Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Etika Mexican Standoff


Jika kamu terjebak dalam situasi seperti ini, apa yang kamu lakukan?

Saya tahu istilah mexican standoff dari film-film Quentin Tarantino. Ia sering sekali, atau bisa dibilang selalu, menyelipkan adegan seperti ini di karyanya. Mexican standoff adalah posisi sama kuat yang mana kedua pihak mengalami keadaan yang sama-sama berbahaya, sama-sama terjepit, dan mesti ada kompromi yang serius agar keduanya bisa selamat. Istilah ini biasa dipakai dalam film koboi ketika dua atau lebih gunman sedang saling todong senjata. Namun situasi mexican standoff bisa kita temui dalam berbagai problem etis.

Ada dua hal yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini:
1. Mundur. Kedua-duanya tidak menembak meskipun ini butuh persetujuan dari keduanya. Biasanya ini dilakukan setelah diplomasi lewat dialog.
2. Pre-emptive strike atau menembak duluan. Ini adalah inisiatif dari masing-masingnya untuk menembak sebelum ditembak. Sesuatu yang pasti menimbulkan korban.

Sehubungan dengan dialog saya dengan kawan bernama Diecky Rabu lalu, ada kegentingan etis yang baru ketika ada yang membisikkan pada masing-masingnya seperti ini: "Pelurumu asli, sedang lawanmu palsu." Kalau itu terjadi, apa yang kamu lakukan? Saya menjawab langsung tembak, Diecky menjawab, "Kalau saya justru nggak, karena saya tahu lawan saya tak berdaya." Lantas jika dibisikkan sebaliknya? Yaitu: "Pelurumu palsu, lawanmu asli." Kami berdua setuju, bahwa tak ada gunanya berdiplomasi, menyerah dan kabur saja tunggang langgang.

Mexican standoff adalah situasi harian kita. Selalu ada kegentingan antara maju menerkam duluan untuk ambil kesempatan, atau mundur bersama-sama agar situasi aman. Keduanya punya peluang berhasil yang mirip-mirip, hanya yang menentukan adalah "bisikan" tentang apakah pelurumu dan peluru lawanmu itu asli atau palsu. Kata Mas Rudi, teman diskusi lainnya, jaman Soeharto adalah jaman dimana rakyat rajin dibisikkan sugesti bahwa pelurunya palsu sedangkan pemerintah punya peluru asli. Sedangkan kekuasaan selalu demikian, selalu punya kepercayaan bahwa rakyat memegang peluru palsu sedangkan dirinyalah yang berkemampuan membunuh.

Ini sebabnya mengapa kekuasaan selalu asyik untuk dipertahankan. Selalu asyik untuk mengingat betapa para budak tidak punya daya untuk melukai sang tiran. Demokrasi, sebagaimanapun disebut sebagai pemerintahan rakyat, tapi rakyat selalu disugestikan sebagai pemilik peluru palsu.

Namun, tanpa memperhitungkan aspek bisikan, saya akan agak gender sentris soal ini. Bahwa mexican standoff hanya bisa tanpa korban jika ada janji, kepercayaan, dan gentleman agreement. Tak bisa ada salah satu yang melanggar karena segalanya bisa kacau. Oh, saya jadi ingat hari pernikahan saya yang sebentar lagi. Saya akan duduk bersimpuh untuk saling menodongkan pistol dengan ayah calon. Kami berdua mundur teratur oleh sebuah kesepakatan antara dua pria, "Jika satu melanggar, maka moncong ini akan menyalak tanpa bisa dihindari."

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat