Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Objek Wisata


Dalam beberapa kali kesempatan ke luar kota atau luar negeri, tentu saja ada hari dimana saya mengunjungi objek wisata yang terkenal menurut masyarakat setempat. Mengunjungi objek wisata tentu saja bukan hal yang janggal untuk mengenal keunikan suatu tempat. Objek wisata biasanya punya relasi kuat entah dengan namanya keindahan alam atau peristiwa yang menarik secara historis. Misalnya, kemarin di Yogyakarta saya berkunjung ke lingkungan Keraton yang tinggal di dalamnya Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ada berbagai cerita tentang Sultan terdahulu melempar kembang ke puluhan selir yang sedang mandi di kolam di Komplek Tamansari. Barangsiapa yang beruntung mendapatkan bunga, maka ia akan diajak mandi berdua saja dengan Sultan di kolam belakang. Lalu pernah, jauh sebelumnya, saya mengunjungi Kota Makkah di Saudi Arabia. Penuh cerita juga tentang bagaimana nabi memohon petunjuk Allah di Gua Hira. Gua Hira kemudian ditampakkan senyatanya pada kami, peserta umrah, yang membuat kami takjub meski sudah jelas gua tersebut kini hanya gua biasa tak punya daya magi apa-apa. 

Segala sesuatu yang sudah dilabeli objek wisata, pastilah kita akan memperoleh semacam conditioning. Maksudnya, ada pemandu wisata, ada orang berdagang, ada penjelasan sejarah, ada larangan ini itu demi kepentingan perlindungan ekologis ataupun fisik si artefak itu sendiri. Objek wisata, bagaimanapun, sudah dibangun sedemikian rupa agar menguntungkan juga bagi orang-orang di sekitar tempat tersebut. Lebih jauh lagi, objek wisata harus menguntungkan bagi pemerintah daerah, pemerintah kota, bahkan pemerintah negeri.  Segala apapun yang ada di dalam objek wisata sudah bercampur baur dengan aspek ekonomi sehingga tentu saja ada kepentingan-kepentingan disana. Objek wisata, dalam hal ini, sudah merupakan fenomena yang tereduksi. 

Ketika kemarin di Yogyakarta, saya memutuskan untuk berhenti jalan-jalan bersama rombongan di dua hari terakhir dan memutuskan untuk tinggal di hotel atau keliling seorang diri saja. Atas keputusan tersebut, saya dapat celotehan yang sudah umum dari seorang kawan, "Kalau cuma tiduran di hotel sih, mending di Bandung aja!". Teguran semacam itu sudah tidak lagi membuat kuping saya berdengung. Karena prinsip bepergian saya sudah jelas: Istirahat dan menggauli keseharian.

Ketika ditanya, bagaimana Kota Bandung itu sebenarnya? Saya agak risih jika harus menjawab, Bandung adalah sebagaimana Tangkuban Parahu, Bandung adalah sebagaimana Factory Outlet di Jalan Riau, Bandung adalah sebagaimana Brownies Amanda atau Bandung adalah sebagaimana Museum Geologi. Mungkin saya akan katakan dengan jujur bahwa itu semua bukanlah Bandung. Lantas yang mana Bandung itu? Susah menyebutkannya, tentu saja, jika bicara sebuah tempat dengan unsur-unsur yang kompleks di dalamnya. Namun Bandung dalam versi saya adalah denyut keseharian di dalamnya: Semua unsur-unsur yang tampil alamiah tanpa conditioning. Yogyakarta bukan Keraton, bukan Candi Borobudur, bukan Pemandian Tamansari, melainkan ketika saya duduk di warung burjo dan menghabiskan uang tujuh ribu rupiah untuk makan siang berbarengan dengan orang-orang yang bicara bahasa Jawa dan duduk merenung disana sambil merokok. 

Inilah jalan-jalan versi saya. Tak perlu memaksakan ke tempat-tempat wisata untuk mengenal tempatnya. Cukup tiduran saja sambil menyerap udara kotanya dalam-dalam. Ketika engkau bangun dan melihat di dompetmu ada mata uang yang berbeda dari biasanya, turunlah ke pasar-pasar dan temukan suasana yang otentik tanpa adanya reduksi kepentingan-kepentingan. Mereka bicara apa adanya, berdagang apa adanya, dan melihatmu hanya sebagai manusia biasa. Pulang-pulang kamu akan semakin kaya, bukan oleh pengalaman-pengalaman dangkal yang sifatnya histeria saja, melainkan oleh pengalaman bersentuhan dengan manusia. 

Comments

  1. Sepakat. Saya juga mulai mengabaikan celotehan "Kalau mau tidur, di Bandung aja!"

    Karena jalan-jalan punya makna berbeda bagi setiap indivdu :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1