Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Kekuatan Kepercayaan



Menjelang sidang magister tanggal 12 Maret kemarin, ada ritual yang biasa saya jalankan setiap akan menghadapi suatu hari yang krusial. Ritual ini, bukan berasal dari saya pribadi sebetulnya, tapi dari ibu saya, yaitu: minum air Yaasin. Jadi ibu, setiap habis solat subuh, akan menyimpan air di hadapan sajadahnya dan membacakan surat Yaasin. Selepas "upacara" tersebut, ibu meminta saya meminumnya dalam sekali teguk sambil mengucap basmalah.

Dalam perjalanan menuju kampus saya merenungi ritual tersebut, adakah korelasi antara "upacara irasional" itu dengan sidang saya yang jelas-jelas rasional? Ibu melakukan itu sejak saya ujian SD. Artinya, jelas ibu mendahului penelitian Masaru Emoto tahun 1999 soal struktur air yang berubah menjadi teratur kala dibacakan doa-doa. Kenyataan bahwa saya sukses melewati hari-hari penting dalam hidup semenjak kecil hingga sekarang, tidakkah terlalu arogan jika saya menyebut itu adalah atas berkat intelegensi semata-mata?

Saya lantas teringat ritus salah seorang pemain sepakbola Chelsea, Didier Drogba. Perhatikan kala ia masuk lapangan, ia kerap melompat dengan kaki kanan dua kali. Drogba tidak selalu mencetak gol, ia juga sering mengalami hari buruk. Tapi toh ritus itu selalu ia jalankan. Sama halnya ketika John Terry memutar lagu yang sama menjelang hari pertandingan, atau kiper Fabien Barthez yang selalu mendapat ciuman Laurent Blanc di kepalanya pada Piala Dunia 1998.

Ritus tidak mesti ada korelasi langsung dengan kejadian yang diharapkan. Ritus adalah semacam upaya manusia untuk mencapai keselarasan dengan kosmos. Ritus tak mampu dijawab oleh materialisme Marxian ataupun positivisme logis Lingkaran Wina. Seperti halnya di hari-hari pentingmu, ketika adrenalin mendera dan segala persiapan sudah maksimal, maka tibalah saatnya kau mengimajinasikan sesuatu di luar dunia untuk melengkapi dunia materialmu. Misalnya, baju keberuntungan, jam tangan keberuntungan, sepatu keberuntungan, menelpon kekasih atau orangtua sebelum bepergian, hingga masuk dengan kaki kanan atau kaki kiri dulu. Dunia ini sungguh dibangun oleh kepercayaan-kepercayaan non-material, seperti tesis Mircea Eliade bahwa gedung pencakar langit sekalipun yang "jelas-jelas beton", ia punya struktur bayangan tentang Tuhan itu berada di angkasa, sehingga adalah ide baik jika bangunan-bangunan dibuat menjulang mendekati Tuhan (seperti menara Babel).

Pada akhirnya, tidak ada korelasi yang betul-betul mengandung kepastian, seperti halnya Hume yang kerap skeptik terhadap hubungan sebab-akibat. Namun satu hal yang saya yakini, bahwa keyakinan dalam benak saya tentang tuah air Yaasin itulah yang jauh lebih esensial daripada si air Yaasin itu sendiri. Lebih luas lagi, bagi umat Muslim, yang terpenting jangan-jangan bukan figur Rasulullah ketika ia hadir betul-betul di hadapan kita. Tapi lebih penting lagi adalah figur beliau yang kita ciptakan dalam benak kita masing-masing.


Comments

  1. Deuuu ... yang lagi kerites ... keriting tesis ...

    Sukses, ya, Raf ... banyak denger cerita suka-duka lo dari Nunu Onyet ... hehehe ...

    ReplyDelete
  2. hahaha kerites.. iya makasih dea, kapan ketemu euy??

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1