Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Seni Bandung #1: (Upaya) Mengurai Jalinan yang Rumit Antara Seniman, Ruang Publik dan Pemerintah


 
*) Ditulis sebagai suplemen dalam forum Bandung Music Meeting di Balai Kota Bandung, 16 Desember 2017.

Pada pertengahan bulan September 2016, saya dihubungi oleh kawan, Heru Hikayat, melalui Whatsapp. Pertanyaan pertamanya saya ingat: “Kamu siap jadi ‘seniman plat merah’?” Saya mengerti sedikit maksudnya, tapi tidak terlalu peduli dengan pertanyaan itu. Hal yang terjadi berikutnya adalah kami semua bertemu di kediaman Iman Soleh di Celah-Celah Langit (CCL), belakang Terminal Ledeng. CCL adalah ruang alternatif yang kerap digunakan berbagai pertunjukan seperti musik, sastra, dan teater. Di tempat tersebut, kami berkumpul (saya akan menggunakan sapaan yang saya sematkan bagi mereka): Kang Iman, Kang Heru, Om Tisna Sanjaya, Kang Ahda Imran, Uda Alfiyanto, Kang Asep Budiman, Kang Dedi Warsana, dan saya. Untuk apa? Kata Kang Iman, Pak Wali Kota ingin membuat acara besar yang menyatukan para seniman. Acara tersebut haruslah sekaligus menjadi identitas bagi Kota Bandung. Akhirnya kami merumuskan suatu konsep festival kesenian dengan durasi panjang (satu bulan penuh dari tanggal 25 September hingga 25 Oktober 2017) dan titik pertunjukan yang sporadis. Konsepnya estetika partisipatoris dan namanya: Seni Bandung #1 - A Collaborative Arts Event (Selanjutnya disebut Seni Bandung). 

Estetika Partisipatoris

Estetika partisipatoris merupakan proses kesenian yang melibatkan apresiator sebagai bagian dari kekaryaan. Lantas, bagaimana dengan seniman itu sendiri? Seniman dalam konsep estetika partisipatoris tidak lagi sebagai kreator tapi sebagai organisator. Konsep estetika partisipatoris disetujui sebagai konsep kuratorial paling mendasar dalam Seni Bandung. Untuk memperkuat konsep ini, diadakan satu kali Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang Prof. Bambang Sugiharto (guru besar filsafat UNPAR), Dirdho Adhityo (peminat kajian estetika dan seni, Jakarta) dan Arief Yudi (Jatiwangi Art Factory). Diskusi tersebut diadakan pada tanggal 24 Maret 2017 dengan judul Ke Arah Mana, Estetika Partisipatori? Konsep estetika partisipatoris dipraktikkan dengan baik salah satunya oleh Jatiwangi Art Factory di Majalengka. Berkali-kali acara kesenian di Jatiwangi Art Factory melibatkan warga setempat seperti misalnya musik genteng dan pameran seni rupa di rumah warga. Seniman dari berbagai negara pernah hadir ke Jatiwangi Art Factory dan mereka ditantang untuk membuat karya yang kira-kira bisa menyelesaikan persoalan warga dan lingkungan sekitar. Artinya, seni didorong untuk melakukan perubahan konkrit. Seni tidak lagi berdiam diri di galeri dan dinikmati oleh segelintir kalangan saja. Pertanyaan besarnya: Bagaimana menerapkan konsep estetika partisipatoris dalam musik? 

Pola Kerja
Dalam Seni Bandung, kesenian yang tampil berasal dari lima bidang seni yaitu teater, sastra, seni rupa, tari, dan musik. Secara organigram, komite yang berisi para kurator dipimpin oleh Direktur Eksekutif (dalam hal ini, Kang Iman) yang didampingi Direktur Artistik, Kang Heru. Di bawahnya, masing-masing bidang seni digawangi oleh tiga kurator: teater oleh Kang Dedi, Kang Asep Budiman, dan Kang Hendra Permana; sastra oleh Kang Bambang Q-Anees, Zulfa Nasrullah, dan Kang Dian Hendrayana; seni rupa oleh Bob Edrian, Kang Jajang Supriyadi dan Donny Dwihandono Ahmad; tari oleh Bah Nanu Munajar, Uda Alfiyanto dan Kang Deden Bulenk, sedangkan musik oleh Kang Ismet Ruchimat, Kang Budi Dalton dan saya. Tim komite ini didampingi oleh tim produksi yang dipimpin oleh Satria Yanuar Akbar. Kang Satria sendiri membawahi sekian banyak staf yang mendampingi tiap-tiap bidang seni. Pengangkatan komite dan tim produksi ini diperkuat oleh Surat Keputusan Wali Kota Bandung tanggal 6 April 2017. Tim komite setuju untuk menjalankan acara ini secara sporadis dan melibatkan banyak seniman. Satu bulan sebelum acara (sekitar Agustus), diumumkan bahwa total seniman yang terlibat ada di angka sekitar 2475 seniman yang tergabung dalam 123 kelompok kesenian. Mereka tampil di 49 lokasi dan total pertunjukan adalah sebanyak 600an pertunjukan. 

