Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2022

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Merenungkan Cyborg Manifesto

Cyborg Manifesto adalah esai karya Donna Haraway yang dirilis tahun 1985 dengan tebal sekitar delapan puluh halaman. Dalam tulisannya ini, Haraway, pemikir asal Amerika kelahiran tahun 1944, mengajak kita mempertanyakan ulang batas-batas antara konsep manusia, hewan, mesin, fisikal - non fisikal, hingga sampai pada renungan tentang persoalan identitas yang disematkan oleh pemikiran gender tradisional. Haraway melakukan itu semua lewat presentasinya mengenai cyborg sebagai fenomena pascahumanisme. Cyborg sendiri didefinisikan oleh Haraway sebagai organisme sibernetik, percangkokan antara mesin dan organisme, makhluk yang berasal dari realitas sosial sekaligus fiksi. Haraway memperhatikan dunia di sekelilingnya, bahwa pada masa itu, literatur fiksi ilmiah dipenuhi konsepsi tentang cyborg - makhluk yang sekaligus hewan dan mesin, yang membuat ambigu gagasan tentang natur dan kultur. Cyborg, lanjutnya, telah mengubah apa yang disebut dengan "pengalaman perempuan" pada akhir abad...

Perihal Kematian

Tahun 2021, saya mengalami dua kali sakit parah. Pertama, bulan Juli, saat terpapar COVID-19 edisi Delta dan kedua, bulan Oktober, saat dada saya tiba-tiba terasa sesak dan dilarikan ke rumah sakit. Awal tahun 2022, saya pindah ke Jakarta, menandai fase hidup yang baru. Namun baru saja beberapa hari beres-beres, saya mengalami masalah serius pada pencernaan hingga harus kembali menginap di rumah sakit. Kali ini sampai tiga atau empat hari (saya lupa persisnya dan malas mengingat-ingat). Sejak rentetan kejadian itu, saya mulai merenungkan tentang kematian. Meski saya kerap membicarakannya via gagasan para filsuf, tapi hal-hal demikian hanya ada dalam pikiran, hanya sebagai teori, bahwa kematian adalah begini begitu, sedangkan sejak kejadian itu, dan sesudah-sesudanya: kematian adalah sesuatu yang nyata, hal yang begitu dekat dan saya sama sekali tidak mampu mengantisipasinya. Nyaris setiap saat saya mengalkulasi: oke usiaku sekarang segini, mungkin masih ada umur sekitar dua puluh tahun...

Tentang Demotivasi III

Setelah menulis Demotivasi I (2020) dan Demotivasi II (2021), rasanya saya perlu menggenapkan (atau mengganjilkan) jumlahnya menjadi tiga dengan menulis Demotivasi III - supaya mungkin lebih bagus terdengar sebagai trilogi ketimbang dwilogi (yang mengingatkan saya pada Padang Bulan -nya Andrea Hirata). Namun itu bukan artinya bahwa Demotivasi III adalah penutup. Bisa jadi, saya menulis lagi sampai IV, V, VI, dan seterusnya. Entahlah. Menulis yang pertama saja awalnya cuma sekadar impulsif, mencari cara bertahan hidup di masa pandemi, dan ternyata penjualannya tidak buruk, sehingga saya memutuskan menulis yang kedua, sekalian mengerucutkan renungan tentang demotivasi itu sendiri. Jadi, menulis hingga jilid tiga tidak pernah saya rancang sejak awal dan begitu saja terjadi. Dengan demikian, saya juga tidak berani memprediksi apakah Demotivasi akan ditutup di edisi tiga atau masih akan ada edisi-edisi berikutnya. Untuk jilid ketiga ini, saya mencoba mengambil beberapa jalur yang berbe...

Obrolan Tiga Jam di Bandara bersama Banin Diar Sukmono

Pada hari Kamis, 28 Juli kemarin, saya bertemu dengan Banin Diar Sukmono di bandara Soekarno Hatta. Siapakah Banin ini? Dia adalah lulusan filsafat UGM dan cukup aktif mendirikan berbagai kelompok kajian filsafat di Yogyakarta seperti Ze-No Center for Logic and Metaphysics dan LSF Cogito. Meski awalnya muncul dari tradisi filsafat kontinental (memangnya siapa yang tidak dari kontinental di Indonesia?), pada perkembangannya, Banin dan teman-temannya memutuskan untuk fokus pada kajian filsafat analitik. Jujur, nuansa kelompok Banin ini agak-agak "menakutkan", tapi harus diakui, mereka ini memberikan angin segar bagi pemetaan filsafat di Indonesia yang sangat kental dengan tradisi kontinental. Tidak bisa dibantah bahwa popularitas filsafat analitik di Indonesia menjadi meningkat berkat mereka, selain juga oleh kiprah pemikiran Martin Suryajaya.  Lalu, mengapa saya menyebut mereka ini agak-agak "menakutkan"? Pada titik tertentu, bisa dipahami. Filsafat analitik berkutat...