Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2022

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Tentang Mindfulness

Bagaimana menerjemahkan " mindfulness "? Saya tidak menemukan persisnya. "Perhatian" adalah kata yang muncul jika kita memasukannya di Google Translate, tapi saya yakin kata tersebut tidak memadai, meski perhatian menjadi salah satu unsur penting di dalam konsep mindfulness . Akhirnya, setelah membaca buku berjudul Mindfulness for Dummies (2010), sepertinya terjemahan 'pemusatan pikiran' lumayan cocok, meski sebelumnya sempat terpikir 'kepenuhan pikiran'. Namun soal translasi ini mungkin tidak perlu menjadi soal, karena lebih penting kita masuki gagasan pokok dari mindfulness itu sendiri (eh, saya ternyata lebih nyaman untuk tidak menerjemahkannya). Oh ya, di sini, selain berusaha menjabarkan secara sekilas (sangat sekilas) tentang apa itu mindfulness , yang akan saya lakukan justru berusaha mengritiknya.  Dalam buku Mindfulness for Dummies tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang membentuk gagasan tersebut yaitu kesadaran ( awareness ), perh

Mendaki Bukit Usia dan Tulisan Pak Tuba yang Musikal

Jika kita mengetik kata kunci "Tuba bin Abdurahim" di Google, informasi mengenai nama tersebut sudah cukup ramai, sehingga kiranya tidak perlu lagi di dalam tulisan ini, untuk menceritakan kembali siapa gerangan Pak Tuba. Saya akan lebih menuliskan tentang kesan-kesan saat membaca tulisannya yang bagi saya, jenaka oleh entah apa. Tentu saya punya perbandingan, setidaknya berdasarkan biografi yang saya pernah tuliskan yaitu tentang Pak Awal dalam buku berjudul Nasib Manusia: Kisah Awal Uzhara , Eksil di Rusia (Ultimus, 2021) yang diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan buku Mendaki Bukit Usia (2022) yang merupakan memoar Pak Tuba ini. Keduanya menceritakan sosok pria yang sama-sama menjadi korban tragedi 1965. Bedanya, Pak Awal tidak bisa pulang selama hampir enam puluh tahun di Uni Soviet, sementara Pak Tuba dijadikan tahanan di Pulau Buru. Bedanya lagi, Pak Awal dapat dikatakan berkuliah hingga hampir S3 di Moskow - seorang yang katakanlah, terdidik secara formal -, semen

Trocoh dan Semesta Pengalaman yang Selalu Irelevan, tapi Pasti

Meski menerimanya di waktu hampir berjauhan, kebetulan saya membaca dua buku ini di waktu nyaris bersamaan: Seni sebagai Pembebasan -nya Syakieb Sungkar dan Trocoh -nya Budi Warsito. Walaupun sama-sama menyinggung soal seni, keduanya melakukan pendekatan yang sangat berbeda. Di sini justru saya menemukan jukstaposisi yang menarik: Apa yang dibahas oleh Pak Syakieb, yang berkenaan dengan estetika Theodor Adorno, justru dengan "jenaka", secara tidak langsung, dibatalkan oleh tulisan Mas Budi. Gagasan Adorno, sebagaimana dibahas oleh Pak Syakieb dan saya ulas di tulisan sebelum ini , secara umum menolak musik pop karena sifat fabrikasinya yang mengarah pada pembentukan masyarakat yang homogen - sebagaimana dicita-citakan oleh fasisme. Trocoh -nya Mas Budi justru hendak menunjukkan: musik pop tidak sefabrikatif itu. Sebaliknya, kesadaran-kesadaran kritis justru bisa muncul melalui budaya populer, sebagaimana diperlihatkan oleh Mas Budi, misalnya, dalam tulisan mengenai Senam Kese

Seni Sebagai Pembebasan: Menegasi Usaha Adorno dalam Menegasi

Kelihatannya memang belum ada buku yang membahas gagasan Theodor Adorno tentang seni dalam bahasa Indonesia, sampai akhirnya saya membaca karya berjudul Seni sebagai Pembebasan: Sebuah Telaah tentang Estetika Adorno (Circa, 2022) yang ditulis oleh Syakieb Sungkar ini. Tulisannya lugas dan mengalir (seperti yang disebutkan dalam kata pengantar yang ditulis oleh Simon Lili Tjahjadi), sehingga tidak perlu waktu panjang untuk menamatkan karya dengan tebal 200-an halaman tersebut. Meski demikian, perlu diakui bahwa untuk memahami tulisan Pak Syakieb ini, perlu sejumlah pengertian terkait gagasan dan istilah dari para pemikir sebelumnya, termasuk secara umum berkenaan dengan "gaya berpikir filsafat" itu sendiri. Misalnya, Pak Syakieb tidak banyak menerangkan gagasan Marx (padahal gagasan Adorno banyak dibangun oleh pemikiran Marx, termasuk soal alienasi, fetisisme komoditas dan kritiknya atas dialektika Roh Hegelian), sehingga pembaca diasumsikan sudah paham sejumlah kata kunci da