Skip to main content

Posts

Showing posts from 2022

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Argentina

Piala Dunia Qatar 2022 berakhir. Argentina juara dengan cara yang sangat dramatis. Messi mendapatkan keadilannya sebagai pemain terbaik dengan gelar terbaik. Saya bukan pendukung Argentina, tetapi inilah tim terbaik yang bisa saya dukung ketika Italia tidak lolos Piala Dunia. Alasannya tentu Messi dan Barcelona. Hari-hari saya di masa tahun-tahun 2010-an banyak dihibur oleh Barcelona dengan tiki taka-nya sehingga saya berterima kasih pada mereka. Tentu saja yang paling besar pada Messi. Messi sudah tidak di Barcelona, tetapi ia, bagi saya, selalu identik dengan Barcelona.  Piala Dunia (dan juga Piala Eropa) bagi saya adalah penanda. Penanda berapa lama saya telah hidup dan mengingat suatu momen besar di dunia. Piala Dunia pertama yang saya ingat adalah AS 1994, itupun hanya momen melambungnya tendangan penalti Roberto Baggio di final. Piala Dunia 1994 tidak membuat saya menyukai sepakbola. Barulah pada Piala Eropa 1996, saya mulai sedikit-sedikit memperhatikan sepakbola dan menjatuhkan

Philofest Luring Pertama

Philofest, festival filsafat yang edisi perdananya dimulai bulan Desember 2020, ternyata berlanjut hingga edisi ketiga. Edisi ketiga ini istimewa karena untuk pertama kalinya digelar secara hibrid atau gabungan antara luring dan daring. Luringnya berlokasi di Pontianak dan beberapa orang, termasuk saya, diterbangkan ke sana oleh panitia, diketuai oleh Trio Kurniawan, yang entah punya uang darimana. Namun kami tidak ambil pusing karena kami pun tidak bermewah-mewah dengan hotel dan maskapai, bahkan konsumsi pun banyaknya beli sendiri. Artinya, meski punya uang untuk membelikan kami tiket pesawat, hal tersebut tidak serta merta membuat Philofest dapat dilabeli festival yang banyak uang. Mungkin lebih tepatnya: semakin punya uang, meski belum masuk kategori kaya raya. Hal yang lebih penting adalah kami, para pegiat filsafat yang selama ini hanya bertemu secara daring, akhirnya berkesempatan untuk bertemu muka. Sejak momen pertama kami saling jumpa, hal yang pertama dilakukan adalah berdis

Pekalongan

Pada bulan September, saya mendapat undangan untuk mengisi forum di Kota Pekalongan, tepatnya dari kawan-kawan Lingkar Kajian Kota Pekalongan. Forum tersebut tadinya diselenggarakan bulan Januari 2023, tetapi tiba-tiba dimajukan ke tanggal 11 Desember 2022. Alasannya entah kenapa, mungkin supaya dipaskan dengan penutupan (baca: penghabisan) tahun anggaran (karena acara tersebut juga ternyata bekerjasama dengan DPRD Kota Pekalongan). Tidak masalah. Puspa (istri) dan saya memutuskan pergi bersama, hitung-hitung liburan. Judul forumnya adalah Anak Muda, Sains, dan Pembangunan Berkelanjutan . Saya menyiapkan materi tentang filsafat lingkungan serta memasukkan beberapa poin pemikiran Bruno Latour (kebetulan, karena saya baru saja membaca intens pemikiran Bruno Latour untuk forum lainnya).  Menyesuaikan dengan jadwal klinik Puspa, kami berangkat Sabtu malam dengan kereta dari stasiun Bandung. Sampai Pekalongan sekitar pukul dua pagi, panitia sudah menanti di stasiun dan siap mengantarkan kam

Festivalisme

Saya agak labil jika mesti mengomentari festival secara umum karena pertama, festival tentu ada banyak dan beragam sehingga tidak bisa dipukul rata. Kedua, saya pernah diberi kesempatan untuk mencicipi beberapa posisi dalam festival mulai dari kurator, direktur artistik, jurnalis, pengunjung sampai kita sebut saja, inisiator, sehingga mesti menentukan sudut pandang terlebih dahulu sebelum mengutarakan pendapat. Sebagai titik berangkat, kita bisa mendefinisikan apa itu festival terlebih dahulu dan apa yang menjadi cirinya. Festival berkaitan dengan "pesta" atau "perayaan" yang melibatkan banyak orang. Orang banyak tentu biasa berkumpul dalam berbagai momen, tetapi dalam festival, orang-orang yang berkumpul tersebut dikondisikan, dibuat datang untuk sebuah tujuan yang tentunya bergantung dari tema festival itu sendiri. Dalam festival jazz, orang banyak dikondisikan untuk datang dan menikmati musik jazz; dalam festival film, orang banyak dikondisikan untuk datang dan m

