Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
Di komunitas tempat saya berkumpul dulu, Madrasah Falsafah, kami memiliki semboyan “semua orang adalah filsuf”. Semboyan tersebut menunjukkan bahwa di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir tidak perlu spesifik orang yang terlebih dahulu menggeluti filsafat sehingga dapat disebut sebagai “filsuf”. Justru, di Madrasah Falsafah, mereka yang hadir sudah “dengan sendirinya” menjadi “filsuf” – meskipun katakanlah, orang yang awam di bidang filsafat. Bagaimana hal tersebut bisa diklaim? Madrasah Falsafah menekankan pentingnya peran moderator untuk menggali pendapat setiap peserta dan menariknya ke arah refleksi filosofis. Artinya, pendapat apapun dari peserta akan menjadi filosofis, jika moderator mampu membuatnya menjadi filosofis. Memang tidak serta merta semboyan “semua orang adalah filsuf” menjadi jitu, karena yang lebih benar adalah “semua orang adalah filsuf, saat moderator mampu membuat pendapat setiap orang menjadi filosofis.” Namun tulisan ini bukan hendak membahas aktivitas Madrasah