Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Dunia

Waktu kecil, saya sering meyakini bahwa apa yang saya pikir bagus, berarti itu juga bagus di mata dunia. Seperti misalnya, Indonesia yang sering dipuja-puji sebagai negara kepulauan besar dengan beragam kekayaan alamnya, bagi saya itu merupakan negara terbaik di dunia dan bahkan secara ukuran adalah yang paling besar. Lantas saya pernah mengagumi seorang pemain sepakbola di masa SMP namanya Decky. Saya pikir dia bisa disejajarkan kehebatannya dengan pemain kelas dunia Alessandro Del Piero. 

Lantas ada masa ketika saya ingin mendunia seperti apa yang selama ini saya idolakan. Ingin menjadi pemain catur terhebat di dunia, pemain sepakbola terhebat di dunia, gitaris terhebat di dunia, dan seterusnya dan seterusnya. Saya berlatih keras, mengejar mimpi-mimpi itu sampai tiba pada satu pertanyaan: Apakah yang dimaksud "dunia" itu sebenarnya? Apakah "dunia" itu berarti kita dikenal di setiap orang di seluruh dunia? Misalnya saya jalan-jalan ke Finlandia atau ke Guyana Prancis itu artinya mereka akan menyapa dan tersenyum pada saya? Atau yang dimaksud dunia itu masuk dalam buku-buku sejarah, masuk koran, masuk internet, sehingga dibaca oleh seluruh masyarakat di dunia?

Pada perkembangan usia, saya merasa bahwa sesungguhnya dunia yang saya bayangkan dulu adalah semata-mata hanyalah dunia imajiner saja. Dunia yang sebenarnya adalah dunia yang saya kenal sekarang, yang saya tinggali, yang saya gauli, yang saya percayai sebagai ada dan nyata -istri, orangtua, kampus, sekolah musik, Tobucil, Garasi10, dst-. Bagi saya, ternyata, istilah orientasi ke-dunia-an makin lama makin sempit (dari ingin menjadi terbaik senegara, menjadi ingin terbaik se-RT/RW saja) ini kurang begitu tepat. Yang lebih sreg bagi saya adalah makin lama, dunia itu tidak lagi dalam imajinasi, melainkan semakin nyata, semakin dekat, dan barangkali semakin dalam. Menjadi tidak penting lagi untuk dikenal seorang remaja di Madagaskar. Sekarang mungkin jauh lebih berarti jika kita dikenal oleh hansip yang setiap malam menjagai rumah kita. Masih lebih penting dan "mendunia" jika saya berhasil membuat satu orang murid menemukan bakat terpendamnya ketimbang bercita-cita seperti Martin Luther yang melakukan reformasi religi. 

What can you do to promote world peace? Go home and love your family.” -Bunda Teresa

Comments

  1. Cieee ... yang mau jadi babeh. Go home and love your family =)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1