Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2022

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Kiat Membaca Teks Filsafat untuk Keadaan Darurat

Sebagai orang yang pengetahuan filsafatnya banyak didapat dari diskusi ke diskusi di alam liar, saya baru intens menggeluti teks primer sejak belajar S3 di STF Driyarkara atau mulai dari dua tahun silam. Khususnya bagi mereka yang mengambil program doktor, bahkan jika yang digelutinya adalah teks primer dalam bahasa Jerman, misalnya, mereka harus benar-benar bisa berbahasa Jerman! Artinya, kami dilarang menggeluti teks primer terjemahan dalam bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Dengan demikian, otomatis teks sekunder atau komentar tidak diperkenankan menjadi rujukan utama. Namun ketentuan demikian hanya diberlakukan bagi riset akhir atau disertasi. Memahami teks filsafat untuk "kebutuhan sehari-hari", bagi saya, tidak perlu seketat itu. Apalagi jika mesti berhadapan dengan kepadatan jadwal menulis dan mengajar yang membutuhkan tidak hanya kedalaman, melainkan juga kecepatan. Bagaimana dua hal tersebut bisa didamaikan?  Tentu saja saya tidak mendaku bahwa saya punya keda

Tentang Citayam Fashion Week

Belakangan ini kita sedang dihebohkan oleh fenomena Citayam Fashion Week. Tentang apa itu Citayam Fashion Week tentu tidak perlu dijelaskan kembali karena informasinya sudah berlimpah. Hal lebih menarik bagi saya justru respons-respons terhadapnya yang cukup terbelah: ada yang mendukung, melihatnya sebagai ekspresi biasa dari generasi muda; ada yang mengecam, menganggapnya sebagai hedonisme belaka di tengah negara yang tidak baik-baik saja; ada yang berteori dari sudut pandang perjuangan kelas atau ruang ketiga; ada yang menolak meneorikan, menganggapnya sebagai fenomena organik belaka; dan tentu saja, ada yang mengendarai ombak, entah itu via diskusi (termasuk yang pasti akan saya lakukan) atau bahkan yang terjun langsung ke lokasi mulai dari para pejabat, pembuat konten, hingga model profesional.  Citayam Fashion Week mungkin fenomena lumayan kekinian, tetapi dalam konteks geliat kehidupan urban, fenomena semacam ini sudah sering terjadi. Di Bandung misalnya, fenomena perkembangan mu

Tentang Penghinaan

Maraknya isu tentang penghinaan dalam beberapa minggu terakhir, misalnya soal rendang babi yang dianggap penghinaan terhadap orang Minang serta kasus promosi Holywings yang dianggap penghinaan terhadap umat Muslim (karena menyebut nama "Muhammad" dalam materi promo) membuat saya, dipicu oleh tweet Banin Diar Sukmono, seorang kawan, terpaksa membuka-buka literatur tentang penghinaan: apa itu penghinaan? Bagaimana sesuatu dapat disebut penghinaan?  Lewat penelusuran literatur, akhirnya saya menemukan buku yang ditulis oleh Thomas Conley yang berjudul Toward a Rhetoric of Insult (2010). Meski di dalamnya tesis-tesis Conley kurang lengkap bagi saya, tetapi setidaknya ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan inspirasi. Pertama, apa yang disebut Conley sebagai " scenario ", yang saya perluas menjadi pengondisian atau penyituasian. Penghinaan kecil kemungkinan terjadi dalam kondisi yang telah disepakati, misalnya: "penghinaan" antar teman atau "penghi

Hal-Hal yang Dirindukan dari Rilisan Fisik

Kemunculan rilisan musik dalam bentuk digital yang kian marak dalam dekade terakhir ini tidak hanya pelan-pelan menggantikan popularitas rilisan fisik, tapi juga menggantikan cara-cara kita dalam menyimpan dan mendengarkan musik. Memang rilisan digital, dalam banyak hal, memiliki keunggulan seperti misalnya praktis, tidak banyak menyita ruang (bandingkan dengan mereka yang mengoleksi banyak kaset atau CD yang bisa jadi memerlukan rak khusus) dan secara umum lebih ekonomis. Jika kita membeli paket Spotify Premium misalnya, kita sudah dapat mendengarkan ribuan lagu. Bandingkan dengan masa-masa kita harus membeli rilisan fisik, yang untuk mendengarkan satu album, kita harus membeli album kaset atau CD di toko musik, yang satunya hanya berisi sekitar delapan hingga dua belas lagu-an.  Sebagian generasi yang lahir tahun 2000-an bisa jadi tidak terlalu mempunyai pengalaman intens dengan yang namanya kaset atau CD, apalagi piringan hitam. Bahkan bagi generasi Z tertentu, rupa dari benda-benda