Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Kelas Filsafat (Pertemuan 3): Eksistensialisme Soren Kierkegaard



Setelah diliburkan selama dua minggu akibat berlangsungnya ujian tengah semester juga adanya kesibukan sang pengajar sebagai musisi bandung masa kini (iya, musisi bandung yang sedang sibuk manggung sana-sini katanya), kelas filsafat telah kami laksanakan kembali pada Kamis, 2 Mei 2013 yang lalu. Pertemuan ketiga ini dilakukan setengah jam lebih lambat dari biasanya, sekitar pukul 11.15, akibat Manda dan saya sendiri yang bangun dan datang ke kampus dengan terlambat (pengakuan dosa). Kelas yang biasanya kami selenggarakan di perpustakaan FIB kali ini terpaksa harus direlokasi karena entah kenapa pada Kamis yang lalu perpustakaan begitu penuh dengan para mahasiswa yang sepertinya sedang mengerjakan tugas. Agar mendapatkan suasana baru yang lebih tenang, kami memutuskan untuk berdiskusi outdoor, di bangku-bangku biru samping pakilun, persis di depan kansas. Peserta kelas filsafat kali ini kembali ke formasi awal—Kang Syarif, Manda, dan saya. 

Seperti yang telah disepakati dua minggu lalu, pada pertemuan ketiga ini kami akan membahas eksistensialisme dari seorang filsuf asal Denmark yang hidup di pertengahan abad 19, Søren Kierkegaard. Sebetulnya, pokok bahasan eksistensialisme yang kami bahas selama ini cukup unik karena berjalan mundur: dari Sartre, ke Nietzsche, lalu ke Kierkegaard. Padahal urutan pencetus eksistensialisme sebenarnya dimulai dari Kierkegaard, dilanjut oleh Nietzsche, dan diakhiri oleh Sartre. Perjalanan mundur ini mungkin bisa diambil hikmahnya, karena setelah ditampar oleh ide atheisme tulen dan pernyataan tentang kematian Tuhan, kami seperti diingatkan oleh Kierkegaard untuk kembali pada keimanan. Ya, tanpa sengaja, bahasan eksistensialisme kami dapat berakhir dengan “happy ending”, tidak begitu depresif. Haha. 

Sebelum masuk ke dalam pemikiran Kierkegaard, Kang Syarif bilang ada baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui teori apa yang ditentang oleh filsuf tersebut karena sebuah pemikiran tidak mungkin lahir dari nol. Sebuah pemikiran atau teori pasti muncul akibat adanya sebuah pemicu. Dalam hal ini, teori yang ditentang Kierkegaard adalah idealisme yang datang dari seorang filsuf besar dan termasuk krusial dalam sejarah pemikiran barat yaitu Hegel. 

Sebelumnya, saya pernah bertanya pada Kang Syarif, “Walaupun traumatis, pikiran manusia justru berkembang setelah terjadinya perang. Lalu haruskah kita bersyukur dengan adanya perang? Akan seperti apa peradaban manusia saat ini jika perang dunia tidak pernah ada?” Kang Syarif menjawab bahwa dalam kaca mata Hegel, perang adalah bagian dari dialektika sejarah. Perang harus ada sebagai syarat perdamaian. Hegel berkata bahwa dunia ini sebenarnya sudah memiliki caranya sendiri untuk membentuk sejarah. Sejarah itu seperti bentuk dialog alam semesta dengan dirinya, yang kemudian membentuk kesadarannya sendiri. Menurut Hegel, perjalanan hidup manusia merupakan perjalanan roh alam semesta untuk menemukan kesadaran. Dengan kata lain, manusia adalah alat bagi alam semesta untuk mengoreksi dirinya sendiri. Namun Hegel percaya bahwa semakin lama, manusia pun akan berada pada tingkat kesadaran yang semakin tinggi. Oleh karena itu, Hegel melahirkan sebuah optimisme. Dengan mempelajari Hegel, kita tidak akan mudah menyalahkan sejarah. Kita justru akan berterima kasih pada perang, pada penjajah Belanda, pada Hitler, bahkan pada kaum Quraisy. Menurut Kang Syarif, jika kaum Quraisy tidak ada, Muhammad tidak akan menjadi antithesis yang kemudian melahirkan Islam sebagai sinthesis. 

Seperti apa yang dikatakan Hegel mengenai dialektika, sebuah thesis yang hebat pasti akan melahirkan banyak penentangan. Penentangan tersebut adalah antithesis yang sama hebatnya, dan dapat melahirkan banyak diskusi. Dari diskusi-diskusi tersebut lah sinthesis lahir sebagai hasil perkawinan antara thesis dan antithesis. Sinthesis tersebut nantinya akan menjadi thesis baru yang kemudian memicu munculnya antithesis dan kelak melahirkan kembali sinthesis yang baru. Begitu lah siklus yang akan seterusnya berulang dalam sejarah dunia. 

Dampak pemikiran Hegel terhadap sejarah dunia ini sudah cukup hebat. Hanya saja, Hegel mengeluarkan sebuah kesimpulan yang terlalu buru-buru. Ia berkata bahwa ujung dari dialektik—ujung dari pencerahan dan kesadaran—itu ada di negaranya, Prusia (saat ini Jerman). Dalam hal ini, rasionalitas seorang Hegel terpeleset oleh kenarsisan manusia era romantik yang terlalu mengagung-agungkan negaranya sendiri. 

