Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Kala Tuhan Memvisualisasikan Dirinya

Visualisasi Kalamullah adalah buku, namun bukan buku yang dipasarkan secara bebas di toko-toko buku - setidaknya belum -. Penulisnya, kawan saya, Arden Swandjaja, adalah orang yang nampak kurang percaya diri untuk mempublikasikan karya-karyanya (berbeda dengan saya, yang berbasiskan kepercayaan diri, meski tulisan ala kadarnya). Ini bukan pertama kalinya saya membaca buku Arden. Sebelumnya, buku berjudul Buka Tutup Botol, adalah buku yang karakteristiknya sama: Dibaca oleh kalangan terbatas saja.



Apa sebenarnya yang ditulis oleh Arden? Topik yang dipilih Arden, memang, jika disebarluaskan, besar kemungkinan publik kita, yang ingin serba praktis dan langsung mencari apa manfaatnya, akan kesulitan mencerna. Arden dapat dikatakan menulis tema-tema sufistik. Tapi, bukankah tema-tema sufistik disukai oleh pembaca kita? Ya, jika sufisme terbatas pada puisi cinta, atau "spiritualitas awam", tentu banyak penggemarnya - meski kemudian hanya dibaca dan tidak diselami, tidak merasa harus mencapainya secara makrifat -. Inilah yang menjadi perbedaan pada Arden, yang membuat saya memahami kekhawatirannya: Arden mungkin sudah "sampai" pada apa yang dinamakan kemakrifatan itu. Pada ketinggian pemahamannya itu, ia gelisah ingin membagikan renungannya, tapi takut sekali orang gagal paham tentang apa yang ia pikirkan dan rasakan. 

Padahal, sejarah mencatat bagaimana ketinggian spiritual seseorang, selalu membuatnya gagal dipahami oleh banyak orang, dan bahkan dituduh sesat. Al Hallaj misalnya, sufi dari abad ke-9, pada akhirnya dihukum mati, salah duanya karena ungkapan "Ana Al Haqq" (aku adalah kebenaran) dan menempatkan iblis sebagai tauhid sejati, sejajar dengan Muhammad, karena menolak untuk bersujud pada selain Allah. Pada abad ke-12, Ibn Tufail menulis karya fiksi berjudul Hayy Ibn Yaqzhan atau dalam bahasa Latin disebut juga sebagai Philosophus Autodidactus. Dalam novel itu, dikisahkan seorang anak bernama Hayy yang tumbuh sendirian di pulau terpencil. Ia belajar dari alam sekitar dan akhirnya memahami Tuhan serta menemukan spiritualitasnya sendiri. Singkat cerita, renungan Hayy tersebut sampai ke pulau lain yang berpenghuni. Hayy menjelaskan spiritualitasnya di hadapan khalayak, tapi tiada satupun yang mengerti. Satu per satu pulang dari forum dan menganggap Hayy sebagai "orang aneh". 

Cerita tentang Al-Hallaj dan Hayy Ibn Yaqzhan itu adalah representasi ekstrim dari kegelisahan Arden. Ia tahu ia ada dalam sebuah posisi tertentu dalam spiritualitas, dan ia berusaha sebisa mungkin menyampaikannya dalam bentuk buku, agar orang lain juga dapat turut memahami apa yang dipikirkannya. Iya, sekali lagi, ia khawatir bukunya sukar dipahami, dan maka itu meminta beberapa orang dulu untuk membacanya, memberi masukan, dan mungkin suatu saat ia akan berani untuk mempublikasikan buku ini secara luas.

Visualisasi Kalamullah adalah tafsir Arden tentang ayat-ayat dalam Al-Qur'an, yang menurutnya punya simbolisasi tertentu. Al-Qur'an, bagi Arden, bukanlah "book of science" atau buku berisi penjelasan ilmiah, tapi lebih pada "book of sign" atau buku berisi kumpulan tanda. Arden melihat bahwa ekspresi tertentu dalam ayat-ayat Allah ini, seringkali terasosiasikan dalam gambar, yang menurutnya merupakan hasil leburan antara pengalaman subjektifnya sebagai pegiat di bidang rupa, dan renungannya tentang universalitas bahasa Al-Qur'an.

