Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Waktu awal-awal mulai rajin berkarya, entah sejak berapa tahun silam, dalam bentuk apapun, bisa tulisan ataupun musik, saya berpikir bahwa dapur harus ngebul dulu, baru bisa memikirkan karya. Tiada logika (dan estetika) tanpa logistik, begitu ungkapan lucu-lucuannya. Artinya, saya bisa mengerjakan apapun, yang tidak ada hubungannya dengan gairah, impian, dan cita-cita, selama menghasilkan cukup uang, mengenyangkan perut, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan setelah itu semua terjadi, baru bisa mengerjakan apa yang menjadi gairah, impian, dan cita-cita. Jalan semacam itu sama sekali tidak keliru, bahkan sangat masuk akal, realistis, dan membuat karya menjadi "murni", tidak dikotori pikiran macam-macam: bagaimana agar laku, terjual, disukai pasar, dan seterusnya. Kelihatannya, banyak orang lebih merasa aman dan nyaman jika menganut prinsip demikian. Dalam obrolan bersama Mas Tanto (R.E. Hartanto), perupa, sekitar tahun 2016 atau 2017, kami membicarakan topik tersebut dan ia me