Pertimbangan Kuratorial 
Kembali ke persoalan estetika partisipatoris. Menerjemahkan ide tersebut ke program musik sebenarnya merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Pertama, Musik merupakan seni yang Pak Bambang Sugiharto menyebutnya sebagai seni yang paling “langsung” dan “dalam”. Artinya, musik tidak perlu banyak dibubuhi konteks semisal intellectual framework. Musik bisa langsung dicerap, dicerna, dirasakan, dan direspon secara langsung. Kita ambil contoh seni rupa, karya di galeri memang bisa kita rasakan langsung keindahannya, tapi kadang kita juga memerlukan satu pengertian mengenai karya tersebut, sehingga merasa perlu untuk membaca teks dari kurator. Bidang seni lain cenderung bisa “diwawa’as” dengan konsep dan teks di luar karya, sedangkan musik, ia “berbicara langsung atas nama dirinya”. Apa artinya? Bagi penikmat, mungkin tidak sedemikian penting apakah musik yang dihasilkan berasal dari konsep estetika partisipatori atau bukan, selama itu “enak dan bagus”, mungkin itu sudah cukup bagi apresiator manapun. Kedua, apakah dalam konteks acara yang bisa dilabeli “festival kesenian kota”, kita bisa terus menerus melibatkan warga dalam memproduksi karya? Tentu saja, warga juga ingin duduk dan menikmati musik sebagaimana adanya. Mereka ingin pertunjukan yang menghibur dan tidak perlu ruwet dengan suatu konsep yang terlampau filosofis. Atas dasar pertimbangan kesesuaian dengan konsep dan juga hakikat sebuah festival kota, maka tim kurator musik merumuskan pertimbangan kuratorialnya dalam program-program sebagai berikut:

  • Festival Musik Interupsi - Berupa musik yang dihadirkan di ruang publik agar menjadi semacam interupsi bagi warga sekitar. Musik yang dihadirkan dapat bermacam-macam, tapi pada dasarnya, tim kurator cenderung menampilkan musik yang selama ini “tidak populer” secara industri, tapi tetap mampu menciptakan satu apresiasi tersendiri bagi warga kota.
  • Festival Musik Serius Pisan - Berupa musik yang sekiranya “tidak biasa” dalam artian: bukan jenis estetika yang sehari-hari akrab di telinga. Bertujuan agar warga mendapat semacam “provokasi estetik” dan mendapat satu pemahaman reflektif yang baru dalam memandang musik. Musik yang dimaksud bisa termasuk ke dalamnya tidak hanya yang bersifat eksperimental, kontemporer, avant-garde, tapi bisa juga musik klasik dan musik jazz - selama itu dihadirkan di tengah warga yang tidak biasa mendengarkannya -.
  • Tabeuh Bandung Tabeuh Uing - Berupa musik tradisi ataupun musik yang merupakan hasil leburan antara musik lain dan tradisi.
  • Festival Musik Parapatan - Berupa keterlibatan komunitas penyanyi jalanan untuk menyemarakkan perempatan jalan sebagai tempat berhenti sejenak di tengah kepenatan kota. 
  • Bandung Bermusik - Berupa keterlibatan tiga puluh kecamatan di Kota Bandung untuk menyelenggarakan panggung musiknya sendiri-sendiri dengan melibatkan pemusik lokal setempat semata-mata untuk menghibur warga secara sporadis. Bandung Bermusik diharapkan akan dipandang sebagai suatu upaya menyebarkan kegiatan ini ke setiap tempat di Kota Bandung - tidak hanya seperti festival pada umumnya yang cenderung terpusat -. 
  • Bandung Berbunyi - Berupa keterlibatan ruang publik atau ruang alternatif yang memang selama ini sudah punya rekam jejak yang baik dan konsisten dalam penyelenggaraan musik. Idenya adalah menyebarkan semangat membangun apresiasi musik dari ruang-ruang kecil.
  • Musisi Balik Bandung - Berupa upaya memanggil kembali musisi-musisi yang sudah malang melintang hingga tingkat nasional bahkan internasional, untuk kembali ke tempat yang pernah melahirkan dan membesarkannya - dalam konteks ini, Kota Bandung -. Kembalinya musisi-musisi tersebut dapat berupa pertunjukan musik atau juga sekadar sharing session.
  • Workshop Musik - Berupa interaksi musik dalam bentuk non-pertunjukan seperti talk show, hearing session, dan songwriting workshop

