Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Memang harus diakui, meski mengerti beberapa konsep dalam filsafat sejak agak lama (mungkin sekitar sepuluh tahunan), saya tidak seberapa mendalaminya, atau bahkan menubuhinya. Misalnya, saya mengerti konsep-konsep dasar Marxisme sedari dulu, tapi ya hanya di tataran pikiran. Praktiknya, saya merasa sangat pragmatis, ikut saja ke mana kesempatan muncul. Agak berat untuk mengakui ini, tetapi akhirnya harus diakui, bahwa tahun 2017 dan 2018, saya merasa keren sekali karena menjadi bagian dari acara festival kota yang didanai oleh pemerintah. Acara tersebut sebenarnya berantakan, tapi pada masa itu saya enggan mengakuinya, sibuk membela diri, sibuk menunjukkan pentingnya acara tersebut, pentingnya diri saya ada di sana. Memalukan. Kemudian pada Pemilu 2019, saya ikut-ikutan membela politisi tertentu. Ada sekelompok orang yang menarik saya untuk bergabung, menjadi semacam bagian dari "tim penting" untuk melanggengkan beberapa orang untuk naik ke tampuk kekuasaan. Setiap hari, say