Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Menimbang Tawaran Ekologi Radikal Pentti Linkola

MENIMBANG TAWARAN EKOLOGI RADIKAL PENTTI LINKOLA

(Artikel untuk serial webinar Ecophilosophy, 12 Juni 2021 bertema Pendekatan Radikal untuk Krisis Lingkungan)

filsafat lingkungan

Membaca tulisan Pentti Linkola dalam Can Life Prevail? (2011) menimbulkan suatu perasaan yang seperti terombang-ambing. Di satu sisi, kita disuguhi oleh gambaran indah terkait lanskap suasana pedesaan di Finlandia, tetapi di sisi lain, kita diajak untuk memasuki alam pikirannya yang radikal dan penuh kemarahan. Linkola mencintai alam, tetapi bukan mencintai dengan jargon klise seperti: “Ayo kita pelihara lingkungan demi anak cucu kita.” Pandangan semacam itu, bagi Linkola, masih dikotori oleh kepentingan manusia sebagai pusat. Bagi Linkola, manusia hanyalah salah satu spesies yang ada di bumi ini, dan ia tidak lebih tinggi dari spesies lain yang juga hidup bersama kita.

Menghabiskan hampir seluruh hidupnya di pedesaan, Linkola melihat bagaimana alam terus menerus mengalami degradasi akibat ulah manusia. Pertanyaannya: mengapa kita mengagung-agungkan hidup manusia? Padahal, pertama, ia tidak bisa menghargai kehidupan makhluk lainnya dan kedua, bahkan, ia tidak bisa menghargai hidupnya sendiri.

Sekilas tentang Pentti Linkola

Linkola lahir di Helsinki, Finlandia, pada 7 Desember 1932. Sempat menjadi peneliti di bidang ornitologi, Linkola kemudian memutuskan untuk menjadi nelayan dari tahun 1959 hingga tahun 1995. Pada mulanya, ia beredar di sekitar danau Keitele, danau Päijänne, dan Teluk Finlandia, sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari ikan di Danau Vanajavesi sejak tahun 1978. Pada tahun 1995, Linkola mendirikan Finnish Nature Heritage Foundation (Luonnonperintösäätiö) yang fokus pada preservasi sejumlah hutan yang masih tersisa di Finlandia bagian selatan. Pada tahun 2017, Yayasan yang dikelola Linkola tersebut berhasil melakukan konservasi terhadap 62 area hutan lindung dengan total luas wilayah 145 hektar.

Dijuluki sebagai ekofasis, gagasan penting Linkola dituangkan dalam buku berjudul Can Life Prevail?. Buku tersebut menuai kontroversi di antaranya karena Linkola menekankan pentingnya pemerintahan yang totaliter untuk mengendalikan laju populasi manusia demi keseimbangan alam, serta cara pandangnya terhadap manusia yang disebut-sebut sebagai spesies yang berbahaya bagi kelangsungan bumi. Menjelang akhir hayatnya, ia terkagum oleh serangkaian aksi dari Greta Thunberg, aktivis lingkungan dari Swedia – yang usianya lebih muda tujuh puluh tahun dari Linkola! —. Linkola meninggal dalam tidurnya di kediamannya di Sääksmäki pada tanggal 5 April 2020.

Industrialisasi di Finlandia

Linkola memulai tulisannya dalam Can Life Prevail? lewat gambaran umum tentang kondisi pedesaan di Finlandia. Sebagai nelayan, ia menjadi saksi bagaimana perubahan kondisi ikan-ikan di lingkungannya, dari yang sebelumnya lazim ditangkap dan dikirim ke pasar dalam keadaan segar, ternyata, seiring dengan perkembangan teknologi, malah menjadi beracun karena diawetkan dan “dibersihkan” (agar terlihat lebih menarik). Hal tersebut ternyata berlaku juga pada daging lainnya, termasuk juga pada buah dan sayuran, yang secara umum menjadi lebih mahal karena industri mengeluarkan ongkos untuk membuatnya menjadi “higienis”. Kegelisahan Linkola merembet pada pandangannya tentang orang-orang Finlandia secara umum yang semakin tampak “tidak sehat”. Hal ini, menurutnya, ada kaitannya dengan kualitas makanan yang kian menurun akibat berbagai proses industri itu tadi. Industrialisasi tersebut tidak cuma berdampak pada makanan, tetapi juga pada gaya hidup anak muda di Finlandia secara keseluruhan. Mereka jadi malas bergerak, dan lebih memilih untuk menjadi “budak bagi mesin”.