Maka bagi tim kurator musik, ini sudah merupakan “cara terbaik” untuk mengejawantahkan ide estetika partisipatoris tanpa perlu mengorbankan nilai hiburan dari festival itu sendiri. Untuk mensukseskan ide-ide tersebut, dilibatkan juga sejumlah komunitas dan institusi pendidikan musik untuk mengisi panggung-panggung yang sebagian besar diletakan di ruang publik. Realisasi di Lapangan Meski demikian, apa yang dipikirkan cukup serius selama setahun penuh, akhirnya tidak bisa direalisasikan sepenuhnya ketika acara berlangsung. Tidak diduga, jalinan kerja antara pemerintah, tim produksi, tim kurator, dan seniman begitu rumit dan tidak bisa diurai begitu saja. Persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan kurang lebih terkait hal-hal sebagai berikut:

1. Pendanaan 
Pemerintah telah menjanjikan sejumlah dana untuk penyelenggaraan kegiatan ini. Meski demikian, dana yang dijanjikan tidak turun dengan lancar dan tepat waktu. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata selaku penyelenggara seringkali mencairkan dana pada masa-masa genting menjelang acara dan tidak dalam jumlah yang sesuai kebutuhan. Atas kesulitan pencairan dana ini, sebenarnya hal tersebut dapat dimaklumi dan bukan kesalahan Disbudpar semata-mata, tapi lebih pada kelemahan tim produksi yang tidak sanggup mencarikan dana talang. Pun dalam tubuh tim produksi terjadi sejumlah kerumitan distribusi pendanaan yang membuat tim kurator harus berkali-kali mengubah konsep kegiatan.

2. Perizinan 
Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, pernah mengatakan perizinan yang mudah untuk kegiatan ini. Memang label “acara pemkot” di satu sisi bisa memberikan jaminan, namun di sisi lain, tidak sedemikian berpengaruh. Itu sebabnya, di komite lain, kegiatan pada akhirnya harus dipindahkan ke kampus atau ruang milik swasta karena kendala ini. Bagi komite musik, kendala perizinan terjadi pertunjukan di DalemKaum. Terdapat proses kerumitan perizinan dengan Satpol PP sehingga kegiatan akhirnya pindah ke Cikapundung Riverspot. Selain itu juga ada persoalan lain ketika penyelenggaraan yang dilakukan oleh salah satu ruang alternatif, Kantinasion, ternyata terkendala oleh izin kepolisian. 

3. Hubungan dengan seniman dan komunitas
Bermasalahnya aspek pendanaan, perizinan, serta beberapa miskomunikasi dengan tim produksi, membuat tim kurator pada akhirnya mesti banyak melakukan “pendekatan kultural” dengan para seniman dan komunitas yang turut ambil bagian. Pendekatan kultural ini ditujukan untuk meyakinkan para seniman dan komunitas bahwa acara akan tetap dilaksanakan dan pembayaran honorarium tetap akan diselesaikan. 

