Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2022

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Hegel (Lagi)

Di blog ini, saya pernah menulis tentang Hegel. Sudah lama sekali, yang dalam pemahaman sekarang, entah yang dulu itu benar atau keliru. Sekarang pun saya kurang yakin, tapi, siapa sih yang bisa memahami Hegel dengan benar? Hegel sendiri mengakuinya, tidak ada yang memahami gagasannya. Karena mesti membawakan materi tentang "Idealisme Hegel" di kelas Filsafat Angkot-nya Kelas Isolasi, saya membaca Hegel dengan lebih tekun, terutama perkara logikanya, yang sebagian besar ia tulis di buku Science of Logic . Mengapa saya memilih mendalami wilayah logikanya? Entah, mungkin terasa lebih menantang saja. Tentunya, tulisan ini hanya penyederhanaan, atau tafsir dangkal tentang filsafat Hegel, yang akan saya beri sedikit ilustrasi. Tentu saja, ilustrasi mempunyai masalah: memang sedikit banyak membantu, tapi menjadi terkesan melakukan simplifikasi.  Sebagai permulaan, agak kurang tepat menyematkan istilah "logika" pada pandangan Hegel terkait "metafisika tentang alur ber

How to Become a Tyrant (2021): Diktator Bersalin Rupa

Sebenarnya film dokumenter ini sudah agak lama saya tonton, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Namun entah kenapa, saya baru terpikir untuk menuliskannya sekarang, dengan ingatan yang agak samar-samar. How to Become a Tyrant (2021) adalah docu-series produksi Netflix yang menceritakan kiprah para diktator yaitu Adolf Hitler, Saddam Hussein, Idi Amin, Joseph Stalin, Muammar Gaddafi, dan dinasti Kim. Dengan masing-masing penayangan antara 25 sampai 30 menit, dokumenter ini sangat informatif dengan narasi yang dibuat agak satir, seolah-olah para diktator tersebut punya semacam buku pedoman sebagai acuan tertulis dalam melanggengkan kekuasaan absolutnya. Bagi saya pribadi, How to Become a Tyrant , yang dinaratori oleh Peter Dinklage, memberikan banyak informasi dan juga renungan. Renungan paling mula-mula tentu bayangan akan kengerian totalitarianisme, yang membuat saya memikirkan segala cara agar para pemimpin fasis tidak pernah naik ke tampuk kepemimpinan lagi, di manapun

Mengajar Filsafat Pendidikan

Beberapa kali memberi materi tentang filsafat pendidikan, membuat saya semakin bingung tentang bagaimana seharusnya pendidikan itu dilakukan (tipikal belajar filsafat, semakin dipelajari semakin bingung). Awalnya, saya mudah untuk mengatakan bahwa pendidikan yang bersifat perenialistik dan esensialistik itu "berbahaya". Perenialisme, secara sederhana, diartikan sebagai pendidikan yang mengacu pada "teks-teks babon", belajar dari yang lampau, klasik, dan terbukti "abadi" (seperti arti kata "perenial" itu sendiri). Dalam satu kalimat, kita bisa mengartikan perenialisme seperti apa yang dikatakan oleh Isaac Newton: " Standing on the shoulders of giant ". Esensialisme kurang lebih mirip, tetapi dalam konteks pengetahuan atau skill tertentu yang dianggap lebih "mendasar", seperti yang dipraktikkan dalam artes liberales di Abad Pertengahan atau mungkin jika diilustrasikan di masa sekarang lebih seperti "MKU". Bedanya, ese

Tentang Sedekah dan Zakat

Ilmu agama saya, terus terang, tidak terlalu bagus. Lebih tepatnya, apa yang saya dapatkan selama ini tentang Islam, berasal dari dogma-dogma dan ajaran yang ditanamkan sejak kecil. Saya tidak pernah belajar agama secara formal atau mendalaminya dengan ilmu yang memadai. Modal saya ya hanya filsafat inilah, yang membuat saya berani mengorek-ngorek secara kritis perihal agama, terutama agama yang saya anut. Selama ini, saya menganggap sedekah adalah sesuatu yang mulia dan memang benar, mulia. Ibu mengajarkan untuk bersedekah sambil berpesan: jangan takut harta berkurang, karena sebaliknya, justru akan bertambah . Jika kita berhenti sampai di sana, tentu segalanya aman dan sentosa, tetapi, sialnya, nalar filsafati ini ingin saja mengejar dan mempertanyakan: apakah benar sesederhana itu?  Kunci sedekah adalah "seikhlasnya". Setahu saya, tidak ada keharusan untuk memberikan sedekah sebanyak sekian persen dari harta yang dimiliki atau penghasilan rutin. Seikhlasnya berarti ada pra