Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
3 Ramadhan 1434 H
Stranger than Paradise berpusat pada tiga orang yakni Willie (John Lurie), Eva (Eszter Balint) dan Eddie (Richard Edson). Ketiganya bermain dalam adegan demi adegan yang minimalis. Ceritanya sederhana saja, tentang Eva yang tinggal di tempat Willy selama sepuluh hari (hubungan keduanya adalah sepupu). Lama kelamaan Willy -yang tadinya merasa terganggu dengan kehadiran Eva- menjadi sayang pada saudaranya tersebut. Ketika sepuluh hari telah lewat dan Eva pergi ke Cleveland, Willy dan Eddie, kawannya, memutuskan untuk menyusul si sepupu. Di Cleveland, Eva dijemput untuk diajak bersama-sama ke Florida.
Bagaimana mungkin cerita sederhana semacam itu bisa membuat film ini berdurasi sembilan puluh menit? Inilah yang menjadi kelebihan Jim Jarmusch, sang sutradara yang terkenal dengan indepensi gayanya. Jim Jarmusch menciptakan apa yang disebutnya dengan "pengalaman real-time". Ketika para pemain berdialog satu sama lain, ia tidak sedikitpun melakukan montase agar dialog menjadi lebih cepat dan padat. Jarmusch sangat suka membiarkan dialog terlihat alamiah -ketika para pemain tidak saling bicara, ia pun dengan tenang memperlihatkannya-. Ia juga sama sekali tidak melakukan close-up pada wajah si pemain. Biasanya dalam satu adegan, ia hanya mempertahankan satu sorotan saja. Meski tanpa suatu penggambaran mimik yang kuat, Jarmusch tetap sanggup menyampaikan perasaan-perasaan yang terjadi dalam film seperti misalnya proses ketertarikan Willy pada Eva, hingga kegundahan Willy dan Eddie ketika mereka kalah taruhan di ajang balapan anjing.
Meski dibuat pada tahun 1984, film Stranger than Paradise ini bisa dicurigai sebagai film yang estetikanya sudah berada di garda depan tidak hanya di masa itu, melainkan juga bagi yang melihatnya di masa sekarang. Bahkan untuk sutradara hari ini, barangkali tidak banyak yang berani melakukan eksperimentasi minimalis semacam yang dilakukan Jarmusch (minimalisnya Jarmusch tidak seperti "minimalis"-nya Sydney Lumet [12 Angry Men (1957), Dog Day Afternoon (1975)] yang meski latar filmnya kerap di satu tempat, tapi permainan kameranya tetap "mewah"). Ia sepertinya mendobrak estetika Hollywood yang akrab dengan kedinamisan dan kepadatan. Menariknya, Jarmusch tetap jempolan untuk menjaga para penonton untuk tetap di tempat duduknya. Agaknya film Stranger than Paradise, meski lambat dan absurd, tidak membuat penonton menguap seperti bagi mereka yang mungkin belum terbiasa dengan -misalnya- film-filmnya Ingmar Bergman yang juga sama-sama lambat dan absurd.
Rekomendasi: Bintang Lima
Comments
Post a Comment