Industrialisasi membawa perubahan begitu cepat. Di masa itu, sekitar tahun 1960-an, Linkola menyadari keadaan sekelilingnya menjadi begitu ganjil. Bagaimana mungkin orang-orang menjadi begitu miskin hingga tidak mampu lagi membeli roti, mentega, dan gula dengan harga normal? Di mana-mana orang mencari potongan harga. Mereka berkeliling dari satu label harga ke label harga lainnya demi menemukan harga termurah bagi tomat atau makarel. Kondisi tersebut, bagi Linkola, sekurang-kurangnya menunjukkan beberapa hal. Pertama, orang-orang yang tadinya begitu mudah mendapatkan makanan dengan harga murah, menjadi kesulitan karena proses industri membuatnya menjadi mahal dan tidak terjangkau. Kedua, label-label harga dan berbagai keterangan diskon tersebut dibuat dengan kertas, dan penggunaan kertas yang berlebihan adalah suatu perilaku yang tidak ramah lingkungan! Ketiga, seluruh industrialisasi tersebut, menurut Linkola, telah membuat lanskap beberapa wilayah di Finlandia menjadi kotor – tidak lagi indah seperti di masa-masa sebelumnya -.

Orang-orang, dalam pengamatan Linkola, menjadi begitu berbeda. Mereka menjadi senang sekali membicarakan uang. Padahal, di masa-masa sebelum industrialisasi begitu pesat, seseorang dianggap punya tata krama yang baik, jika sama sekali tidak mendiskusikan perkara uang. Manusia menjadi agresif dan serakah. Mereka bisa menghabisi jutaan hewan dan tumbuhan demi sebuah jalan yang disediakan bagi kendaraan bermotor. Jalanan yang membelah Danau Vanajavesi, misalnya, telah menyapu koloni besar dari burung-burung, dan meracuni habitat di sungai selamanya. Atas segala perbuataannya tersebut, pertanyaannya, apakah manusia memang kedudukannya ada di atas makhluk hidup lainnya? Apakah mereka memiliki hak untuk menjadi penguasa bagi jutaan makhluk lainnya? Apakah benar bahwa manusia merupakan citra dari Tuhan?

Perlakuan pada Hewan

Memang dalam perkembangannya, menurut pengamatan Linkola, terdapat berbagai gerakan aktivisme peduli lingkungan, salah satunya dalam bentuk konservasi terhadap hewan ataupun tumbuhan. Sayangnya, khususnya pada hewan, manusia tampak pilih-pilih. Mereka tidak bersikap sama pada semua hewan, dan malah cenderung untuk melakukan konservasi hanya terhadap hewan yang “disukai” dan bermanfaat, serta tentu saja yang tidak membahayakan (bagi manusia).

Kalaupun muncul aktivisme peduli lingkungan yang ekstrem, bagi Linkola, kegiatan semacam itu seringkali salah sasaran. Misalnya, sebagai seorang nelayan, Linkola kerap menerima tuduhan bahwa ia telah menyiksa ikan-ikan dengan membiarkannya menggelepar di jala hingga mati. Linkola membela diri bahwa ada perbedaan antara kegiatan nelayan dalam menangkap ikan dan perburuan akan bulu-bulu hewan. Yang pertama dilakukan sebagai bentuk usaha mencari makan dan bertahan hidup, sementara yang kedua lebih pada urusan kemewahan. Aktivis lingkungan atau para vegan, menurut Linkola, sebaiknya lebih mengurusi yang kedua ketimbang yang pertama.

Tentang Manusia

Linkola begitu pesimis dalam memandang manusia. Ia melihat bahwa nilai dan hak asasi dari setiap individu pada dasarnya tidak sama. Dalam pengalamannya, Linkola menemukan adanya manusia yang oleh sebab perilakunya yang sangat buruk, derajatnya menjadi begitu rendah. Lebih tegasnya lagi, ia menyatakan bahwa apa yang dinamakan hak asasi, tidak bisa diterapkan pada setiap orang dengan cara yang sama. Bagaimana dengan orang-orang yang “tercerahkan”, yang mungkin punya derajat lebih “tinggi”? Linkola, saking pesimisnya, pada akhirnya menganggap bahwa tidak ada perbedaan jelas antara perilaku mereka: kaum mayoritas yang kurang tercerahkan dan kaum minoritas yang tercerahkan. Kedua jenis tersebut sama-sama merupakan perusak bagi biosfer.