Idealisme

Mungkin saya termasuk orang yang masih melakukan hal yang kurang lebih sama dengan sepuluh sampai lima belas tahun lalu: berfilsafat, bermusik, dan menulis (meski soal bermusik sudah tidak lagi seintens dulu). Apakah boleh bangga dengan hal demikian? Bisa iya, karena artinya saya berhasil mempertahankan apa yang disebut sebagai "idealisme" atau sesuatu yang saya anggap sebagai hal yang ideal sedari dulu; namun bisa juga tidak, karena dari sudut pandang lain, saya terlihat "di situ-situ saja", tidak berkembang, enggan mencoba sesuatu yang baru. Saya sejujurnya tidak peduli dengan sudut pandang manapun itu karena hal yang lebih penting sekarang bukan lagi terlihat keren dengan idealisme tersebut, tetapi apakah yang saya kerjakan ini dapat menghidupi diri sendiri atau tidak (soal kebermanfaatan bagi banyak orang, jujur, saya kian tidak percaya dengan "idealisme" semacam itu).  Namun saya melihat sekeliling, pada beberapa teman, yang tidak lagi menganggap idea

Olahraga

Olahraga bukan suatu kegiatan yang akrab dengan hidup saya. Meski demikian, ada masa-masa saya menyukai praktik olahraga, tepatnya sepakbola, hingga masa-masa kuliah S1 sebelum akhirnya mesti "pensiun" karena mengalami cedera serius pada lutut. Belakangan, terutama dalam dua tahun terakhir, saya mulai kembali rutin berolahraga meski kecil-kecilan lewat aerobik via instruktur di YouTube. Dulu, berolahraga punya tujuan yang ambisius, yakni ingin menjadi pemain sepakbola profesional. Sekarang, berolahraga bertujuan supaya sehat saja, memperbesar peluang untuk tetap hidup, meski belum tentu juga. Setidaknya dengan berolahraga, badan menjadi lebih segar.  Olahraga yang saya lakukan sekarang, tentu memerlukan waktu luang. Saya bisa berolahraga karena ada waktu santai, meski kadang memaksakan diri juga di tengah kesibukan. Namun saya memikirkan suatu masalah keadilan: apakah mereka yang tidak punya waktu luang, kemudian menjadi tidak punya waktu berolahraga, dan maka itu menjadi sam

Pseudosains

Mungkin tampak jelas bagi sebagian dari kita untuk membedakan mana yang sains dan mana yang bukan. Pawang hujan jelas bukan sains karena seorang pawang bisa bicara tentang "kekuatan pikiran" dan "alat pengendali langit" untuk mengatur turunnya hujan tanpa bisa ditunjukkan apakah fakta bahwa hujan turun atau tidak benar-benar tergantung dari "metode" yang ia praktikkan atau bukan. Katakanlah seorang pawang hujan sudah melakukan ritual ini itu dan ternyata hujan tidak terjadi, maka dengan demikian "metode"-nya tersebut bisa dianggap sahih. Namun di sisi lain, bisa juga kejadian: pawang hujan sudah melakukan ritual ini itu tapi hujan tetaplah terjadi. Jika ditanya, pawang hujan tersebut biasanya menjawab, "Awan sudah kepenuhan dan harus dikurangi bebannya, maka itu dia tidak bisa tidak menurunkan hujan." Apapun yang ia katakan, semuanya tidak bisa dibuktikan. Bahkan meskipun ia menceritakan metodenya secara rinci, toh tidak semua orang bi

Tentang Membaca Pemikiran Latour

Untuk kepentingan sebuah forum, saya diharuskan membahas pemikiran Bruno Latour yang sebelumnya hanya saya terima tipis-tipis dari diskusi antar teman dan kuliah Bu Karlina Supelli. Saya menerima tantangan tersebut dengan hanya mempunyai waktu dua minggu. Iya, dua minggu untuk mengkaji pemikiran dari seorang filsuf yang saya tidak pernah akrabi sebelumnya. Mengapa saya bersedia? Mungkin karena forumnya tidak filsafat-filsafat amat, dan juga Latour adalah pemikir kontemporer yang baru meninggal bulan lalu, sehingga tentu mudah untuk mengakses video-video kuliahnya. Memang tidak sukar menemukan videonya yang cukup banyak itu, baik saat ia memberikan ceramah maupun menjawab wawancara, tetapi ternyata gagasannya tidak mudah juga untuk dicerna. Bahkan dalam beberapa hari pertama saya mulai menggeluti pemikiran filsuf Prancis itu, saya nyaris putus asa.  Setelah menyerah dengan buku primer, saya mengalihkan bacaan ke buku sekunder yang ditulis oleh Gerard de Vries. Pengantar yang diberikanny