Atas dasar kendala-kendala di atas, maka konsep yang sudah dirumuskan di sub bab sebelumnya, menjadi lebih sederhana dengan keterangan-keterangan sebagai berikut:
  • Musik Interupsi dengan lokasi di DalemKaum yang kemudian pindah ke Cikapundung Riverspot. Penampil yang pernah hadir di Musik Interupsi antara lain Sambasunda, Orkes Keroncong Jempol Jenthik, Rita Tila, Yayan Djatnika, Pemuda Harapan Bangsa, Billy The Kids, Karinding Attack, Nissan Fortz and The James Band, Madame dan Toean, Parahyena, Komunitas Penyanyi Calung, Ammy Kurniawan, 4 Peniti, Ary Juliyant, Ditto Ditty, Anime String Quartet, serta penampil yang dihadirkan oleh komunitas KlabJazz dan Jazzuality, serta institusi pendidikan seperti Universitas Pendidikan Indonesia, Institut Seni Budaya Indonesia, Universitas Pasundan, dan Sekolah Tinggi Musik Bandung. 
  • Musik Parapatan dengan lokasi di DalemKaum, Cikapundung Riverspot, Taman Cikapayang Dago dan Teras Cihampelas dengan penampilan dari komunitas penyanyi jalanan seperti Rumah Musik Harry Roesli, Fals Mania Lintas Indonesia, dan Kelompok Penyanyi Jalanan.  
  • Bandung Berbunyi dengan lokasi di Garasi JJOK, Ruang Putih, Kantinasion The PanasDalam, Ditto Ditty Stage, Braga Permai, Cafe Halaman, Butterfield, TP Stage, dan Kebon Seni Tamansari. Masing-masing dari ruang alternatif tersebut kemudian menghadirkan kelompok musik seperti Tiwi Shakuhachi, Jazzy Juice, Salamander Big Band, Yayan Katho, Nectura, Chad Lefkowitz, Keroncong Tujuh Puteri, dan lain sebagainya. 
Walhasil, kegiatan selama satu bulan berhasil dirampungkan, meski sejumlah kendala masih tersisa hingga makalah ini ditulis. 


Masa Depan Seni Bandung 
Seni Bandung direncanakan akan menjadi festival kesenian kota tahunan yang itu berarti tahun 2018 akan kembali diselenggarakan. Penyelenggaraan pertama kemarin dapat dikatakan berhasil dalam arti acara tersebut tuntas diselenggarakan, tapi secara konten penyelenggaraan demikian jauh dari apa yang sudah dipikirkan sebelumnya. Seni Bandung adalah kegiatan yang sangat masif dengan keterlibatan ribuan seniman dan unsur-unsur pemerintahan yang tidak sedikit. Komunikasi antar unsur ini penting untuk diperbaiki demi kebaikan penyelenggaraan kesenian yang akan datang. Meski demikian, ada beberapa poin yang bisa dijadikan nilai positif yang dihasilkan dari penyelenggaraan Seni Bandung. Poin itu antara lain: 

  • Seni Bandung setidaknya berupaya membaca kembali peta kesenian khususnya musik di Kota Bandung. Membuat warga kota menjadi kenal sejumlah musisi, komunitas, dan penyelenggara yang sebelumnya mungkin hanya mencuat di kalangan tertentu saja. 
  • Seni Bandung mengubah alur penyelenggaraan kegiatan kesenian -yang terasosiasikan dengan pemerintah- menjadi “dari seniman untuk seniman”. Meski kegiatan ini diinisiasi dan didanai oleh Wali Kota bersama Disbudpar, namun segala pemikiran dan konten acara sama sekali tidak diganggu gugat dan diserahkan langsung pada tim komite yang notabene diisi oleh para seniman. 
  • Seni Bandung membantu menciptakan sejumlah potensi ruang publik baru yang sebelumnya begitu membingungkan terkait perizinan dan apresiasi warga, namun ternyata sangat mungkin untuk diselenggarakan kegiatan. Seni Bandung meninggalkan sejumlah artefak kesenian di tembok kota (mural), halte bis (kutipan puisi), pembacaan puisi di perempatan jalan melalui pengeras suara, serta sejumlah billboard berisi puisi. 
Meski demikian, Seni Bandung #1 tidak lepas dari sejumlah kritik tajam seperti tidak jelasnya penerapan konsep estetika partisipatoris, publikasi yang lemah dan tidak masif, keterlambatan pembayaran kewajiban pada para seniman, serta banyak lagi yang lain. Kritik-kritik tersebut seyogianya menjadi acuan agar Seni Bandung #2 berjalan lebih baik.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1