Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Bagaimana menerjemahkan " mindfulness "? Saya tidak menemukan persisnya. "Perhatian" adalah kata yang muncul jika kita memasukannya di Google Translate, tapi saya yakin kata tersebut tidak memadai, meski perhatian menjadi salah satu unsur penting di dalam konsep mindfulness . Akhirnya, setelah membaca buku berjudul Mindfulness for Dummies (2010), sepertinya terjemahan 'pemusatan pikiran' lumayan cocok, meski sebelumnya sempat terpikir 'kepenuhan pikiran'. Namun soal translasi ini mungkin tidak perlu menjadi soal, karena lebih penting kita masuki gagasan pokok dari mindfulness itu sendiri (eh, saya ternyata lebih nyaman untuk tidak menerjemahkannya). Oh ya, di sini, selain berusaha menjabarkan secara sekilas (sangat sekilas) tentang apa itu mindfulness , yang akan saya lakukan justru berusaha mengritiknya. Dalam buku Mindfulness for Dummies tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang membentuk gagasan tersebut yaitu kesadaran ( awareness ), perh