Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Tahun 2017 adalah tahun yang akan saya ingat untuk selamanya. Tahun ini memberikan banyak pengalaman dan pelajaran. Dimulai dari tanggal 12 Maret, saat itu saya dan keluarga sedang enak-enak makan di Sushi Tei. Muncul pesan via line yang berisi berita bahwa sejumlah mahasiswa sedang berdemonstrasi terkait kasus perampasan buku oleh rektorat yang berujung pada skorsing. Saya tinggalkan acara hedonistik itu dan bergegas ke Jalan Japati. Di sana sudah berkumpul puluhan mahasiswa yang memrotes skorsing. Niat saya hanya lihat-lihat, tapi akhirnya terlibat. Turut melakukan orasi, meski isinya cuma standar dan begitu-begitu saja. Besoknya foto saya pegang toa muncul di media daring dengan tajuk provokatif Dosen Telkom Pimpin Komunisme. Saya telpon redaksi karena merasa keberatan. Dengan dibantu Bilven Sandalista, akhirnya redaksi mengerti dan membuat berita klarifikasi dengan judul Dosen Telkom University Bukan Pendukung Komunis (masih ada jika digoogling). Sementara itu, berita sebelumnya telah dihapus.
Sejak itu nasib saya berubah. Gerak-gerik terasa tidak enak. Tidak perlu saya paparkan detailnya tapi per 25 April akhirnya saya mengajukan pengunduran diri yang disambut oleh surat pemberhentian dengan hormat pada 19 Juni. Hidup sempat agak limbung karena terbiasa dengan gaji lumayan. Akhirnya saya mengambil pekerjaan menulis di media olahraga dengan honor Rp. 4.000 per artikel dan melamar jadi supir Go Car agar tetap bisa punya uang.
Sambil melamar ke sejumlah kampus, saya diundang bicara ke beberapa forum. Forum yang menurut saya penting adalah pada tanggal 14 Juni. Saya diundang oleh Gereja Kristen Anugerah untuk bicara di Kedai Tempo bersama salah satunya Ulil Abshar Abdalla, tokoh liberal yang berkali-kali diancam bom dan darahnya difatwa halal. Bukan, saya bukan penggemar Ulil. Tapi saya sedang bersemangat mengacaukan citra kampus lama saya: bahwa saya bukan komunis, tapi liberal (bagi yang paham, tentu komunis dan liberal adalah paham yang bertolak belakang). Sebelumnya, 1 Juni, saya diundang ke Museum Konperensi Asia Afrika untuk bicara tentang Pancasila. Agar citra saya tidak seperti yang pernah dituduhkan: anti Pancasila. Saya sendiri tidak peduli apakah saya ini komunis, liberal, ateis, anarkis, atau apalah. Motif saya waktu itu hanyalah: bikin kampus lama saya bingung, "Si Sarip teh, naon sih?"
Jawaban dari kampus lain akhirnya datang. Untungnya, dari almamater tercinta, Unpar. Saya begitu gembira sampai membuat foto makan cilok di depan kampus Ciumbuleuit yang dijepret dengan sangat baik oleh Mardohar Simanjuntak. Kesempatan lain kemudian datang sebulan setengah kemudian, ketika Dicky Munaf, Ketua Kelompok Keahlian Ilmu-Ilmu Kemanusiaan di ITB, menawari saya untuk terlibat dalam persiapan fakultas baru. Hingga hari ini, saya masih berkelindan di dua kampus favorit saya itu.
Tantangan terus datang. Di sepertiga akhir tahun, saya terlibat di acara "super rujit" bernama Seni Bandung #1. Festival kota selama satu bulan yang diinisiasi pemerintah itu penuh hantaman luar dan dalam. Namun sekali lagi, saya bertahan. Festival diselesaikan dengan baik, meski luka dimana-mana. Belum sempat istirahat, saya dapat tawaran main di Rusia bersama Behind The Actor's. Tawaran menyenangkan tapi juga sekaligus menegangkan. Menyenangkan karena saya belum pernah ke Eropa, menegangkan karena dana yang digadang-gadang akan turun dari Pemprov, tidak kunjung mencair. Akhirnya kami pergi, tampil di Moskow, dan mendapat penghargaan "Best Puppet Maker".
Saya pulang dengan lega karena yakin sudah menyelesaikan seluruh tantangan di tahun 2017. Namun Tuhan tahu bagaimana membumikan hamba-Nya yang terlalu cepat puas dan jumawa: dihantamnya saya dengan persoalan internal, yang tak disangka-sangka, kegalauannya jauh di atas pengalaman-pengalaman sebelumnya. Jatuhlah saya ke bumi. Menjadi fana segala yang saya anggap sudah keren itu.
Namun segalanya tetap saya syukuri. Sebelum tahun ini saya sering mengeluh, "Kok hidup saya terlalu tenang ya?" Rupanya Tuhan mendengar, dan menganggapnya doa. Adrenalin tak pernah berhenti dipompa. Senang sedih bulak balik hadir kadang tanpa jeda. Sekarang saya lebih kuat, dan siap menyambut 2018 tanpa rasa takut. Tiada yang dapat membunuh saya, kecuali kehidupan itu sendiri. Terima kasih 2017, atas segala kebaikannya!
Comments
Post a Comment