Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya . Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya . Tetapi
Pada hari Jumat, 16 Februari itu, saya diminta oleh Kang Djaelani untuk mengisi forum bernama Jurasik atau Jumat Apresiasi Musik. Acara yang katanya diadakan setiap bulan di minggu ketiga tersebut diadakan di Jendela Ide, Sasana Budaya Ganesha. Secara umum, Jurasik merupakan forum yang menampilkan berbagai musisi atau kelompok musik untuk kemudian diapresiasi sekaligus ditanggapi.
Pada Jurasik kemarin itu, yang tampil adalah musisi yang lebih dikenal sebagai gitaris jazz, Tesla Manaf. Acara dimulai cukup ngaret karena seperti biasa, menunggu lebih banyak audiens untuk hadir. Setelah acara dibuka oleh Kang Djaelani selaku inisiator dan juga salah satu penanggap, Tesla langsung tampil memainkan bebunyian, berduet dengan pemain drum Rio Abror.
Iya, Tesla tidak bermain gitar. Ia memainkan seperangkat alat yang menghasilkan bunyi-bunyi yang jauh dari kenyamanan.
Kita bisa katakan, Tesla tengah memainkan sesuatu yang di luar kebiasaannya. Dari seperangkat alat yang diletakkan di atas meja tersebut, Tesla mengotak-atiknya seperti seorang Disc Jockey. Namun bukan musik diskotek yang muncul, melainkan ragam bunyi raungan, tangisan, jeritan, dentuman, erangan, desahan, dan macam-macam lainnya. Suara-suara tersebut kemudian ditingkahi oleh permainan drum Rio Abror yang begitu responsif terhadap berbagai kejutan yang muncul.
Dari pengakuannya sendiri, kita tahu, memang dia sedang memasuki tahap ekplorasi terhadap bebunyian. “Di kepala saya ini penuh dengan suara, dan gitar tidak cukup untuk menyalurkannya. Maka itu saya berusaha mengumpulkan alat-alat ini, demi menghasilkan bunyi yang lebih sesuai keinginan,” ucapnya.
Tesla, yang saya pribadi kenal dari sekitar dua belas tahun silam, memang tidak pernah merasa nyaman dengan keadaan. Memulai karir sebagai gitaris klasik, Tesla kemudian merambah musik jazz. Namun jazz yang ia presentasikan bukan jazz yang standar, umum, dan bertendensi menghibur (catatan: sebagai barometer, sependek pengetahuan saya, Tesla tidak pernah menerima tawaran main di kawinan atau kafe). Jazz yang ia hadirkan acapkali mengacu pada sikap Methenian yang amat luas, eksploratif, dan tidak tabu dengan persilangan berbagai kemungkinan.
Itu sebabnya, ketika ia tiba-tiba meletakkan gitarnya dan bermain dengan alat-alat yang “aneh”, saya pribadi tidak kaget. Itu memang sudah sikapnya dari dulu, untuk “konsisten di inkonsistensi”. Tentu saja inkonsistensi di sini tidak bersifat peyoratif. Inkonsistensi Tesla adalah terkait dengan medium dan eksplorasi yang berupaya jujur dengan perkembangan jiwa maupun pendengarannya. Sikap semacam ini bisa dituding “tidak jelas” pada mereka yang hanya mampu bersikap sinis. Tapi diam-diam di kedalaman batinnya, ada sebersit rasa iri pada setiap seniman yang teguh pada idealismenya.
Comments
Post a Comment