Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Karena Agama, Perlu Manusia

Mengapa saya baca buku ini? Karena teringat dulu waktu zaman masih twitteran, ada akun bigot yang mengaku-ngaku kristolog, namanya @hafidz_ary. Dia sering mensimplifikasi Kristen dengan pemahamannya yang sangat menghakimi. Saya baca ini, karena tidak yakin sejarah Gereja, yang telah bertahan ribuan tahun ini, sesimpel apa yang dipikirkan oleh sebuah akun kemarin sore.

Agama dan manusia adalah hal yang saling bertautan. Agama kerap bermuatan "kata-kata Tuhan" yang seringkali multitafsir dan bahkan paradoks. Tapi itulah cara Tuhan berbicara: agar kita semua, manusia, kemudian berpikir dengan keras tentang bagaimana mengurai hal-hal yang multitafsir dan paradoks itu. Harus diakui, betapa besar dan tegarnya, peradaban yang dibangun atas "kata-kata Tuhan". Manusia tidak pernah berhenti untuk merindukan Tuhan yang "turun ke dunia". Itu sebabnya muncul berbagai aliran pemikiran, rumah ibadah, kidung pujian, seni visual, dan lain-lainnya sebagai bentuk pengejawantahan "kata-kata Tuhan".

Setelah baca buku ini, saya kian menyadari: pelbagai tuduhan akan Gereja yang segala-gala yang tumbuh darinya tidak melulu datang dari kitab sucinya (baik PL maupun PB) - dan maka itu kerap dituding terlalu banyak campur tangan manusia -, adalah tuduhan yang menafikan pertautan antara agama dan manusia itu sendiri. Agama tidak bisa dibiarkan melangit terus menerus, ia harus dibumikan oleh manusia yang alam pikirannya secara otomatis diwarnai oleh konteks dan semangat zaman - bahkan sikap puritan sendiri bisa jadi adalah bentuk pembacaan atas zaman yang sedang dialami -.

Misal, dalam buku tersebut: Tahun 1891, Paus Leo XIII mengumumkan surat edaran yang isinya adalah dukungan terhadap buruh agar mendapat upah yang cukup dan mereka juga berhak membentuk serikat buruh - kebijakan ini ditengarai punya kait-kelindan dengan ide marxisme yang tengah marak -. Lalu pada Konsili Vatikan II, terdapat dekrit yang mengumumkan bahwa Gereja memberikan dukungan penuh terhadap kebebasan beragama sekaligus pepatah kuno yang berbunyi extra ecclesiam nulla salus ("di luar Gereja tidak ada keselamatan") tidak lagi berlaku.

Mengapa saya baca buku ini? Karena sadar, berasumsi sebenarnya menuntut pembuktian - kecuali jika asumsi ingin selamanya jadi asumsi -. Apa yang saya pikirkan tentang Gereja, seyogianya tidak diungkapkan semena-mena, sebelum membaca dan memahami secara "cukup". Namun setelah (merasa) membaca dan memahami pun, kata "cukup" itu sebenarnya tidak pernah lega untuk diucapkan.

Terima kasih, Romo Magnis, atas tulisannya yang mencerahkan. Pasti habis ini, saya dituduh liberal dan pluralis. Harusnya label itu tidak mengkhawatirkan, bagi saya, yang sudah biasa dituduh komunis.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat