Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Puisi Penjudi


 
Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang
Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram
Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi
Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran

Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian?
Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi?
Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi?
Buah khuldi: jauhi atau makan
Ia putuskan yang nomor dua
Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini
Keturunan seorang penjudi

Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi
Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu
Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu
Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka
Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola
Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah"

Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati
Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam
Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya
Ia pernah naik motor Tiger
Pernah merasakan gelegak kehidupan yang hakiki
Meski setitik, tapi barangkali itulah yang berarti
Ia pernah menyaksikan bola bergulir dari kiri ke kanan sambil meriang
Capek hati menanti skor berapa-berapa, sebelum peluit akhir meletupkan sampanye hidupnya

Baginya itulah kekayaan sejati
Menanti sang nasib berpaling kemana dalam hitungan detik
Baginya yang pasti hanya mati
Sisanya cuma mengundi

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat