Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2022

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Semua Orang Adalah Filsuf (?)

Di komunitas tempat saya berkumpul dulu, Madrasah Falsafah, kami memiliki semboyan “semua orang adalah filsuf”. Semboyan tersebut menunjukkan bahwa di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir tidak perlu spesifik orang yang terlebih dahulu menggeluti filsafat sehingga dapat disebut sebagai “filsuf”. Justru, di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir sudah “dengan sendirinya” menjadi “filsuf” – meskipun katakanlah, orang yang awam di bidang filsafat. Bagaimana hal tersebut bisa diklaim? Madrasah Falsafah menekankan pentingnya peran moderator untuk menggali pendapat setiap peserta dan menariknya ke arah refleksi filosofis. Artinya, pendapat apapun dari peserta akan menjadi filosofis, jika moderator mampu membuatnya menjadi filosofis. Memang tidak serta merta semboyan “semua orang adalah filsuf” menjadi jitu, karena yang lebih benar adalah “semua orang adalah filsuf, saat moderator mampu membuat pendapat setiap orang menjadi filosofis.”  Namun tulisan ini bukan hendak membahas aktivitas Madrasah

Tentang Hewan

Saya tidak pernah merasa diri seorang penyayang binatang, karena apa yang saya suka hanya satu jenis binatang yaitu kucing. Dari kecil, saya selalu suka kucing dan hanya karena dalam dua tahun belakangan ini saya memutuskan tinggal di apartemen, kucing-kucing tersebut akhirnya ditinggal di rumah orangtua. Saya merasa sebutan "penyayang binatang" itu terlalu berat karena artinya saya tidak hanya harus suka kucing, tapi juga anjing, burung, kecoa, cicak, semut, dan lainnya. Harus diakui, saya memang "penyayang binatang tertentu yang saya anggap lucu dan membuat saya terhibur". Sejak tahun 2019, saya dan istri (dulu masih pacar) memelihara kucing bernama Eman yang diberikan oleh seorang teman namanya Gloria. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana lengkapnya kami memelihara Eman tapi pada saat saya menulis tulisan ini, atau saat usia Eman hampir empat tahun, dia tengah dalam kondisi sakit serius. Sudah kami bawa ke dokter, Eman dinyatakan mengidap virus yang sukar sembuh,

Tentang Viral

Sejak kembali main Twitter awal tahun 2021, saya mengalami beberapa kali pengalaman di-viral-kan. Ada yang dianggap baik, ada yang dianggap blunder, sehingga banjir hujatan. Anehnya, apa yang viral ini benar-benar tidak bisa diprediksi. Kadang saya menyiapkan tweet sekeren mungkin, eh reaksinya biasa saja. Di sisi lain, tweet "seadanya" justru bisa menjadi liar dan menyebar luas. Fenomena viral secara sederhana dapat diartikan sebagai fenomena menyebarnya sebuah konten secara organik. Istilah "viral" ini diambil dari "virus" sehingga seperti halnya virus, penyebaran konten secara viral tidak dapat sepenuhnya dikendalikan dan sifat penularannya yang relatif cepat. Mungkin fenomena konten media sosial yang viral awal-awal bisa kita lacak dari video Gangnam Style tahun 2012 yang ditonton hingga sembilan juta orang per hari hanya dalam waktu dua bulan setelah rilisnya. Jika diperhatikan, tidak ada hal yang benar-benar istimewa dari video orang berjoget selama

Kepungan Antroposentrisme

Masa Renaisans sering ditandai sebagai perubahan cara pandang dari teosentrisme menjadi antroposentrisme. Singkatnya, teosentrisme adalah aliran pemikiran yang menjadikan Tuhan sebagai pusat, sementara antroposentrisme menjadikan manusia sebagai pusat. Pertanyaannya, mungkinkah teosentrisme juga adalah sebentuk antroposentrisme? Karena bukannya Tuhan yang sebenarnya menjadi pusat, tetapi tafsir manusia itu sendiri yang mengatasnamakan Tuhan. "Teosentrisme" Abad Pertengahan, misalnya, dua di antaranya, menghasilkan perang besar atas nama agama dan praktik inkuisisi yang sukar dipercaya bahwa keduanya dilakukan murni "atas kehendak Tuhan". Periode Pasca Abad Pertengahan, dari mulai Renaisans hingga Pencerahan, pelan-pelan kian menganggap bahwa segala-galanya bisa dijelaskan lewat metode ilmu pengetahuan yang mengantarkan pada kepastian. Tuhan mungkin ada, tetapi tidak digunakan untuk menjelaskan segala fenomena. Bahkan bagi para saintis di zaman itu, Tuhan lebih sepe