Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2022

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Semua Orang Adalah Filsuf (?)

Di komunitas tempat saya berkumpul dulu, Madrasah Falsafah, kami memiliki semboyan “semua orang adalah filsuf”. Semboyan tersebut menunjukkan bahwa di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir tidak perlu spesifik orang yang terlebih dahulu menggeluti filsafat sehingga dapat disebut sebagai “filsuf”. Justru, di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir sudah “dengan sendirinya” menjadi “filsuf” – meskipun katakanlah, orang yang awam di bidang filsafat. Bagaimana hal tersebut bisa diklaim? Madrasah Falsafah menekankan pentingnya peran moderator untuk menggali pendapat setiap peserta dan menariknya ke arah refleksi filosofis. Artinya, pendapat apapun dari peserta akan menjadi filosofis, jika moderator mampu membuatnya menjadi filosofis. Memang tidak serta merta semboyan “semua orang adalah filsuf” menjadi jitu, karena yang lebih benar adalah “semua orang adalah filsuf, saat moderator mampu membuat pendapat setiap orang menjadi filosofis.”  Namun tulisan ini bukan hendak membahas aktivitas Madrasah

Tentang Hewan

Saya tidak pernah merasa diri seorang penyayang binatang, karena apa yang saya suka hanya satu jenis binatang yaitu kucing. Dari kecil, saya selalu suka kucing dan hanya karena dalam dua tahun belakangan ini saya memutuskan tinggal di apartemen, kucing-kucing tersebut akhirnya ditinggal di rumah orangtua. Saya merasa sebutan "penyayang binatang" itu terlalu berat karena artinya saya tidak hanya harus suka kucing, tapi juga anjing, burung, kecoa, cicak, semut, dan lainnya. Harus diakui, saya memang "penyayang binatang tertentu yang saya anggap lucu dan membuat saya terhibur". Sejak tahun 2019, saya dan istri (dulu masih pacar) memelihara kucing bernama Eman yang diberikan oleh seorang teman namanya Gloria. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana lengkapnya kami memelihara Eman tapi pada saat saya menulis tulisan ini, atau saat usia Eman hampir empat tahun, dia tengah dalam kondisi sakit serius. Sudah kami bawa ke dokter, Eman dinyatakan mengidap virus yang sukar sembuh,

Tentang Viral

Sejak kembali main Twitter awal tahun 2021, saya mengalami beberapa kali pengalaman di-viral-kan. Ada yang dianggap baik, ada yang dianggap blunder, sehingga banjir hujatan. Anehnya, apa yang viral ini benar-benar tidak bisa diprediksi. Kadang saya menyiapkan tweet sekeren mungkin, eh reaksinya biasa saja. Di sisi lain, tweet "seadanya" justru bisa menjadi liar dan menyebar luas. Fenomena viral secara sederhana dapat diartikan sebagai fenomena menyebarnya sebuah konten secara organik. Istilah "viral" ini diambil dari "virus" sehingga seperti halnya virus, penyebaran konten secara viral tidak dapat sepenuhnya dikendalikan dan sifat penularannya yang relatif cepat. Mungkin fenomena konten media sosial yang viral awal-awal bisa kita lacak dari video Gangnam Style tahun 2012 yang ditonton hingga sembilan juta orang per hari hanya dalam waktu dua bulan setelah rilisnya. Jika diperhatikan, tidak ada hal yang benar-benar istimewa dari video orang berjoget selama

Kepungan Antroposentrisme

Masa Renaisans sering ditandai sebagai perubahan cara pandang dari teosentrisme menjadi antroposentrisme. Singkatnya, teosentrisme adalah aliran pemikiran yang menjadikan Tuhan sebagai pusat, sementara antroposentrisme menjadikan manusia sebagai pusat. Pertanyaannya, mungkinkah teosentrisme juga adalah sebentuk antroposentrisme? Karena bukannya Tuhan yang sebenarnya menjadi pusat, tetapi tafsir manusia itu sendiri yang mengatasnamakan Tuhan. "Teosentrisme" Abad Pertengahan, misalnya, dua di antaranya, menghasilkan perang besar atas nama agama dan praktik inkuisisi yang sukar dipercaya bahwa keduanya dilakukan murni "atas kehendak Tuhan". Periode Pasca Abad Pertengahan, dari mulai Renaisans hingga Pencerahan, pelan-pelan kian menganggap bahwa segala-galanya bisa dijelaskan lewat metode ilmu pengetahuan yang mengantarkan pada kepastian. Tuhan mungkin ada, tetapi tidak digunakan untuk menjelaskan segala fenomena. Bahkan bagi para saintis di zaman itu, Tuhan lebih sepe