandungan.
 
Mungkin tidak rasional sama sekali jika saya jelaskan pada kamu bagaimana istri saya selalu bicara dengan jabang bayi di perutnya hampir dalam setiap gerak-geriknya. Ia bicara dengan nada suara penuh kasih sayang yang biasa kita dengarkan dari seorang ibu pada anaknya. Meski belum bertemu, ia sering mengusapi perutnya dengan halus dan berkata, Mami kangen, ingin jumpa.  Saya kadang-kadang sering ketus dengannya dengan mengatakan, Memang dia bisa dengar?

Tapi dunia ini menjadi bengis oleh berbagai rasionalitas laki-laki. Karena ketika kita memahami lebih dekat, lebih intim, sungguh apa yang dilakukan oleh istri saya terhadap jabang bayi di perutnya adalah melampaui rasionalitas. Ucapan seorang ibu terhadap anaknya adalah energi damai yang menjadi inti dari kehidupan alam semesta. Seolah-olah seluruh galaksi dan segala keteraturannya ada dalam rahim seorang perempuan ketika dia mengandung. Semuanya baik, semuanya harmoni, sebelum nalar dan ambisi seorang laki-laki menjadikan dunia ini penuh agresi.

Suatu hari Gibran pernah berkata, Jika kamu memahami perempuan, kamu akan lebih paham alam semesta. Saya tidak mengerti arti perkataan ini sampai akhirnya berulangkali mendengarkan tiada henti bagaimana sang istri berbicara pada anaknya di dalam kandungan. Sekarang mungkin saya mengerti ucapan Gibran, bahwa dunia ini ditata oleh cinta. Cinta membuat segala sesuatu bertindak sesuai fitrahnya. Mungkin kamu tahu bagaimana nasihat-nasihat seorang ibu seringkali ditolak oleh jiwa muda kita karena tidak masuk akal sama sekali dan terlalu berlebihan. Tapi seorang ibu bicara atas nama alam semesta, ia tidak bicara oleh nalarnya. Ia tahu mana yang baik dan benar oleh sebab rahimnya pernah terhubung dengan dada sang bumi. Namun yang membuatnya miskin adalah kata-kata dan pikiran, yang oleh laki-laki diagung-agungkan.

Sekarang saya katakan kepada kamu sebagai seorang laki-laki kepada seorang laki-laki: Kamu tidak perlu susah-susah mencari kesana kemari untuk memahami arti dunia ini. Cukup pahami perempuan, satu orang saja, secara baik. Disana kamu akan menemukan siapa Tuhan, siapa kebenaran, dan siapa itu diri.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1