Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Merkantilisme

(Ditulis sebagai suplemen untuk Kelas Santai Menelusuri Kepentingan Diri, 21 April 2021)

 

Merkantilisme adalah paham tentang nasionalisme ekonomi yang berkepentingan membangun negara yang kuat dan sejahtera. Sistem ini umumnya mendominasi pemikiran dan kebijakan di Eropa Barat dari mulai abad ke-16 hingga akhir abad ke-18. Tujuan dari aliran pemikiran ini adalah untuk mendapatkan keuntungan berlimpah dari transaksi ekspor - impor yang berujung pada kesejahteraan domestik. Transaksi tersebut, contohnya, adalah berupa impor bahan mentah untuk diolah menjadi barang jadi dan dijual kembali sehingga negara mendapatkan surplus. Contoh dari penerapan pemikiran merkantilisme ini adalah keberadaan British East India Company atau EIC (1600 – 1874) dan Dutch East India Company atau VOC (1602 – 1799) yang berdagang dengan cara ekspansi ke banyak negara (untuk mendapatkan bahan mentah). Meski berstatus sebagai perusahaan dagang, mereka didukung penuh oleh negara dan bahkan diberi senjata.

Pada periode merkantilisme ini, konflik militer antar negara-bangsa dianggap yang paling intens dalam sejarah. Tentara dan kapal perang bukan lagi kekuatan sementara yang diturunkan hanya untuk isu dan ancaman tertentu, tetapi menjadi kekuatan yang bersiaga setiap waktu (full time professional forces). Militerisme menjadi hal yang lekat dengan merkantilisme karena hampir setiap negara menghabiskan uangnya untuk tentara dan kapal perang demi meluaskan ekspansi dan melancarkan perdagangan. Setiap negara berkompetisi untuk mendapatkan sumber daya dan menjaganya habis-habisan.

EIC misalnya, wilayah ekspansinya mencakup India, Hong Kong, sejumlah negara di Afrika, Amerika Utara, beberapa wilayah di Asia Tenggara, beberapa wilayah Arab (salah satunya yang sekarang disebut dengan Uni Emirat Arab) dan sejumlah negara lainnya. Pada negara-negara tersebut, EIC mendapatkan keuntungan dari perdagangan kapas, sutra, gula, garam, teh, hingga ganja. Sementara VOC, wilayah ekspansinya mencapai Mauritius dan Afrika Selatan, Indonesia, Jepang, Taiwan, Malaysia, dan Thailand. VOC terkenal dengan perdagangan yang menghasilkan keuntungan besar lewat di antaranya kopi Indonesia, tebu Formosa, dan anggur Afrika Selatan. Perlombaan ekspansi dan perdagangan ini belum termasuk pembahasan tentang wilayah kekuasaan Spanyol, Portugal, dan Prancis.

 

Dasar Pemikiran Merkantilisme

Merkantilisme “dibenarkan” oleh sejumlah pemikiran sebagai berikut:

  1. Thomas Mun (1571 – 1641) adalah penulis Inggris yang juga menjabat sebagai salah satu direktur dari EIC. Dalam bukunya yang berjudul England’s Treasure by Foreign Trade, Mun merumuskan sejumlah kriteria yang sebaiknya diikuti oleh Inggris agar bisa sejahtera:

    • Barang-barang impor yang bisa diproduksi secara domestik seharusnya dilarang.

    • Kurangi impor barang-barang mewah dengan membuat orang-orang Inggris mempunyai selera terhadap barang-barang (mewah) lokal.

    • Kurangi bea ekspor produk-produk domestik untuk pasar luar negeri.

    • Jika tidak ada alternatif (sumber daya) yang bisa diperoleh dari negara tetangga, Inggris harus menarik keuntungan lebih dari ekspor.

    • Pengelolaan lahan-lahan kosong untuk produksi yang lebih tinggi dan mengurangi kebutuhan impor dari luar negeri.

    • Pengiriman (barang) harus sepenuhnya melalui jalur-jalur yang dikuasai oleh Inggris.

