Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2022

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Ada Sesuatu yang Tumbuh dalam Diri ...

Memang harus diakui, meski mengerti beberapa konsep dalam filsafat sejak agak lama (mungkin sekitar sepuluh tahunan), saya tidak seberapa mendalaminya, atau bahkan menubuhinya. Misalnya, saya mengerti konsep-konsep dasar Marxisme sedari dulu, tapi ya hanya di tataran pikiran. Praktiknya, saya merasa sangat pragmatis, ikut saja ke mana kesempatan muncul. Agak berat untuk mengakui ini, tetapi akhirnya harus diakui, bahwa tahun 2017 dan 2018, saya merasa keren sekali karena menjadi bagian dari acara festival kota yang didanai oleh pemerintah. Acara tersebut sebenarnya berantakan, tapi pada masa itu saya enggan mengakuinya, sibuk membela diri, sibuk menunjukkan pentingnya acara tersebut, pentingnya diri saya ada di sana. Memalukan. Kemudian pada Pemilu 2019, saya ikut-ikutan membela politisi tertentu. Ada sekelompok orang yang menarik saya untuk bergabung, menjadi semacam bagian dari "tim penting" untuk melanggengkan beberapa orang untuk naik ke tampuk kekuasaan. Setiap hari, say

Tentang Membaca Pemikiran Anarkisme

Seperti biasa, dalam rangka mempersiapkan materi untuk Kelas Isolasi, saya mesti membaca-baca beberapa teks yang sebelumnya kurang familiar. Justru dengan adanya kelas ini, saya "terpaksa" mempelajarinya. Singkat cerita, kami memutuskan untuk membahas tema anarkisme. Tema ini bagi kami terasa cukup berani karena pertama, citra anarkisme yang lekat dengan kekerasan dan bahkan perusakan (seolah-olah "tidak layak" dibicarakan); kedua, berpotensi "diserang" karena sebagian anarkis yang lebih senang mempraktikkan ketimbang membicarakan (sehingga kami berpotensi dikatai "bacot"); ketiga, bahasan ini bukan bahasan "arus utama" dalam filsafat dan sependek pengamatan kami, pemikir dan pemikirannya jarang dibahas dalam konteks akademik. Waktu kami pertama kali mengeluarkan poster kelas, komentar-komentar bermunculan tentang mengapa kami tidak membahas pemikir ini atau pemikir itu. Jujur, memang tidak mungkin semuanya terangkum karena pemikir anar

Tentang Buruh Digital

Pembahasan ini sebenarnya adalah tema disertasi yang tengah saya garap, yang entah kenapa begitu sulit untuk dikerjakan secara intens, kemungkinan karena terlalu banyak distraksi pekerjaan lain (padahal memang alasannya cuma itu, plus malas). Awalnya saya mengajukan topik tentang demotivasi, tetapi terang-terangan ditolak oleh almarhum Romo Herry. Akhirnya saya memutuskan untuk mengkaji gagasan Christian Fuchs dari salah satu bukunya yang berjudul Digital Labour and Karl Marx (2014). Mengapa memilih pemikirannya Fuchs? Alasan pertama, pemikirnya masih hidup, topiknya sangat kekinian, sehingga kurang lebih dapat dikategorikan sebagai pemikir/ pemikiran kontemporer. Alasan kedua, adalah alasan yang lebih praktis, yaitu karena teks primernya berbahasa Inggris (di STF Driyarkara, jika kami membaca teks primer, harus dalam bahasa aslinya, sehingga jika teks aslinya berbahasa Jerman, maka harus menguasai bahasa Jerman juga). Alasan terakhir, yang mungkin lebih serius, adalah ketertarikan un

Tentang Komik Charles Handoyo

Akhir tahun lalu, saya dikontak oleh Penerbit Footnote. Katanya, adakah naskah yang kira-kira bisa diterbitkan, utamanya terkait demotivasi? Saya bilang belum ada, terlebih lagi, Kumpulan Kalimat Demotivasi edisi tiga rencananya akan saya terbitkan kembali di Buruan and Co., seperti dua edisi sebelumnya. Namun saya punya beberapa ide yang mungkin bisa dijalankan. Pertama, ide tentang buku berjudul Sop Kikil , yang menjadi pelesetan Chicken Soup for Soul . Isinya, tentu saja, kisah-kisah tentang kegagalan hidup. Kedua, ide tentang pengembangan tokoh Charles Handoyo, tokoh yang disebut-sebut dalam Kumpulan Kalimat Demotivasi 2 . Siapakah Charles Handoyo? Saya akan menceritakan sedikit asal usul tokoh ini. Sebenarnya tokoh ini adalah rekaan Jason Limanjaya, kawan saya, seorang pianis jazz sangat berbakat, dengan pola pikir yang memang agak unik. Waktu saya mulai membuat instagram @kumpulankalimatdemotivasi, Jason kemudian berkontribusi dalam salah satu konten dan meminta namanya ditulis

Tentang Branding

Ada istilah dalam bahasa Indonesia untuk branding yaitu penjenamaan. Namun, karena istilah penjenamaan belum terlalu sering digunakan (?), maka saya akan tetap menggunakan branding . Apa yang bisa dikatakan tentang branding ? Sekarang, segala bentuk bisnis bicara branding . Branding awalnya bisa diartikan sebatas "merk". Namun, branding tentu lebih luas daripada merk. Branding bisa juga meluas pada "citra", serta nilai ekonomi, bahkan sosio-kultural yang melekat padanya. Saat kita menggunakan produk Nike, kita tidak sekadar menggunakan produk bermerk Nike, tapi segala gengsi yang "inheren" berada bersama Nike. Dengan adanya gengsi tersebut, tentu harga produk Nike bisa menjadi lebih mahal, meski kualitasnya mungkin tidak beda jauh dengan produk lainnya yang kurang terkenal. Hal demikian yang oleh Marx disebut sebagai "fetisisme komoditas", yang membuat suatu produk dikenai "mistifikasi nilai" yang terlepas dari relasi produksinya. K