Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tentang Buruh Digital


Pembahasan ini sebenarnya adalah tema disertasi yang tengah saya garap, yang entah kenapa begitu sulit untuk dikerjakan secara intens, kemungkinan karena terlalu banyak distraksi pekerjaan lain (padahal memang alasannya cuma itu, plus malas). Awalnya saya mengajukan topik tentang demotivasi, tetapi terang-terangan ditolak oleh almarhum Romo Herry. Akhirnya saya memutuskan untuk mengkaji gagasan Christian Fuchs dari salah satu bukunya yang berjudul Digital Labour and Karl Marx (2014). Mengapa memilih pemikirannya Fuchs? Alasan pertama, pemikirnya masih hidup, topiknya sangat kekinian, sehingga kurang lebih dapat dikategorikan sebagai pemikir/ pemikiran kontemporer. Alasan kedua, adalah alasan yang lebih praktis, yaitu karena teks primernya berbahasa Inggris (di STF Driyarkara, jika kami membaca teks primer, harus dalam bahasa aslinya, sehingga jika teks aslinya berbahasa Jerman, maka harus menguasai bahasa Jerman juga). Alasan terakhir, yang mungkin lebih serius, adalah ketertarikan untuk mendalami Marxisme. 

Digital Labour and Karl Marx adalah karya Fuchs, sosiolog dan juga pakar ilmu komunikasi asal Austria, yang mengaitkan antara Marxisme dan perburuhan digital. Dilihat dari judulnya, sekilas mungkin kita akan menganggap bahwa buku ini membahas tentang para pekerja di bidang digital dan eksploitasi di dalamnya. Namun Fuchs bergerak lebih jauh dengan berpendapat bahwa kita semua, yang memiliki akun medsos, terlebih lagi yang terakses hampir 24 jam sehari, pada dasarnya adalah buruh tidak dibayar, yang "dipekerjakan" untuk mengakumulasikan nilai lebih bagi platform digital (misalnya, Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain). Bagaimana Fuchs bisa sampai pada simpulan semacam itu? 

Fuchs menariknya dari pendapat teks-teks klasik Marx dan Engels tentang definisi buruh, termasuk tentang kerja-kerja yang teralienasi (bukan cuma kerja secara umum). Kerja yang teralienasi ini terjadi salah satunya karena buruh tidak terhubung dengan hasil kerjanya. Sebagai contoh, ia diberi pekerjaan untuk mengelas pintu mobil, tapi mobilnya sendiri, wujud akhirnya seperti apa, bukan menjadi urusan si buruh. Lebih jauh lagi, mobil sebagai hasil akhir, tidak diklaim sebagai kerja buruh secara individual, pun buruh tidak hanya tidak sanggup membelinya, untuk mengendarainya pun belum tentu dibolehkan. Hal tersebut berbeda dengan konsep lain, yaitu kerja konkret, yakni saat apa yang dikerjakan, hasilnya bisa dituai sepenuhnya oleh si pekerja (misalnya, menanam singkong, singkongnya dimakan oleh dirinya sendiri bersama keluarga). Lebih luasnya, kerja konkret dapat diartikan sebagai kerja yang didedikasikan untuk memproduksi barang yang berguna, barang yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia individu, keluarga, maupun komunitasnya secara langsung. 

Mengakses media sosial sendiri, bagi sebagian orang, tidak bisa dikategorikan bekerja. Malah bisa jadi merupakan kegiatan yang dilakukan di sela-sela pekerjaan, bahkan masuk kategori hiburan, penyegaran. Jadi, sekali lagi, bagaimana pemilik akun medsos bisa dikatakan buruh, sebagaimana ditulis oleh Fuchs? Kita memproduksi, lewat unggahan macam-macam konten, dari mulai status, foto, video, dan lainnya. Bukankah semua itu tidak menimbulkan kerugian bagi kita? Bahkan, untuk membuat akun medsos itu gratis, tidak keluar banyak usaha kecuali melengkapi beberapa isian. Iya, tapi ada hal yang kemungkinan luput kita simak, yaitu kenyataan bahwa kita, tanpa sadar sudah menyetujui bahwa segala konten dan data yang diunggah, boleh digunakan untuk kepentingan komersil (ditulis di bagian syarat dan ketentuan, yang saya sendiri tidak pernah membacanya). Jadi, mengunggah konten itu adalah kerja, kerja yang tidak dibayar, yang membuat platform kaya raya, salah satunya dari penjualan data dan konten kita pada pihak produsen, yang kemudian menjadikan kita sebagai "target mikro" bagi iklan produk-produknya. 

Pertanyaan berikutnya, okelah pengguna medsos menciptakan nilai lebih bagi platform penyedia, tapi kan, kita melakukannya dengan sukarela? Tidak seperti buruh yang "harus bekerja" karena memerlukan uang. Hendak menggunakan medsos atau tidak, pilihan itu dikembalikan pada kita sendiri. Fuchs punya argumentasi, bahwa memang tidak ada paksaan bagi kita untuk membuat akun dan mengunggah konten, tetapi terdapat konstruksi yang diwacanakan bahwa tidak memiliki media sosial artinya tidak terhubung dengan dunia, kita kehilangan akses dengan kehidupan sosial, dan apa yang lebih ditakutkan oleh manusia, selain merasa kesepian? Fuchs ada benarnya, orang yang tidak punya medsos, seringkali dituding "kurang gaul" atau "ketinggalan berita". 

Untuk semakin menambah kegetiran, Fuchs menawarkan istilah playbour, yang menunjukkan bahwa buruh digital adalah buruh yang tidak lagi bisa membedakan antara waktu kerja dan waktu luang. Keduanya dilakukan secara bersamaan: maka itu ada istilah "main medsos", seolah-olah suatu kegiatan menyenangkan, padahal dieksploitasi.  

Semoga semester depan topik ini sudah bisa diujikan proposalnya. Saya terus menulis dan menjadi narasumber untuk topik ini, semata-mata demi mengingatkan saya agar tidak lepas dari topik ini, sekaligus semacam pelarian dari rasa bersalah yang terus menghantui.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1