Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Utilitarianisme

(Ditulis sebagai suplemen untuk Kelas Santai Menelusuri Kepentingan Diri, 5 Mei 2021)



Pembahasan tentang utilitarianisme memang harus menyinggung pemikir asal Inggris, John Stuart Mill (1806 – 1873). Dalam buku berjudul Utilitarianism (1863), ia merumuskan dengan cukup rinci pandangan moral utilitarianisme yang berlandaskan pada prinsip kegunaan. Sebelum Mill, sebenarnya sudah ada Jeremy Bentham (1748 – 1832) yang meletakkan prinsip dasar utilitarianisme dalam buku berjudul An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Menurut Bentham, utilitarianisme adalah “kebahagiaan sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin” (“the greatest happiness for the greatest number”). Saat ditanya, kebahagiaan semacam apa yang dimaksud? Bentham menjawabnya dengan argumen hedonisme: mendekati rasa nikmat (pleasure) dan menjauhi rasa sakit (pain).

Sampai titik itu, kelihatannya Bentham sudah cukup kokoh dalam merumuskan utilitarianisme, sampai kemudian ia bergerak lebih jauh untuk melakukan kalkulasi tentang untung rugi dalam mencapai kenikmatan. Menurut Bentham, setiap tindakan harus kita hitung dengan cermat, misalnya, mana yang lebih menghasilkan kebahagiaan: makan makanan kesukaan atau mendengarkan musik? Dalam pandangan Bentham, tentu makan makanan kesukaan lebih nikmat, karena ukurannya selalu pleasure atau lebih condong pada kenikmatan jasmaniah. Thomas Carlyle (1775 – 1881) mengritik pandangan Bentham sebagai filsafat yang cocok untuk babi, karena kesan bahwa moralitas tindakan hanya diukur dari nikmat badani saja.

Di sinilah kita mulai masuk pada pemikiran Mill yang mencoba untuk lebih sistematis dalam merumuskan utilitarianisme sekaligus memperbaiki kesalahan Bentham. Pertama, Mill menolak tuduhan bahwa utilitarianisme memandang nikmat jasmani sebagai tujuan hidup manusia. Mill melihat bahwa selain nikmat jasmani, ada juga nikmat rohani, misalnya nikmat estetis atau kebijaksanaan. Mill bahkan menekankan bahwa nikmat rohani ini lebih luhur daripada nikmat jasmani. Demi nikmat yang lebih luhur, kitab oleh saja melepaskan nikmat yang lebih rendah. Mill mengungkapkan gagasannya tersebut dalam kalimat sebagai berikut: “lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas.”

Perbaikan gagasan Bentham berikutnya, yang dilakukan oleh Mill, adalah menolak tuduhan bahwa utilitarianisme adalah etika yang egois, yang hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Bentham mengatakan bahwa prinsip utilitarianisme adalah “kebahagiaan sebesar-besarnya dengan jumlah yang besar-besarnya” ini bisa menjadi justifikasi bagi sikap rakus. Menurut Mill, Bentham kurang cermat. Utilitarianisme justru bukan dilakukan agar orang mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar ia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Kebahagiaan pelaku di sini tidak diunggulkan, melainkan termasuk dalam kalkulasi semua kebahagiaan. Bahkan dalam utilitarianisme versi Mill, pelaku boleh mengorbankan kepentingannya sendiri demi kenikmatan lebih besar yang diterima oleh orang lain. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa dalam utilitarianisme-nya Mill, terdapat semacam unsur altruistik.


Utilitarianisme Peraturan

Jika kita bertindak berdasarkan prinsip utilitarianisme secara kaku, kita bisa saja mencuri roti di Alfamart untuk kemudian dibagi-bagikan pada mereka yang kelaparan. Setelah mengkalkulasi, misalnya, kita menemukan angka bahwa jika kita mencuri di Alfamart sekitar sepuluh buah roti, tentu ruginya tidak seberapa dibanding laba harian Alfamart. Jikapun kita mencuri sepuluh buah roti ini, Alfamart tetap mendapat keuntungan, dan ini menjadi dibenarkan karena di luar sana, ada banyak orang kelaparan yang tidak mampu membeli roti. Bahkan tindakan semacam ini juga dibenarkan sebagai suatu tindakan yang berorientasi pada nikmat rohani karena menolong orang lain.

