Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Utilitarianisme

(Ditulis sebagai suplemen untuk Kelas Santai Menelusuri Kepentingan Diri, 5 Mei 2021)



Pembahasan tentang utilitarianisme memang harus menyinggung pemikir asal Inggris, John Stuart Mill (1806 – 1873). Dalam buku berjudul Utilitarianism (1863), ia merumuskan dengan cukup rinci pandangan moral utilitarianisme yang berlandaskan pada prinsip kegunaan. Sebelum Mill, sebenarnya sudah ada Jeremy Bentham (1748 – 1832) yang meletakkan prinsip dasar utilitarianisme dalam buku berjudul An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Menurut Bentham, utilitarianisme adalah “kebahagiaan sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin” (“the greatest happiness for the greatest number”). Saat ditanya, kebahagiaan semacam apa yang dimaksud? Bentham menjawabnya dengan argumen hedonisme: mendekati rasa nikmat (pleasure) dan menjauhi rasa sakit (pain).

Sampai titik itu, kelihatannya Bentham sudah cukup kokoh dalam merumuskan utilitarianisme, sampai kemudian ia bergerak lebih jauh untuk melakukan kalkulasi tentang untung rugi dalam mencapai kenikmatan. Menurut Bentham, setiap tindakan harus kita hitung dengan cermat, misalnya, mana yang lebih menghasilkan kebahagiaan: makan makanan kesukaan atau mendengarkan musik? Dalam pandangan Bentham, tentu makan makanan kesukaan lebih nikmat, karena ukurannya selalu pleasure atau lebih condong pada kenikmatan jasmaniah. Thomas Carlyle (1775 – 1881) mengritik pandangan Bentham sebagai filsafat yang cocok untuk babi, karena kesan bahwa moralitas tindakan hanya diukur dari nikmat badani saja.

Di sinilah kita mulai masuk pada pemikiran Mill yang mencoba untuk lebih sistematis dalam merumuskan utilitarianisme sekaligus memperbaiki kesalahan Bentham. Pertama, Mill menolak tuduhan bahwa utilitarianisme memandang nikmat jasmani sebagai tujuan hidup manusia. Mill melihat bahwa selain nikmat jasmani, ada juga nikmat rohani, misalnya nikmat estetis atau kebijaksanaan. Mill bahkan menekankan bahwa nikmat rohani ini lebih luhur daripada nikmat jasmani. Demi nikmat yang lebih luhur, kitab oleh saja melepaskan nikmat yang lebih rendah. Mill mengungkapkan gagasannya tersebut dalam kalimat sebagai berikut: “lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas.”

Perbaikan gagasan Bentham berikutnya, yang dilakukan oleh Mill, adalah menolak tuduhan bahwa utilitarianisme adalah etika yang egois, yang hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Bentham mengatakan bahwa prinsip utilitarianisme adalah “kebahagiaan sebesar-besarnya dengan jumlah yang besar-besarnya” ini bisa menjadi justifikasi bagi sikap rakus. Menurut Mill, Bentham kurang cermat. Utilitarianisme justru bukan dilakukan agar orang mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar ia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Kebahagiaan pelaku di sini tidak diunggulkan, melainkan termasuk dalam kalkulasi semua kebahagiaan. Bahkan dalam utilitarianisme versi Mill, pelaku boleh mengorbankan kepentingannya sendiri demi kenikmatan lebih besar yang diterima oleh orang lain. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa dalam utilitarianisme-nya Mill, terdapat semacam unsur altruistik.


Utilitarianisme Peraturan

Jika kita bertindak berdasarkan prinsip utilitarianisme secara kaku, kita bisa saja mencuri roti di Alfamart untuk kemudian dibagi-bagikan pada mereka yang kelaparan. Setelah mengkalkulasi, misalnya, kita menemukan angka bahwa jika kita mencuri di Alfamart sekitar sepuluh buah roti, tentu ruginya tidak seberapa dibanding laba harian Alfamart. Jikapun kita mencuri sepuluh buah roti ini, Alfamart tetap mendapat keuntungan, dan ini menjadi dibenarkan karena di luar sana, ada banyak orang kelaparan yang tidak mampu membeli roti. Bahkan tindakan semacam ini juga dibenarkan sebagai suatu tindakan yang berorientasi pada nikmat rohani karena menolong orang lain.

