Di blog ini, saya pernah menulis tentang Hegel. Sudah lama sekali, yang dalam pemahaman sekarang, entah yang dulu itu benar atau keliru. Sekarang pun saya kurang yakin, tapi, siapa sih yang bisa memahami Hegel dengan benar? Hegel sendiri mengakuinya, tidak ada yang memahami gagasannya. Karena mesti membawakan materi tentang "Idealisme Hegel" di kelas Filsafat Angkot-nya Kelas Isolasi, saya membaca Hegel dengan lebih tekun, terutama perkara logikanya, yang sebagian besar ia tulis di buku Science of Logic. Mengapa saya memilih mendalami wilayah logikanya? Entah, mungkin terasa lebih menantang saja. Tentunya, tulisan ini hanya penyederhanaan, atau tafsir dangkal tentang filsafat Hegel, yang akan saya beri sedikit ilustrasi. Tentu saja, ilustrasi mempunyai masalah: memang sedikit banyak membantu, tapi menjadi terkesan melakukan simplifikasi.
Sebagai permulaan, agak kurang tepat menyematkan istilah "logika" pada pandangan Hegel terkait "metafisika tentang alur berpikir", meski ia sendiri menjuduli bukunya dengan "logika". Mungkin pada masanya, istilah "logika" erat kaitannya dengan "logika Aristotelian", yang basisnya adalah proposisi atau pernyataan yang sifatnya deklaratif. Hegel ingin melampaui proposisi a la Aristoteles ini dengan menawarkan "metafisika alur berpikir yang bergerak". Proposisi, bagi Hegel, dianggap membekukan realitas. Misalnya, saat saya mengatakan "Botol itu berwarna merah", maka proposisi tersebut sekaligus mengabaikan kemungkinan bahwa botol tersebut sekaligus menegasi yang non-merah, tetapi juga mengabaikan kemungkinan bahwa botol tersebut, dalam ke-merah-an-nya, mungkin ada warna-warna lain yang bercampur di dalamnya. Jadi, apa yang ingin ditawarkan Hegel?
Jika ditarik ke pendasaran "logika"-nya Hegel, ia memulai segala sesuatu dengan konsep "being" atau "ada". "Being" ini tidak bisa dimengerti begitu saja tanpa "nothing" atau "tiada". Gampangnya, saya mengenali "being"-nya botol, karena ada yang "bukan botol", misalnya, gelas, piring, cangkir, dan sebagainya. Saya mengenali "merah", karena ada warna yang "bukan merah". Begitulah kira-kira hubungan "being" dan "nothing" dalam ilustrasi yang dibuat sederhana. Hal yang lebih menantang bukanlah perkara keberadaan "being" dan "nothing", tetapi gerakan di antara keduanya. Gerakan pertama adalah "becoming" atau "menjadi", yang bergerak dari "being" menuju "nothing". Fitzerald Kennedy Sitorus membuat ilustrasi dengan hubungan antara pematung dan patung. Seorang pematung (being), harus bergerak (becoming) menciptakan patung (nothing). Mengapa patung ini disebut "nothing"? Karena patung itu tidak lain adalah bagian dirinya, sekaligus "bukan bagian dari dirinya", atau negasi dari dirinya. Ibaratnya, Tuhan menciptakan alam semesta. Alam semesta itu adalah bagian dari dirinya, tapi sekaligus bukan dirinya. Hegel tidak menyoroti posisi "being" atau "nothing" sebagai fokus utamanya, melainkan pergerakannya yaitu "becoming".
Lebih rumit lagi, pergerakan ini berlangsung dua kali. Setelah "becoming" pada gerakan pertama tadi, muncul gerakan berikutnya, yang berasal dari "nothing" dan kembali ke "being", yang dibagi ke dalam dua "sub-gerakan" yaitu "coming to be" dan "ceasing to be". Inilah yang disebut sublasi. Di dalam sublasi, terjadi alur yang membawa unsur sebelumnya, sekaligus meninggalkannya. Bingung? Mari kembali ke ilustrasi pematung dan pematung di atas: Pematung (being) bergerak membuat (becoming) patung (nothing), ini adalah gerakan pertama. Gerakan berikutnya adalah kembalinya patung itu ke si pematung, yang membawa (coming to be), sekaligus meninggalkan (ceasing to be) unsur-unsur dari sebelumnya. Gerakan kedua, atau gerakan kembalinya, melengkapi proses dialektika-nya Hegel. Melanjutkan ilustrasinya, maka dapat dikatakan seperti ini: melalui patung itu, pematung sadar dirinya adalah seorang pematung. Jika tanpa membuat patung, bagaimana pematung bisa tahu dirinya pematung? Kesadaran yang diberikan oleh patung pada si pematung, adalah kesadaran yang berbeda dengan sebelumnya, yang membuat pematung memahami dirinya, sekaligus hal-hal yang bukan dirinya.
Untuk lebih mempermudah lagi, meski saya khawatir contoh berikut malah akan menjauhkan kita dari maksud Hegel, adalah dengan contoh orang berpasangan. A (being) mencari pasangan dan mendapatkannya yaitu sebut saja B. Mengapa ia memilih B, tentu saja karena ada unsur A dalam diri B, tetapi juga meyakini bahwa B adalah bukan A dan mempunyai unsur yang tidak ada pada A (nothing). Aku memilih istriku bukan saja karena ia bisa memahamiku, tapi karena ia juga bukan aku, dan ia punya unsur yang lain dari aku. Melalui B, A semakin menyadari dirinya: melalui istriku, aku semakin menyadari siapa diriku karena istriku menerima diriku sekaligus menolak hal-hal yang ada dalam diriku, dan "mengembalikannya" dalam bentuk yang bisa aku terima tapi juga aku tolak (sublasi). Hegel, tentu saja, menerapkan "logika" ini dalam berbagai arena, termasuk yang sangat besar seperti hubungan antara Roh dan semesta.
"Logika" Hegel ini kurang lebih memberi gambaran bagaimana segala sesuatu tidak pernah membeku sebagai dirinya sendiri, tetapi selalu bergerak dinamis. Misalnya, mengapa ada pemikiran demotivasi? Tentu saja, karena ada pemikiran motivasi. Apakah dalam demotivasi ada unsur motivasional-nya? Tentu saja, kan lahir dari rahim yang sama. Sebaliknya, apakah dalam motivasi ada aspek demotivasionalnya? Pasti ada! Motivasi dan demotivasi tidak perlu saling menihilkan karena hubungan keduanya adalah dialektika. Jika motivasi hilang, maka tidak ada poinnya mengikuti demotivasi, karena demotivasi sendiri akan kehilangan "identitas"-nya. Demikian, semoga tidak terlalu keliru.