Namun andai setiap orang bisa mengkalkulasi dalam kepalanya sendiri tentang ukuran-ukuran kenikmatan, tentu utilitarianisme akan menjadi prinsip yang bermasalah. Orang bisa sembarangan korupsi, misalnya, dengan alasan bahwa ia bisa membagikan uang ini pada lebih banyak orang daripada jika negara yang membagikannya. Orang bisa dengan seenaknya mendistribusikan narkoba ke banyak orang dengan dalih “kenikmatan untuk sebanyak mungkin orang”. Jalan keluar bagi permasalahan ini adalah konsep yang disebut utilitarianisme peraturan.

Dalam utilitarianisme peraturan, yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk dari masing-masing tindakan sendiri, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan itu. Jadi, yang dipersoalkan sekarang adalah akibat baik dan buruk dari suatu peraturan jika berlaku umum: “Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar di dunia ini daripada akibat buruknya.”

Dengan demikian, tindakan mengambil roti di Alfamart demi kepentingan orang miskin, dalam utilitarianisme peraturan, menjadi tidak dibenarkan. Karena jika memang prinsip “mengambil roti demi orang miskin” dibenarkan sebagai maksim universal, maka akibat buruknya justru menjadi lebih besar daripada akibat baiknya. Pada akhirnya, dalam utilitarianisme peraturan ini, orang bertindak secara utilitarian tidak atas ukuran-ukuran yang menjadi kalkulasinya sendiri, melainkan menyandarkan kalkulasinya pada peraturan. Orang tidak bisa dengan seenaknya menyerobot antrian di bank karena ia sedang dikejar-kejar penagih hutang, misalnya. Jika hal tersebut diterapkan, setiap orang akan mencari-cari alasan bahwa dirinyalah yang harus lebih dipentingkan di dalam antrian. Atas dasar itu, lebih baik mematuhi peraturan antrian agar lebih adil, setara, dan menghindari perhitungan berdasarkan apa yang menyenangkan bagi masing-masing orang.


Kritik terhadap Utilitarianisme

Utilitarianisme termasuk pada bagian dari etika konsekuensilisme. Sehingga dengan demikian, kritik yang bisa diajukan adalah kritik yang sama juga ditujukan pada konsekuensilisme, yaitu pertanyaan tentang bagaimana cara menakar konsekuensi? Atau jangan-jangan, apa yang dimaksud sebagai konsekuensi baik, hanyalah sesuatu yang berkaitan dengan apa yang kita inginkan saja? Inilah prinsip yang dengan tegas ditolak oleh Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa terkait tindakan moral, seharusnya tidak berdasarkan atas sesuatu yang menyenangkan diri kita, melainkan harus ada yang mutlak, tidak tergoyahkan, dan tidak terikat pada hasil-hasilnya.

Sebagai contoh, jika kita sedang diwisuda, tentu kita merasa apa yang sedang dijalankan ini adalah sesuatu yang baik. Kita berandai-andai dalam diri, bahwa setelah wisuda, kita akan mengabdi pada masyarakat dan berguna bagi sebanyak mungkin orang. Namun bagaimana jika di waktu yang bersamaan dengan acara itu, terjadi kemacetan akibat menumpuknya kendaraan dari para orangtua yang ingin menghadiri wisuda? Bagaimana jika banyak orang di jalan yang kepentingannya menjadi terganggu karena ada acara wisuda? Baik kita yang sedang diwisuda maupun mereka yang ada di jalan, keduanya mendasarkan diri pada prinsip “kepentingan orang banyak” dan tegangan ini tidak mudah untuk diselesaikan karena ujung-ujungnya kembali pada kepentingan diri.

Berikutnya, dengan prinsip yang menekankan adanya kuantitas “sebanyak mungkin orang”, maka utilitarianisme bisa menjadi justifikasi bagi pengabaian atas orang-orang “yang sedikit”. Atas nama utilitarianisme, dua atau tiga rumah bisa digusur paksa untuk kepentingan pembangunan jalan layang yang katanya lebih bermanfaat untuk ribuan orang. Secara utilitarianisme mungkin tindakan tersebut bisa dibenarkan, tetapi di sisi lain, dianggap mengabaikan prinsip keadilan yang lebih umum, untuk melihat siapapun sebagai suatu tujuan dan bukanlah alat untuk melanggengkan kepentingan yang lain.


Daftar Referensi

Magnis – Suseno, Franz. (1997). 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.

Mill, John Stuart. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son & Bourn, West Strand. Diambil dari https://archive.org/details/utilitarianism03millgoog

Sudarminta, J. (2013). Etika Umum – Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius.


Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1