Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Cyborg Manifesto adalah esai karya Donna Haraway yang dirilis tahun 1985 dengan tebal sekitar delapan puluh halaman. Dalam tulisannya ini, Haraway, pemikir asal Amerika kelahiran tahun 1944, mengajak kita mempertanyakan ulang batas-batas antara konsep manusia, hewan, mesin, fisikal - non fisikal, hingga sampai pada renungan tentang persoalan identitas yang disematkan oleh pemikiran gender tradisional. Haraway melakukan itu semua lewat presentasinya mengenai cyborg sebagai fenomena pascahumanisme. Cyborg sendiri didefinisikan oleh Haraway sebagai organisme sibernetik, percangkokan antara mesin dan organisme, makhluk yang berasal dari realitas sosial sekaligus fiksi. Haraway memperhatikan dunia di sekelilingnya, bahwa pada masa itu, literatur fiksi ilmiah dipenuhi konsepsi tentang cyborg - makhluk yang sekaligus hewan dan mesin, yang membuat ambigu gagasan tentang natur dan kultur. Cyborg, lanjutnya, telah mengubah apa yang disebut dengan "pengalaman perempuan" pada akhir abad