Varian

Meski minum kopi setiap hari, saya tidak terlalu paham dengan varian kopi yang banyak itu. Mungkin saya tahu sedikit tentang vietnam drip, V60, karena keduanya begitu mencolok dari tampilannya. Atau saya juga tahu ciri khas espresso yang kuat dan bisa diminum sekali teguk itu. Namun sisanya saya tidak terlalu tahu bedanya dan bahkan tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya. Hal yang lebih penting bagi saya adalah kopi itu jangan manis karena masalah gula darah saya yang tinggi. Jadi pesan kopi apapun saya cuma menambahkan pesan, "Jangan manis ya." Jangan tanya perbedaan cappuccino dan caffe latte, saya paling bingung, meski sudah dijelaskan berkali-kali oleh Si Barista.  Justru saya jadi bertanya-tanya, mengapa segala sesuatu mesti memiliki varian? Kopi ya kopi, mengapa harus ada detail yang membedakan antar jenis kopi? Supaya apa? Tidak hanya pada kopi, tapi juga pada es krim, rokok, steak, bahkan teh. Mengapa kita tidak kembali saja pada fungsi esensial dari masing-masing

Fiksi dan Kehidupan Nyata

Tetapi apakah fiksi adalah benar-benar sesuatu yang tidak nyata? Tetapi apa itu kenyataan? Kalau saya mengarang tentang tokoh A dan dia punya perawakan dan sifat yang saya buat sendiri, tidakkah perawakan dan sifat tersebut, sadar tidak sadar, bersumber dari akumulasi pengalaman inderawi saya terhadap sejumlah orang di kehidupan nyata? Jika A adalah seorang pemabuk, tidakkah saya memikirkan seorang atau beberapa pemabuk dalam kehidupan saya? Demikian halnya jika A adalah seorang kutu buku, supir, aktor teater, dan banyak lagi. Maka apa yang dimaksud fiksi mungkin mengandung sosok, tempat, atau waktu yang tidak ada di kenyataan, tetapi kita tidak bisa simpulkan bahwa itu semua tiada hubungannya dengan kenyataan. Itu semua adalah nyata dalam batas tertentu, dan bahkan punya arti bagi kehidupan nyata.  Lantas bagaimana cara kerja fiksi terhadap kehidupan nyata jika dia bukanlah kehidupan nyata? Mari mengambil contoh tokoh Alexei Fyodorovich Karamazov atau Alyosha dalam The Brothers Karama

Yang Klise

Bagaimana jika dunia ini bergerak dalam rangka menjauhi "yang klise"? "Yang klise" adalah segala sesuatu yang kita anggap usang, ketinggalan, basi, lebih karena ia diulang-ulang dan terus dibunyikan. Apakah sesuatu menjadi "yang klise" karena ia keliru atau tidak lagi dapat diandalkan? Tidak selalu seperti itu. "Yang klise" belum tentu salah, ia ditinggalkan karena orang menginginkan yang lebih segar, lebih baru, lebih terdengar berbeda dan belum ada sebelumnya. Kalaupun "yang klise" itu tetap ada, ia dikemas ulang, disuarakan dengan cara yang berbeda.  Kalau saya mengatakan, "Ini sudah abad ke-21 dan kau masih membicarakan Plato?" Itu bukan berarti Plato keliru dan tak lagi relevan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Plato telah menjadi "yang klise" karena banyak orang telah mengenal dan membicarakannya. Saya bosan dengan Plato . Lalu saya memikirkan hal lain, yang berbeda dengan Plato. Mungkin bedanya tidak banyak,

Drama dan Sepakbola

Saya lupa sejak Piala Dunia kapan, mungkin 2010, tayangan ulang bisa menjadi sangat lambat, sehingga kita benar-benar menikmati momen ketika bulir keringat dari si pemain terlihat jatuh atau muncrat secara perlahan. Efek ini tentu menarik, karena jika saya menonton sejumlah tayangan YouTube dari Piala Dunia yang lalu-lalu, terutama sebelum tahun 1998, penggunaan kamera ini tidak terlalu banyak yang dengan demikian berdampak juga pada minimnya efek pada tayangan ulang. Namun rasanya dimulai dari Piala Dunia 1998 dan sesudah-sesudahnya, kamera di lapangan mulai banyak dan efek tayangan ulangnya pun kian beragam. Kamera, dalam hal ini, telah bertransformasi dari yang tadinya sekadar "memperlihatkan", menjadi "menceritakan". Kamera tidak lagi hanya menayangkan sepakbola, melainkan punya peran menghadirkan "drama sepakbola". Drama ini tidak lagi sekadar "ditemukan" (di dalam pertandingan itu sendiri), tetapi "diciptakan" (oleh beraneka peran

