Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Di blog ini, saya pernah menulis tentang Hegel. Sudah lama sekali, yang dalam pemahaman sekarang, entah yang dulu itu benar atau keliru. Sekarang pun saya kurang yakin, tapi, siapa sih yang bisa memahami Hegel dengan benar? Hegel sendiri mengakuinya, tidak ada yang memahami gagasannya. Karena mesti membawakan materi tentang "Idealisme Hegel" di kelas Filsafat Angkot-nya Kelas Isolasi, saya membaca Hegel dengan lebih tekun, terutama perkara logikanya, yang sebagian besar ia tulis di buku Science of Logic . Mengapa saya memilih mendalami wilayah logikanya? Entah, mungkin terasa lebih menantang saja. Tentunya, tulisan ini hanya penyederhanaan, atau tafsir dangkal tentang filsafat Hegel, yang akan saya beri sedikit ilustrasi. Tentu saja, ilustrasi mempunyai masalah: memang sedikit banyak membantu, tapi menjadi terkesan melakukan simplifikasi. Sebagai permulaan, agak kurang tepat menyematkan istilah "logika" pada pandangan Hegel terkait "metafisika tentang alur ber