Pertumbuhan manusia yang tidak terkendali adalah petaka bagi bumi. Musuh terbesar dari kehidupan adalah terlalu banyaknya kehidupan: khususnya kehidupan manusia. Bagi Linkola, kehidupan dalam arti luas perlu diselamatkan. Jika planet ini hancur, maka aspirasi manusia, seindah apapun, akan kehilangan artinya. Hal yang lebih menyedihkan adalah manusia tidak akan menyadari kekacauan yang disebabkan oleh bagaimana perilaku mereka dalam menghancurkan hewan, tumbuhan, dan jamur-jamur. Perilaku manusia pada akhirnya akan menghancurkan manusia itu sendiri.

Lantas, bagaimana harusnya dunia ini dijalankan? Linkola mengatakan bahwa kita memerlukan suatu kondisi tabula rasa atau bagaikan “papan kosong”. Bisa dikatakan kita mesti memulainya kembali dari “Adam dan Hawa”. Jika pendapatnya tersebut terdengar utopis, maka Linkola, secara lebih konkret, menyarankan kontrol populasi sebagai langkah penting agar manusia tidak membludak. Kematian manusia dalam jumlah besar pada satu momentum (misalnya, lewat aksi terorisme), menurutnya, sah-sah saja sebagai bentuk pengimbangan rasio antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Selain itu, mencegah lahirnya lebih banyak manusia juga perlu dilakukan. Dalam pendapat Linkola, setiap anak yang lahir, akan membuat nilai manusia lainnya di bumi menjadi berkurang.

Tawaran Jalan Keluar

Linkola mencoba menarik akar persoalan ekologi ini pada demokrasi, kebebasan individu, dan hak asasi manusia. Ketiganya saling bertalian, terutama dalam hal memberikan jalan bagi superioritas manusia untuk seolah melakukan apa yang “baik” bagi dirinya. Dampaknya adalah kebebasan produksi dan konsumsi yang tidak terkendali, yang seolah-olah digenggam sebagai sebuah nilai tertinggi. Sehingga dengan demikian, sistem seperti fasisme ataupun sosialisme malah mempunyai nilai komunal serta sistem norma yang lebih ketat untuk meredam perilaku manusia yang semacam itu.

Reproduksi sebaiknya diatur. Rata-rata, setiap perempuan hanya dibolehkan untuk mempunyai satu anak. Kebijakan ini sebaiknya diikuti beberapa generasi, hingga populasi yang lebih seimbang tercapai. Sebagai upaya untuk mengurangi beban demografis, sejumlah pengaturan atas nutrisi, vitamin, dan level hormonal perlu dilakukan pada remaja. Sebisa mungkin jangan sampai ada orang yang terlalu tinggi dan terlalu gemuk, apalagi hingga mengalami obesitas. Kemudian dalam hubungannya dengan energi, bahan bakar fosil, termasuk gambut, mesti dilarang sejak hari pertama. Tidak hanya itu, produksi serta distribusi listrik juga sebagian besar harus dilarang. Pada situasi tertentu, listrik perlu dilanjutkan sebagai penerang bagi beberapa ruangan, tetapi tetap mesti dibatasi. Hal yang pasti dilarang adalah lampu-lampu di luar seperti lampu jalanan. Jikapun terpaksa sekali menggunakan listrik, maka listrik tersebut sebisa mungkin dihasilkan melalui tenaga kincir angin.

Selain pandangan radikalnya terkait energi, Linkola juga menyoroti perihal pendidikan. Menurutnya, bahasa asing akan dibuang dari silabus sekolah dasar dan matematika akan lebih sedikit diajarkan. Pelajaran akan lebih ditekankan pada ilmu pengetahuan alam, sejarah, bahasa Finlandia, olahraga, seni dan yang terpenting, kewarganegaraan (yang akan juga diajarkan pada orang dewasa). Kemudian orang-orang yang dianggap paling bertanggung jawab pada pertumbuhan ekonomi dan kompetisi sekarang ini, akan dipindahkan ke pegunungan dan dataran tinggi untuk dididik ulang.