Hidup Bukanlah Permainan

Dalam bukunya yang berjudul Games: Agency as Art (2020), C. Thi Nguyen mengurai tentang hakikat game, kegunaan-kegunaannya, termasuk juga problem yang ditimbulkannya. Sebagai permulaan, C. Thi Nguyen membandingkan antara game dan kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pada umumnya mencari sarana demi mencapai sebuah tujuan. Sebaliknya, dalam game, kita justru menikmati sarananya. Dengan demikian, terjadi motivasi yang berkebalikan ( motivational inversion ) antara game dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita mesti terus menyesuaikan dengan apapun bentuk ketidakpastian atau kemungkinan yang dilemparkan pada kita. Sementara pada game, kita tinggal menyesuaikan dengan aturan yang dirancang oleh desainer. Dalam kehidupan sehari-hari, lanjut C. Thi Nguyen, prinsip-prinsip tertentu sukar diubah (seperti misalnya fokus saya terhadap filsafat dan seni), sementara dalam game, segala sesuatu berlangsung lebih cair, kita cenderung dapat menjadi

Tentang Sistem

Entah berapa tahun silam, saya pernah ngobrol dengan teman saya, lulusan psikologi, yang memutuskan untuk bekerja sebagai Satpol PP. Tanpa saya menanyakan, ia langsung merasa harus menjelaskan pilihannya tersebut, "Saya melamar pada pekerjaan ini supaya jatah orang yang tadinya kurang kompeten, diberikan pada saya, lulusan S1 yang mungkin lebih kompeten." Maklum, imej Satpol PP selama ini, sependek yang saya tahu, lekat dengan penertiban yang tidak jarang berujung pada kekerasan. Wajah Satpol PP adalah wajah yang ditakuti oleh para pedagang dan pencari nafkah yang melapak di tempat yang katanya tidak boleh. Satpol PP akan mengejar mereka yang nakal, mengangkut gerobak dagangannya, dan memastikan lokasi itu tetap steril. Cita-cita teman saya ini mungkin mulia, supaya Satpol PP lebih baik, lebih lunak, lebih "beradab", lewat pengaruh ilmu psikologi dari seorang lulusan yang rajin.  Saya tidak punya penelitian atau pengamatan serius tentang Satpol PP. Saya juga tidak b

Roger

Beberapa hari yang lalu, Roger Federer memutuskan untuk pensiun. Saya tidak perlu menceritakan siapa Roger dan apa saja pencapaiannya karena segala informasi tersebut beredar luas di internet. Namun apa yang akan dituliskan di sini lebih pada kesan saya menonton Roger dan "hidup bersamanya". Roger tentu saja istimewa bagi banyak orang. Ia tidak hanya meraih banyak gelar Grand Slam, tetapi gaya permainannya juga memikat. Orang boleh mengatakan Nole hebat, Nadal hebat, tetapi kehebatan tidak selalu tentang keindahan. Kehebatan bisa diraih dengan cara-cara yang tidak indah, kehebatan tidak harus diraih "dengan gaya". Kehebatan juga bisa diraih dengan hanya kekuatan, dengan hanya kemenangan demi kemenangan tanpa perlu dipikirkan cara-caranya.  Bahkan keindahan, jika terlalu dipikirkan, bisa jadi merupakan semacam "kejahatan", suatu proses yang bertele-tele untuk meraih hati penonton tanpa harus mencapai tujuan "sebenarnya", yaitu kemenangan. Tim sepa

Perihal Kelas Luring

Kegiatan kuliah di tempat saya mengajar, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, kembali diselenggarakan secara luring pada semester ini. Dosen tetap dapat mengadakan kuliah daring, tetapi dijatah beberapa kali saja dan utamanya tetap harus berlangsung secara offline . Tentunya banyak hal yang membuat saya mesti beradaptasi setelah menjalani serangkaian kuliah daring, baik pada acara kampus maupun non-kampus, di masa pandemi. Misalnya, hal sederhana saja: saya belum terbiasa mengukur waktu untuk bersiap dan melakukan perjalanan menuju kampus. Pada masa kuliah daring, untuk kuliah yang diadakan pukul delapan pagi, saya bisa saja bangun pukul tujuh, leyeh-leyeh , cuci muka pukul 7.45 sebelum mulai menyalakan Zoom dan memasukkan mereka satu per satu ke ruangan. Namun di masa luring, ternyata saya harus bangun pukul enam, siap-siap yang serius (mandi dan mengenakan pakaian yang sopan), dan pergi paling lambat pukul 7.15 supaya tidak terlambat. Dalam hal persiapan ini, tentu kuli