Namun andai setiap orang bisa mengkalkulasi dalam kepalanya sendiri tentang ukuran-ukuran kenikmatan, tentu utilitarianisme akan menjadi prinsip yang bermasalah. Orang bisa sembarangan korupsi, misalnya, dengan alasan bahwa ia bisa membagikan uang ini pada lebih banyak orang daripada jika negara yang membagikannya. Orang bisa dengan seenaknya mendistribusikan narkoba ke banyak orang dengan dalih “kenikmatan untuk sebanyak mungkin orang”. Jalan keluar bagi permasalahan ini adalah konsep yang disebut utilitarianisme peraturan.

Dalam utilitarianisme peraturan, yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk dari masing-masing tindakan sendiri, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan itu. Jadi, yang dipersoalkan sekarang adalah akibat baik dan buruk dari suatu peraturan jika berlaku umum: “Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar di dunia ini daripada akibat buruknya.”

Dengan demikian, tindakan mengambil roti di Alfamart demi kepentingan orang miskin, dalam utilitarianisme peraturan, menjadi tidak dibenarkan. Karena jika memang prinsip “mengambil roti demi orang miskin” dibenarkan sebagai maksim universal, maka akibat buruknya justru menjadi lebih besar daripada akibat baiknya. Pada akhirnya, dalam utilitarianisme peraturan ini, orang bertindak secara utilitarian tidak atas ukuran-ukuran yang menjadi kalkulasinya sendiri, melainkan menyandarkan kalkulasinya pada peraturan. Orang tidak bisa dengan seenaknya menyerobot antrian di bank karena ia sedang dikejar-kejar penagih hutang, misalnya. Jika hal tersebut diterapkan, setiap orang akan mencari-cari alasan bahwa dirinyalah yang harus lebih dipentingkan di dalam antrian. Atas dasar itu, lebih baik mematuhi peraturan antrian agar lebih adil, setara, dan menghindari perhitungan berdasarkan apa yang menyenangkan bagi masing-masing orang.


Kritik terhadap Utilitarianisme

Utilitarianisme termasuk pada bagian dari etika konsekuensilisme. Sehingga dengan demikian, kritik yang bisa diajukan adalah kritik yang sama juga ditujukan pada konsekuensilisme, yaitu pertanyaan tentang bagaimana cara menakar konsekuensi? Atau jangan-jangan, apa yang dimaksud sebagai konsekuensi baik, hanyalah sesuatu yang berkaitan dengan apa yang kita inginkan saja? Inilah prinsip yang dengan tegas ditolak oleh Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa terkait tindakan moral, seharusnya tidak berdasarkan atas sesuatu yang menyenangkan diri kita, melainkan harus ada yang mutlak, tidak tergoyahkan, dan tidak terikat pada hasil-hasilnya.

Sebagai contoh, jika kita sedang diwisuda, tentu kita merasa apa yang sedang dijalankan ini adalah sesuatu yang baik. Kita berandai-andai dalam diri, bahwa setelah wisuda, kita akan mengabdi pada masyarakat dan berguna bagi sebanyak mungkin orang. Namun bagaimana jika di waktu yang bersamaan dengan acara itu, terjadi kemacetan akibat menumpuknya kendaraan dari para orangtua yang ingin menghadiri wisuda? Bagaimana jika banyak orang di jalan yang kepentingannya menjadi terganggu karena ada acara wisuda? Baik kita yang sedang diwisuda maupun mereka yang ada di jalan, keduanya mendasarkan diri pada prinsip “kepentingan orang banyak” dan tegangan ini tidak mudah untuk diselesaikan karena ujung-ujungnya kembali pada kepentingan diri.

Berikutnya, dengan prinsip yang menekankan adanya kuantitas “sebanyak mungkin orang”, maka utilitarianisme bisa menjadi justifikasi bagi pengabaian atas orang-orang “yang sedikit”. Atas nama utilitarianisme, dua atau tiga rumah bisa digusur paksa untuk kepentingan pembangunan jalan layang yang katanya lebih bermanfaat untuk ribuan orang. Secara utilitarianisme mungkin tindakan tersebut bisa dibenarkan, tetapi di sisi lain, dianggap mengabaikan prinsip keadilan yang lebih umum, untuk melihat siapapun sebagai suatu tujuan dan bukanlah alat untuk melanggengkan kepentingan yang lain.


Daftar Referensi

Magnis – Suseno, Franz. (1997). 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.

Mill, John Stuart. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son & Bourn, West Strand. Diambil dari https://archive.org/details/utilitarianism03millgoog

Sudarminta, J. (2013). Etika Umum – Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat