Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2022

Pembebasan

Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya?  Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.

Karya dan Hidup Sehari-Hari

Waktu awal-awal mulai rajin berkarya, entah sejak berapa tahun silam, dalam bentuk apapun, bisa tulisan ataupun musik, saya berpikir bahwa dapur harus ngebul dulu, baru bisa memikirkan karya. Tiada logika (dan estetika) tanpa logistik, begitu ungkapan lucu-lucuannya. Artinya, saya bisa mengerjakan apapun, yang tidak ada hubungannya dengan gairah, impian, dan cita-cita, selama menghasilkan cukup uang, mengenyangkan perut, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan setelah itu semua terjadi, baru bisa mengerjakan apa yang menjadi gairah, impian, dan cita-cita. Jalan semacam itu sama sekali tidak keliru, bahkan sangat masuk akal, realistis, dan membuat karya menjadi "murni", tidak dikotori pikiran macam-macam: bagaimana agar laku, terjual, disukai pasar, dan seterusnya. Kelihatannya, banyak orang lebih merasa aman dan nyaman jika menganut prinsip demikian.  Dalam obrolan bersama Mas Tanto (R.E. Hartanto), perupa, sekitar tahun 2016 atau 2017, kami membicarakan topik tersebut dan ia me

Tentang Gagasan dan Hubungan Pribadi

Dalam sebuah versi, gagasan memang perlu dipisahkan dari orang yang menggagasnya. Itu hal yang juga sudah sejak lama saya yakini. Orang, yang terikat dengan tubuh, bisa saja mengalami berbagai derita, atau kekeliruan akibat kedagingannya, tapi sebuah gagasan, gagasan adalah ide murni, yang mestinya lepas dari keduniawian. Nietzsche misalnya, bisa saja hidup dalam kondisi tidak punya banyak teman, tidak punya warganegara, dan mengalami kegilaan di akhir hayat, tapi hal demikian tidak membuat kita urung mempelajari gagasan-gagasannya. Atau Louis Althusser, yang masa tuanya dihabiskan di rumah sakit jiwa, atau Michel Foucault, yang pernah dikabarkan "memerkosa anak kecil" pada akhir tahun 1960-an. Hal-hal tersebut tampak sebagai sesuatu yang "tidak lazim", yang jika mereka berada di tengah-tengah kita sekarang, mungkin diasingkan. Meski demikian, ide-idenya tetap dipelajari, kedagingannya terkadang bisa diabaikan, walau kadang-kadang tetap tidak bisa lepas dari sasaran

Tentang Pahlawan Super

Saya bukan penggemar sosok pahlawan super, setidaknya yang digambarkan dalam komik, film, ataupun budaya populer lainnya. Saya hanya terpapar tipis-tipis dari kakak, yang kebetulan sangat menggilai komik (menggambar dan mengoleksi) dan action figure . Namun atas dorongan untuk mengisi sebuah forum, saya "terpaksa" membaca-baca soal pahlawan super dan hubungannya dengan filsafat. Akhirnya saya menemukan buku berjudul Superheroes and Philosophy: Truth, Justice, and the Socratic Way (Open Court, 2005) yang disunting oleh Tom Morris dan Matt Morris. Dalam buku tersebut, terdapat hal-hal menarik yang membuat saya merenung - meski sebagian renungan yang dituangkan dalam tulisan ini, sebenarnya sudah saya pernah pikirkan sebelum membaca Superheroes and Philosophy . Pertama, soal istilah pahlawan super itu sendiri, yang dalam salah satu bab dalam buku tersebut, tepatnya berjudul Heroes and Superheroes yang ditulis oleh Jeph Loeb dan Tom Morris, disebutkan sebagai berkontradiksi. Ma

Dosa Struktural dan Individual

Konsep dosa memang sekilas mudah sekali ditujukan bagi individu yang melakukan suatu tindakan langsung. Misalnya, lalai beribadah, mabuk, judi, zina, itu semua mudah dibebankan pada perorangan. Kalau saya berzina, misalnya, itu dosa saya pribadi, saya yang menanggungnya, atau, termasuk juga, orang yang saya ajak berzina dan ia setuju. Jika saya seorang tentara, saya memang melaksanakan perintah atasan untuk membunuh lawan. Mungkin atasan saya berdosa karena memerintahkan demikian, tapi peluru yang saya tembakkan, yang membunuh orang di hadapan secara langsung, itulah yang membuat saya menjadi merasa lebih berdosa, mungkin, ketimbang atasan saya. Namun dalam suatu tindakan yang tidak langsung, atau bersembunyi di balik kerumitan yang bersifat struktural, yang membuat seseorang bisa "menghilang" di balik birokrasi, bagaimana dosa bisa tetap menyasar orang secara individual? Ini menjadi pertanyaan saya belakangan, saat melihat misalnya, presiden yang membuat keputusan perang den