Skip to main content

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Mengunjungi Hidup Derrida



Sekitar awal menuju pertengahan tahun 2021, saya dikontak oleh seorang kawan, praktisi sekaligus pemikir Buddhisme, Stanley Khu, dan diminta untuk menerjemahkan buku biografi Jacques Derrida. Tentu saja saya menyambut baik tawaran ini, terutama setelah selesai menerjemahkan Logika Sensasi-nya Gilles Deleuze, yang membuat saya agak ketagihan bergelut dengan alam pemikiran filsuf Prancis. Proses penerjemahan Deleuze sangat rumit, butuh dua tahun untuk menyelesaikannya dan sangat dibantu oleh editor yang juga kurator seni rupa, Dwihandono Ahmad, yang menolong saya untuk memahami istilah-istilah dalam seni lukis (termasuk memperbaiki hasil terjemahan yang berantakan). Oh ya, Logika Sensasi kemungkinan baru akan terbit bulan Maret atau April 2022. 

Meski lebih ringan ketimbang tulisan Deleuze, buku Derrida: A Biography (2012) yang ditulis oleh Benoit Peeters tetaplah menantang. Terdiri dari sekitar 600-an halaman, buku ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu Jackie, Derrida dan Jacques Derrida. Untungnya, Stanley tidak meminta saya untuk menerjemahkan semuanya sekaligus, melainkan bagian per bagian untuk diterbitkan secara terpisah. Proses penerjemahan ini sangat lambat (seperti Deleuze yang memerlukan dua tahun) karena saya beberapa kali terdistraksi pekerjaan lain. Selain itu, saya juga menikmati proses menggeluti teksnya (membacanya perlahan) dan menemukan beberapa hal memikat dari membaca buku biografi tersebut: 

Pertama, Derrida sendiri mengungkapkan pentingnya biografi dalam memahami gagasan para filsuf. Para filsuf selama ini digambarkan seolah-olah ia hidup, berpikir, lalu mati. Apa yang terjadi dengan kesehariannya atau bahkan, kehidupan seksualnya? Tidakkah seolah-olah kita kerap mendapati gambaran bahwa filsuf adalah semacam makhluk aseksual? Derrida bahkan beranggapan bahwa latar belakang hidup seorang filsuf merupakan satu kesatuan dengan filsafatnya - seperti halnya pemikiran politik Derrida yang berangkat dari pandangannya mengenai negara tempatnya lahir, Aljazair dan bagaimana perasaannya, sebagai orang Aljazair, saat hidup di tengah-tengah peradaban Prancis Metropolitan. 

Kedua, berdasarkan cerita-ceritanya, agak sukar membayangkan hidup Derrida, di tengah sejumlah peperangan, seperti Perang Dunia II dan Perang Aljazair, untuk tetap fokus menggeluti filsafat. Setidaknya dari sudut pandang saya sekarang, yang hidup di waktu dan tempat yang relatif nyaman (tanpa peperangan fisik yang terbuka), terdengar aneh: pergi ke Amerika untuk mengejar cita-cita, tetapi sekaligus didesak untuk segera pulang ke Prancis, karena harus menjalani wajib militer untuk ditugaskan di garda depan perang Aljazair! Untungnya (meski agak aneh jika ini disebut keberuntungan), atas bantuan ayahnya, Derrida tetap menjalani wajib militer, tetapi "hanya" untuk ditempatkan sebagai guru bagi anak-anak tentara di wilayah Koléa, Aljazair. Sekali lagi, pikiran saya tidak sampai: bagaimana mungkin seseorang bisa menjalani kehidupan militeristik dan akademis sekaligus? Namun demikianlah yang terjadi di masa itu, yang membuat saya merasa kehidupan saat ini terlalu ringan dan membuat saya begitu lembek. 

Ketiga, Derrida adalah orang yang sangat pandai menyimpan dokumentasi. Foto-foto, surat-surat, semuanya disimpan dengan rapi, sehingga sangat memudahkan Peeters, sang biografer, untuk menelusuri kisah hidupnya. Kesadaran pendokumentasian ini mengingatkan saya pada Pak Awal Uzhara, yang tidak hanya menyimpan seluruh dokumen penting terkait dirinya, tetapi juga menyimpannya dengan sangat baik sehingga potongan koran yang berasal dari tahun 1950-an masih terlihat seperti baru! Bagi masa-masa kehidupan Pak Awal, dan juga Derrida, menyimpan dokumentasi tentu hal yang sangat menantang, terutama karena waktu itu belum dikenal teknologi penyimpanan dokumentasi digital sehingga pasti memerlukan ruang yang tidak sedikit. Masalahnya, pertama, tidak semua orang sadar betapa pentingnya menyimpan hal-hal "remeh" (kebanyakan lebih menganggap penting untuk menyimpan hal-hal "besar") dan yang kedua, mungkin pertanyaan ini akan selalu mengusik, termasuk bagi saya, memang apa pentingnya, menyimpan dokumentasi, hanya untuk dikenang suatu hari nanti sambil tersenyum-senyum? Justru itulah, ternyata, yang membuat hidup sepertinya menjadi lebih berharga: mengerjakan hal-hal yang entah untuk apa pentingnya. 

Keempat, saya harus jujur mengakui, bahwa sukar sekali untuk tidak terpesona dengan kebudayaan Barat, saat membaca cerita-cerita Derrida: kehidupannya di École normale supérieure, pertemuannya dengan raksasa filsafat Barat seperti Foucault, Althusser dan Bourdieu, serta pergumulannya dengan tradisi terdahulu seperti saat mendalami teks-teks Husserl atau Heidegger. Kita bisa mengatakan bahwa keterpesonaan kita pada Barat adalah sebentuk konstruksi, semacam wacana yang dibuat-buat dengan modus kolonialisasi terselubung, tetapi bisa jadi tidak sesederhana itu! Mungkin memang ada disiplin tertentu, semacam kemampuan membangun pengetahuan yang kokoh dan menyeluruh, sehingga dengan demikian, sukar sekali untuk memungkiri bahwa Barat memang layak untuk menjadi lebih superior (dalam hal sistem pengetahuan). Mungkin di antara kita akan dengan terang-terangan mendebat pendapat ini, terutama yang meyakini bahwa Timur juga sama hebat, dan bahkan lebih hebat. Ini bukan perkara mana yang lebih hebat, tetapi dalam hal sistematisasi, terutama kaitannya dengan sistem penulisan, Barat lebih rapi, dan membuat kita lebih mudah untuk terkagum-kagum. Timur tentu tersistematisasi juga, tetapi mungkin dalam hal lisan, dan tertanam dalam tubuh. Kita akan lebih menemukannya dalam laku dan tindakan, ketimbang artefak-artefak yang bisa diinderai. Timur mempesona, tetapi mungkin "terlalu personal" dan "ke dalam". 

Saya tidak bisa berkomentar lebih banyak lagi karena terjemahannya itu sendiri belum selesai. Mungkin bulan Mei / Juni 2022 kita baru mulai bisa menikmati bagian pertama dari biografi ini yaitu Jackie.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1