Arden juga, dalam buku ini, melengkapi penafsirannya melalui pembacaan lintas teks seperti fisika Newtonian, Tao Te Ching, hingga Masaru Emoto dan Eckhart Tolle. Buku ini juga, tentu saja, berisi gambar-gambar, dari mulai yang sederhana hingga yang kompleks. Misalnya, ayat yang potongannya berbunyi, ".. maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam..", oleh Arden, ungkapan "empat puluh" tidak dibaca dalam konteks bilangan, melainkan bahasa rupa, yaitu empat bulatan. Empat bulatan ini ditafsirkan sebagai empat kekosongan, yang dalam budaya Sunda disebut "papat kalima pancer". Arden memahaminya dengan sangat menarik: "Ketika empat persepsi dikosongkan, barulah akan muncul 'kesadaran kelima', yaitu 'kesadaran akan Yang Ilahi' itu." 

Buku ini memang agak rentan dengan tuduhan "cocoklogi" dan "over-analysis". Pembaca yang menuduh demikian, kemungkinan adalah pembaca yang sama dengan yang juga menuduh Zakir Naik, Agus Mustofa, hingga Deepak Chopra. Memang, pembahasan antara kitab suci yang dikaitkan dengan keilmiahan, masih dianggap alergi oleh pihak tertentu, yang secara fanatik memandang kedua hal tersebut harus dipisahkan dalam kerangka berpikirnya masing-masing. Kita boleh setuju, boleh juga tidak. Saya pribadi menganggap bahwa pada mulanya, sains, agama, seni, dan filsafat, tidak ada bedanya sama sekali dan keseluruhannya bergerak dalam satu kesadaran - sampai dunia modern memisahkannya secara ketat dan malah membuat keempatnya sering berkelahi satu sama lain -. Sehingga bagi saya, apa yang dipikirkan oleh Arden, tentu sah-sah saja, dan bahkan sangat menarik: kian menunjukkan kekayaan Al-Qur'an, yang justru menarik dibahas dari berbagai perspektif. 

Namun kembali ke premis awal mengapa tulisan Arden adalah juga tulisan yang bersifat sufistik. Ada hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Arden, dalam buku ini, juga mengajukan permohonan maaf bahwa apa yang ia tulis bukan berdasarkan pada pemahaman agamanya (yang ia sebut sendiri sebagai dangkal). Tulisannya ini adalah bentuk kecintaannya pada Allah dan ayat-ayatnya. Apa yang mendasari Arden lebih dari sekadar keilmuan, melainkan sebentuk kerinduan yang sangat besar, yang mewujud menjadi sebuah tulisan yang bersahaja dan terbuka terhadap berbagai pendapat, termasuk ketidaksetujuan (terlihat dari bagaimana Arden membuat 10 halaman kosong di bab 5 untuk menampung berbagai makna yang mungkin). Di sinilah sufisirme Arden terasa, yaitu nuansa cinta, rindu, dan sekaligus kekaguman yang luar biasa terhadap kalam Tuhan, yang baginya, merupakan wajah yang dualistik: antara transenden dan imanen, antara dapat dibaca secara literal dan alegoris, dan antara tidak tervisualkan dan tervisualkan. 

Akhirul kata, Visualisasi Kalamullah ini kelihatannya tidak masalah untuk dikonsumsi lebih luas. Hanya saja, di tengah kepungan informasi yang serba cepat seperti sekarang ini, diperlukan kemasan yang lebih akrab dengan pembaca awam. Soal kemasan, tentu saja, Arden, sebagai pegiat visual, seharusnya lebih paham. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1