Di waktu yang lampau, saya lupa persisnya, tapi mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya pernah diminta tampil di acara makan malam di sebuah kafe di Hotel Papandayan. Saya lupa nama kafenya, tapi mungkin juga tidak terlalu penting untuk mengingat namanya. Hal yang lebih penting adalah saat itu yang menjadi salah satu tamu adalah Jusuf Kalla, yang entah tengah menjabat sebagai wakil presiden atau belum, yang pasti, dia dikategorikan orang penting di negeri ini. Hal yang saya ingat lainnya adalah saya tampil bersama pemain biola bernama Yulius Racaly atau biasa dipanggil Kwang Kwang. Kami bermain berdua saja.
Makan malam itu kelihatannya mewah, setidaknya jika dilihat dari bagaimana makanan disajikan secara bertahap, beberapa kali, dan memang harga menunya mahal-mahal. Tapi ya, fakta tersebut tidak ekuivalen dengan honor kami selaku pemusik, bahkan kami tidak diberi makanan yang sama dengan menu-menu mahal tersebut. Namun sudahlah, itu bukan hal yang hendak dibahas dalam tulisan ini. Jadi, tulisan ini hendak membahas apa?
Begini, dalam kondisi makan malam yang mewah seperti itu, terisolasi dari publik, matanya tertutupi dari "kenyataan" di luar sana, bagaimana seorang pejabat bisa berempati? Kita tidak membicarakan soal status, jabatan, gaji, tunjangan, tapi secara fisik pun, realitas yang dihadirkan seakan dibuat berbeda. Maksudnya, bagaimana seorang pejabat dapat "mengerti" rakyat, jika ia berada dalam kurungan kafe mewah dengan "rakyat" yang dimanipulasi seolah-olah bahagia dan sejahtera? Bagaimana seorang presiden benar-benar mengerti keadaan sesungguhnya, jika dalam suatu kunjungan berbentuk iring-iringan mobil, ia berhadapan dengan barisan siswa-siswi yang dikondisikan sedemikian rupa agar terlihat manis dan puas dengan kinerja pemerintahan?
Itu sebabnya juga, pada jabatan tertentu, siapapun, dianggap memerlukan ketenangan dengan cara dijauhkan fisiknya dari "kenyataan". Direktur harus menempati ruang khusus, yang sebisa mungkin memberikannya tidak hanya ketenangan, tapi juga kesunyian. Ia tidak boleh terlibat dalam keriuhan yang tidak mampu ia antisipasi, atau gejolak yang di luar kendalinya. Padahal, tidakkah "kenyataan" adalah sekaligus ketidakstabilan, gejolak tiada akhir, dan keriuhan yang belum tentu selalu bisa diantisipasi?
Namun dengan isolasi itu, apakah artinya pejabat menjadi tidak bisa diakses oleh rakyat? Oh, tidak, rakyat bisa mengaksesnya, tapi melalui suatu jalur, yang saya terinspirasi dari obrolan dengan Saras Dewi, bernama birokrasi. Birokrasi adalah cara rakyat mengakses pejabat publik, melalui metode yang memerlukan legalitas, kroscek sana-sini, dan diputar-putar. Rakyat boleh mengakses pejabat, tetapi setelah masuk ke dalam keteraturan yang "bisa diantisipasi", setelah masuk pada realitas yang "bisa dijinakkan", sehingga dalam hal ini, kita bisa katakan: posisi rakyat, melalui birokrasi, selalu inferior dibanding pejabat.
Jadi, apakah cerita-cerita tentang raja yang menyamar, menyelinap ke gubuk tua yang di sana rakyat miskin tinggal di dalamnya, cuma khayalan yang tidak pernah terjadi di dunia nyata, apalagi di masa sekarang? Kebanyakan pejabat kelihatannya selalu khawatir, mungkin takut ditembak sniper, ditikam, atau sekurang-kurangnya, didemo, yang pada dasarnya, melihat rakyat sebagai pihak yang kerap memusuhinya. Maka itu, isolasi bagi para pejabat terjadi di mana-mana, mulai dari mobil berkaca gelap, anti peluru, gedung yang dipenuhi penjaga keamanan, hotel mewah dengan pelayanan kelas satu, hingga penerbangan, tempat duduk di manapun, yang sifatnya VIP. Namun intinya, tidak boleh ada peleburan tembok antara aku dan rakyat, semua mesti terpisah dengan jauh, baik secara esensi maupun eksistensi, agar aku tidak melihat mereka, merasakannya, atau harus berempati kepada mereka. Jika mereka mau menemuiku, harus dalam keadaan jinak. Jinak oleh birokrasi.
"Jadi, apakah cerita-cerita tentang raja yang menyamar, menyelinap ke gubuk tua yang di sana rakyat miskin tinggal di dalamnya, cuma khayalan yang tidak pernah terjadi di dunia nyata, apalagi di masa sekarang?" Ada, Kang. Namanya: Pak Wiranto.
ReplyDelete