Tanggapan

Pemikiran radikal Linkola mungkin bisa dipahami sebagai evaluasi atas berbagai tawaran pemikiran ekologi yang tidak kunjung memberikan solusi. Kritik yang paling mudah diajukan pada Linkola adalah konsistensi antara pikiran dan tindakannya: Jika bagi dirinya kemudian penting untuk mengenyahkan manusia demi kelangsungan alam, mengapa ia tidak melakukannya sendiri (mengenyahkan manusia lain)? Atau setidaknya, mengapa Linkola tidak mengenyahkan hidupnya sendiri saja sebagai bagian dari kelas manusia? Dalam wawancaranya, Linkola mengatakan bahwa memang ada perbedaan antara emosi dan kenyataan. Meski dalam tulisan-tulisannya ia menunjukkan rasa benci yang besar terhadap manusia, tetapi pada kenyataannya, rasa benci itu tidak bisa benar-benar ditunjukkan saat berhadapan langsung dengan orang lain.

Linkola juga cenderung esensialis dalam mengajukan kritiknya. Ia tidak bisa menunjuk dengan jelas “manusia” yang mana, “teknologi” seperti apa, atau “demokrasi” yang bagaimana, yang dianggap merusak alam. Jika kemarahannya itu terlampau membabi buta sehingga tidak bisa mengurai konsep-konsep yang ia uraikan sendiri secara jelas, maka bagaimana kita bisa menjadikan Linkola sebagai pedoman untuk menyelesaikan persoalan ekologi?

Terakhir, apakah Linkola sedang berimajinasi tentang suatu utopia? Apa bedanya Linkola dengan misalnya, penulis novel fiksi yang sedang menulis cerita tentang dunia tanpa industrialisasi? Apakah mungkin, di zaman sekarang, menerapkan berbagai tawaran jalan keluar dari Linkola yang dramatis itu? Linkola sendiri kerap mengatakan, bahwa apa yang ditulisnya bukanlah suatu utopia. Hal tersebut sangat mungkin dilaksanakan dan mesti dimulai dari otoritas yang tegas. Hanya saja, mesti dipertimbangkan juga, bahwa dukungan Linkola terhadap fasisme mesti dibarengi oleh kesadaran menyeluruh si fasis terkait ekologi. Apakah mungkin, jika bicara “kodrat” manusia, kemudian si fasis tidak tertarik untuk menguasai kehidupan secara lebih jauh, melampaui cita-cita mulianya akan penyelamatan alam? Karena jika si fasis kemudian dipercaya untuk melakukan tindakan-tindakan otoritatif demi penyelamatan alam, maka sebenarnya kita sekaligus menempatkan si fasis pada superioritas manusia tertinggi, yang membuat dirinya tidak hanya menjadi penguasa dari manusia, tapi dari seluruh lingkungan alam. Apakah fasisme yang demikian, tidak mengerikan?

Terlepas dari berbagai kritik tajam yang sangat empuk diarahkan pada Linkola, tawaran ekologi radikal ini tetap penting untuk dipertimbangkan, setidaknya sebagai kompas yang memandu kita dalam menjalani peradaban yang, harus diakui, seringkali tanpa arah. Pandemi COVID-19 seperti yang tengah kita semua hadapi sekarang ini, mungkin bisa mengajak kita untuk merenungkan secara lebih mendalam terkait gagasan Linkola. Tidakkah pandemi ini membuat kita untuk sejenak merenungkan “dosa-dosa industrial”? Bukankah pandemi ini, dalam berbagai kasus, malah lebih sukar dikendalikan di negara-negara yang sebut saja, menganut demokrasi? Bukankah pandemi ini berkembang secara global, karena pengaruh lalu lintas antar negara yang oleh Linkola dianggap sebagai pemborosan energi? Kita tidak tahu, saat pandemi ini berakhir, mungkin cara pandang kita terhadap lingkungan tidak akan sama lagi. Mungkin secara bertahap kita akan mempertimbangkan ulang peradaban, dan bahkan memulai kembali: seperti Adam dan Hawa.

Referensi

Turtiainen, P (2015). Kalastaja. Sääksmäki: Voipaalan taidekeskus.

Linkola, P (2011). Can Life Prevail?: A Radical Approach to the Environmental Crisis. Budapest: Arktos.

Kylänpää, R (2017). Pentti Linkola: Ihminen ja Legenda. Helsinki: Sitala.

"Pentti Linkola räväytti kovaa tekstiä vielä viimeisessä IS-haastattelussaankin – ja ylisti Greta Thunbergia". Ilta-Sanomat (dalam bahasa Finlandia). 5 April 2020. Diakses 1 Juni 2021.

"Pentti Linkolan entinen kumppani Anneli Jussila kertoo viimeisistä hetkistä: "Hän kuoli rauhallisesti kotonaan"" (dalam bahasa Finlandia). MTV. 5 April 2020. Diakses 1 Juni 2021.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1