Skip to main content

Kesendirian

Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat.    Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit

Nomaden



Saya tengah merenungkan untuk menjalani hidup yang nomaden (meski saat ini bisa dikatakan sudah). Artinya, hidup menetap tidak lagi saya jadikan cita-cita. Meski belum membacanya secara tuntas, tetapi saya cukup terkaget saat topik nomaden ini ternyata dibahas oleh filsuf Masa Keemasan Islam, Ibn Khaldun dan filsuf posmodern, Zygmunt Bauman. Ibn Khaldun memberi contoh Suku Badui sebagai suku yang menerapkan prinsip hidup nomaden. Sebagai konsekuensi dari prinsip nomadennya tersebut, Suku Badui, dalam pandangan Ibn Khaldun, dianggap sebagai kelompok yang kemungkinan tidak terikat dengan kemewahan dan perilaku buruk. Sementara itu, Bauman menyebutkannya dalam konteks "modernitas cair" yang ditunjukkan dengan identitas orang yang kian nomaden: bergerak dari satu label ke label yang lain. Namun sekali lagi, saya belum tuntas membacanya sehingga lebih baik jika dalam tulisan ini, saya mengungkapkan apa yang saya pikirkan dan rasakan saja terkait nomaden dan nomad-isme. 

Ada masa-masa ketika saya menikmati hidup menetap: punya rumah tinggal permanen dan pekerjaan tetap yang cukup terjamin hingga hari tua. Hidup kemudian mengalami perubahan drastis dan hal-hal tersebut tidak lagi berada di genggaman. Hidup nomaden menjadi jalan hidup yang mesti dilakukan: Dari tempat tinggal ke tempat tinggal, dari pekerjaan ke pekerjaan. Di masa-masa itu, saya masih belum menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, apalagi filosofis. Kadang saya mengasihani diri sendiri, mengapa tidak juga kunjung punya tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Hingga akhirnya sampai pada renungan: mengapa harus menjalani kehidupan yang menetap? Apakah berpindah-pindah adalah hal yang buruk? 

Hidup menetap artinya menempatkan diri pada posisi yang nyaman. Agar semakin nyaman, orang-orang kemudian mengumpulkan kekayaannya pada tempatnya menetap. Di tempat yang katakanlah sebuah rumah, ia mengumpulkan perabotan, menyimpan barang berharga dan membangun garis pemisah antara "punyaku" dan "bukan punyaku" yang dibatasi salah satunya oleh pagar ataupun halaman. Tesis ini bisa diperdebatkan, tetapi mari membayangkan: hidup menetap membuat orang begitu nyaman hingga akhirnya makan dengan puas, memanfaatkan persediaan pangan dan di situlah mulai muncul beraneka penyakit yang muncul dari "perut". Hidup menetap juga bisa dibayangkan sebagai asal-usul munculnya patriarki. Laki-laki dianggap lebih kuat secara fisik untuk lebih sering berada di luar rumah dan perempuan menjadi pihak yang "sebaiknya" menjaga rumah dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Keseluruhannya tersebut seolah-olah diterima sebagai sesuatu yang kodrati, padahal mungkin dalam konteks hidup yang nomaden, apa yang "kodrati" itu tidak terlalu jelas. Orang-orang bergerak bersama-sama, laki-laki dan perempuan, tanpa memedulikan mana yang seharusnya tinggal di rumah dan mana yang lebih sering bepergian. 

Dalam prinsip hidup nomaden, mungkin orang-orang tidak dibiarkan untuk memiliki segala sesuatu sampai terlalu melekat padanya. Kekayaan apapun pada akhirnya mesti dilepaskan dan dicari kembali (yang belum tentu akan ditemukan). Dari tempat ke tempat, orang-orang ini sadar bahwa bukan alam serta lingkungan yang mesti beradaptasi pada cara hidup mereka, tetapi sebaliknya, mereka lah yang mesti beradaptasi dengan alam dan lingkungan. Perasaan yang senantiasa tidak stabil ini bisa saja membuat orang-orang nomad, mau tidak mau, bersandar pada satu kepastian: Tuhan atau apapun itu yang lebih tetap dan abadi. Nasibnya bisa berubah kapan saja, tidak seperti mereka yang menetap: menganggap hari demi hari bisa diprediksi karena seolah-olah masa depan itu mampu dimiliki, seperti sebidang tanah yang di atasnya dibangun rumah-rumah mereka, yang dijamin oleh beberapa lembar kertas saja.

Dengan prinsip hidup yang nomaden, saya senantiasa berdoa dalam setiap langkah, dari satu tempat ke tempat lain. Doa yang sungguh-sungguh: "Ya Tuhan, cukupkanlah rejekiku hari ini. Hanya hari ini. Besok biarlah besok, agar aku dapat berdoa kembali."

Comments

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1