  2. Josiah Child (1630/1631 – 1699) adalah pemikir ekonomi Inggris yang melihat pentingnya peran negara untuk menurunkan tingkat suku bunga untuk perkembangan perdagangan. Sebelumnya, tingkat suku bunga kelihatannya tidak diatur secara ketat oleh negara sehingga berlangsung “suka-suka” dan menyebabkan maraknya praktik riba. Selain itu, Child menekankan untuk tidak hanya menjual barang pada negara lain, tetapi juga membelinya dari mereka sebagai bagian dari keseimbangan dalam perdagangan (balance of trade).

  3. Jean-Baptiste Colbert (1619 – 1683) adalah ekonom Prancis sekaligus penasehat raja Louis XIV. Colbert melihat pentingnya peran negara dalam mengendalikan ekonomi dengan salah satunya mengawasi secara ketat produksi barang-barang lokal agar memiliki daya saing dengan produk-produk dari negara lain. Colbert bahkan membolehkan impor tenaga kerja asing untuk meningkatkan kualitas produk lokal ini. Tidak hanya itu, Colbert juga menyarankan pembangunan angkatan laut yang kuat untuk meluaskan ekspansi, terutama dalam hal mendukung ekspor produk lokal tadi. Selain itu, negara sebaiknya memberlakukan aturan ketat dalam impor lewat kebijakan tarif dan kuota untuk mempertahankan produk lokal.


Menakar Kepentingan Diri dalam Merkantilisme

Merkantilisme membawa kita pada sejumlah pertimbangan tentang kepentingan diri yaitu sebagai berikut:

  1. Merkantilisme mengacu pada prinsip zero-sum game atau jumlah kemenangan dari satu pihak adalah persis total jumlah kekalahan pihak yang lain. Hal ini ditegaskan oleh esais abad ke-16, Michel de Montaigne yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang mendapatkan untung kecuali dari kerugian orang lainnya. Ludwig von Mises kemudian mengritik prinsip seperti itu sebagai paradigma yang tidak sesuai dengan paradigma ekonomi yang kooperatif dan malah menimbulkan disintegrasi sosial.

  2. Merkantilisme bisa ditarik dari prinsip realisme dalam hubungan internasional yang menganggap bahwa negara adalah perwujudan dari natur manusia yang dalam versi Thomas Hobbes senantiasa merasa terancam dan maka itu saling memangsa satu sama lainnya. Perimbangan kekuatan (balance of power) justru terjadi secara tidak sengaja sebagai implikasi dari kompetisi antar negara yang terus menerus (bukan karena diatur oleh suatu prinsip ideal).

  3. Merkantilisme dapat disebut juga sebagai perwujudan dari konsekuensilisme negara (state consequentilism) atau konsekuensilisme mohis yang awalnya dipikirkan oleh filsuf Tiongkok, Mohi, dengan prinsip bahwa segala sesuatunya perlu dilakukan untuk kepentingan negara baik itu soal tatanan, kekayaan material, dan peningkatan populasi.

  4. Para pemikir di era merkantilisme menjadikan pemikirannya sebagai justifikasi bagi pertumbuhan politik dan ekonomi negerinya sendiri. John Locke misalnya, meski merumuskan gagasan tentang keadaan alamiah manusia yang bebas dan setara, tetap tidak bisa menjawab persoalan terkait perbudakan secara memuaskan. Menurut Locke, perbudakan adalah hasil dari perang yang adil, dan para budak menyerahkan kebebasannya pada negara kolonial. Hal ini kian menunjukkan kemungkinan bahwa jalan pikir filsuf selalu bertalian dengan kondisi historisnya dan tidak bisa dilepaskan dari suatu kepentingan politis ataupun ekonomi.


Daftar Referensi

Brezis, Elise S. 2003. “Mercantilism”, The Oxford Encyclopedia of Economic History. Oxford: Oxford University Press.
Heckscher, Eli F. 2007. Mercantilism. New York: Routledge.
https://mises.org/library/mercantilism-lesson-our-times



 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1