Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Ada Sesuatu yang Tumbuh dalam Diri ...



Memang harus diakui, meski mengerti beberapa konsep dalam filsafat sejak agak lama (mungkin sekitar sepuluh tahunan), saya tidak seberapa mendalaminya, atau bahkan menubuhinya. Misalnya, saya mengerti konsep-konsep dasar Marxisme sedari dulu, tapi ya hanya di tataran pikiran. Praktiknya, saya merasa sangat pragmatis, ikut saja ke mana kesempatan muncul. Agak berat untuk mengakui ini, tetapi akhirnya harus diakui, bahwa tahun 2017 dan 2018, saya merasa keren sekali karena menjadi bagian dari acara festival kota yang didanai oleh pemerintah. Acara tersebut sebenarnya berantakan, tapi pada masa itu saya enggan mengakuinya, sibuk membela diri, sibuk menunjukkan pentingnya acara tersebut, pentingnya diri saya ada di sana. Memalukan. Kemudian pada Pemilu 2019, saya ikut-ikutan membela politisi tertentu. Ada sekelompok orang yang menarik saya untuk bergabung, menjadi semacam bagian dari "tim penting" untuk melanggengkan beberapa orang untuk naik ke tampuk kekuasaan. Setiap hari, saya merasa orang-orang ini saling sikut, kerap bergerak pada ke mana uang berhembus. Tidak ada teman, tidak ada lawan, yang ada cuma kepentingan. Saya tahu semboyan itu sejak kuliah, tapi baru kali ini hal demikian tampak nyata di hadapan. Begitu vulgar, begitu binatang. 

Lewat Kelas Isolasi, yang dimulai sejak Maret 2020, saya tertantang untuk terus belajar, mendalami filsafat dengan lebih baik, karena merasa bertanggungjawab pada lebih banyak orang. Pada momen-momen itu (didukung juga oleh jarangnya saya bertemu orang asing yang kurang jelas), saya dipaksa untuk menggeluti teks secara lebih serius. Tidak hanya pikiran yang berubah, tapi ada sesuatu juga yang tumbuh dalam diri saya, semacam kemantapan hati (meski agak prematur untuk menyebutnya demikian). Misalnya, saat lebih dalam membaca Thomas Hobbes dan John Locke, saya menerawang kembali apa arti kodrat manusia. Keduanya ada benarnya: yang satu melihat manusia adalah makhluk yang saling memangsa satu sama lain, satu lagi merasa manusia itu kondisi naturalnya bebas dan setara, tapi problematik jika berhubungan dengan pelanggaran hak milik. Melalui pikiran-pikiran mereka, saya semakin mengenali perasaan kebinatangan dalam diri, perasaan ingin memangsa, perasaan ingin mempertahankan hak milik dengan berlebihan, dan maka itu, malah berbalik merasa jijik, meski pada titik tertentu, amatlah kodrati. 

Perubahan lebih besar terjadi saat saya membaca teks-teks anarkisme, karena juga didorong oleh pembahasan di Kelas Isolasi yang kami sepakati sendiri. Utamanya saat membaca gagasan Jacques Ellul, yang melihat negara sebagai iblis dalam dirinya sendiri. Hal tersebut memutarbalikkan pemikiran saya, yang dulu menganggap bahwa perubahan apa-apa perlu melalui negara, percuma jika hanya usaha kecil-kecil, tidak signifikan. Begitu juga saat membaca pemikiran ekologi seperti yang digagas Pentti Linkola, feminisme dalam estetika seperti yang ditulis oleh Carolyn Korsmeyer, seluruhnya mengubah pelan-pelan, membuat saya tidak melihat dunia dengan cara yang sama. Bahkan kadang terlampau pesimistik, bahwa tidak ada yang bisa diubah, semua menarik hanya dalam tataran gagasan para filsuf saja. 

Beraneka kontradiksi tentu masih banyak dalam keselarasan antara pikiran dan tindakan saya: masih rajin memproduksi limbah dan polusi, masih suka tergiur oleh tawaran pekerjaan dengan uang lumayan meski sumbernya tidak jelas (pun tujuannya), masih kadang menikmati "komodifikasi yang natural" (menikmati ngopi di tengah "hutan", mengonsumsi minuman herbal dengan iming-iming "kesehatan"), dan banyak lagi. Namun, meski kontradiksi itu tetap ramai, perut saya mulai merasa mual jika antara pikiran dan tindakan terlalu bertabrakan. Tentu, mual itu bukan artinya saya berhenti melakukannya. Kadang tetap saja (dikerjakan), meski hati nurani ini meronta. Kadang saya merasa, dunia ini tidak bisa diubah lagi, hal yang bisa dilakukan adalah menjalaninya dengan perut mual, dan bertahan sebisa-bisa, sambil mempertahankan prinsip yang dianggap benar. Meski bisa saja salah. 

Saya hanya bisa berdoa, semoga istiqomah, semoga tidak harus sampai malu, di hadapan gagasan para pemikir yang saya cintai, di hadapan musik indah yang saya dengarkan. Merekalah sebaik-baiknya contoh kejujuran, kebeningan hati. Bukan melulu orangnya, tapi gagasan-gagasannya yang mengudara, yang kita hirup agar dunia senantiasa menjadi asing, sekaligus memuakkan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1