Ada banyak filsuf yang menentang Hegel, salah satunya Marx. Marx berkata bahwa pernyataan Hegel itu terbalik, bukan manusia yang menjadi alat kesadaran melainkan manusia adalah pusat kesadaran itu sendiri. Menurutnya, roh alam semesta justru akan berubah mengikuti tindakan-tindakan yang dilakukan manusia. Bagi Marx, pemikiran Hegel malah membuat manusia tampak tidak berguna karena manusia hanya bisa menunggu tanpa daya untuk dirubah oleh sejarah. Penentangan Marx itu kemudian disebut materialisme dialektik. 

Lalu, apa yang ditentang Kierkegaard dari Hegel? Yang pertama, idealisme Hegel tersebut menyatakan dengan telak bahwa esensi lah yang menentukan eksistensi manusia. Hal itu mematikan kehendak bebas yang harusnya dimiliki oleh seorang manusia otentik. Yang kedua, menurut Kierkegaard, Hegel membicarakan sesuatu yang tidak konkrit. Apa yang seharusnya dipikirkan manusia bukan lah sejarah atau hal besar yang terlalu jauh mengawang-awang. Sebaliknya, manusia justru perlu membahas hal-hal kecil yang sangat dekat dengannya seperti kesedihan, kemurungan, kehampaan, atau keberadaan dirinya sendiri. Dari sana lah cikal bakal eksistensialisme muncul. Ia hadir sebagai antithesis dari idealisme. 

Dalam kelompok para pemikir barat, Kierkegaard dianggap sebagai orang pertama yang mencetuskan ide eksistensialisme. Namun, jika kita menarik jauh ke belakang, sebelumnya pernah ada salah seorang Yunani bernama Protagoras yang mengeluarkan pernyataan bahwa manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu. Itu merupakan pernyataan eksistensialis yang lebih lampau dari antithesis Kierkegaard terhadap Hegel. 

“Kierkegaard adalah filsuf paling galau yang pernah saya tahu,” ujar Kang Syarif. Berbeda dengan tipe pemikiran Sartre yang runut dan bisa dibilang “ilmiah”, Kierkegaard memaparkan eksistensialisme melalui buku dan sejumlah catatan berisi kegelisahan dan keputusasaannya. “Aku menempelkan jariku pada eksistensiku—tidak ada baunya. Di manakah aku? Benda apa yang dinamakan dunia ini? Siapa yang memancingku pada benda ini, dan kini meninggalkan aku di sini? Siapakah aku? Bagaimana aku bisa berada di dunia? Mengapa tidak dibicarakan denganku dulu?” tulisnya. 

Bagi Kierkegaard, kegelisahan adalah pusat dari kehidupan manusia modern. Setahun sebelum kematiannya, Kierkegaard merangkum seluruh penderitaan dari awal hingga akhir kehidupan, “Dengarkan teriakan ibu pada saat melahirkan, lihat perjuangan ambang ajal pada akhir waktu: lalu katakan mana yang bisa dijadikan kesenangan.” Menurut Kierkegaard, kehidupan ini sama sekali tidak memiliki sisi nyaman dan menyenangkan. Kalaupun ada, kenyamanan dan kesenangan tersebut hanyalah kepura-puraan yang dibuat manusia untuk menutupi penderitaannya. Pada akhirnya, manusia tetap akan kembali ke dalam keputusasaan akibat realitas yang tidak bisa terelakkan. Dalam perspektifnya, kegelisahan dan keputusasaan merupakan kondisi universal manusia. Kita menderita baik ketika kita menghadapi sebuah masalah maupun ketika kita tidak memiliki objek kegelisahan. Kierkegaard mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh kegelisahan yang sama sekali tidak objektif. Di dalam hati kecil kita, kegelisahan itu bersifat subjektif. 

Kierkegaard kemudian merenungkan tiga tahap eksistensi manusia yaitu manusia estetis, etis, dan religius. Manusia estetis adalah manusia “paling rendah” yang memahami eksistensinya dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan melakukan kesenang-senangan yang bersifat badani. Contoh sempurna manusia estetis adalah Don Juan yang hidup dengan berganti-ganti wanita untuk sekedar memuaskan hasratnya. Menurut Kierkegaard, mungkin begitulah cara manusia estetis melupakan eksistensinya yang menyedihkan—dengan bersenang-senang, meluapkan kebutuhan-kebutuhan badani seperti seks, makan, minum, dan tenggelam dalam hedonisme kehidupan. Menurut Kang Syarif, level manusia paling rendah dalam agama-agama pun diduduki oleh manusia estetis. Oleh sebab itu, agama memiliki “latihan-latihan” tersendiri untuk mengendalikan hawa nafsu, misalnya dengan menjalani puasa. Namun begitu, walaupun sudah seharian menjalani puasa tetapi ketika datang waktu berbuka kita makan dengan nafsu yang berapi-api, sesungguhnya pada saat itu kita kembali lagi menjadi manusia estetis. 

Tahap selanjutnya adalah manusia etis. Contoh dari manusia etis adalah Socrates. Pada 399 SM Socrates didakwa “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda”, serta tidak memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Para juri menyatakan bahwa Socrates bersalah. Ia pun diberi dua pilihan oleh pengadilan: minum racun lalu mati atau mengakui kesalahannya karena telah menyebarkan paham sesat lalu keluar dari Yunani. Socrates kemudian memilih untuk minum racun karena ia pikir jika ia menghindar untuk menyelamatkan dirinya dan badannya, berarti ia mengingkari hati nuraninya sendiri. Socrates termasuk ke dalam contoh manusia etis karena ia mau “menunda kesenangan—badani—nya untuk sebuah kebahagiaan yang lebih besar”. Menurut Kang Syarif, pada umumnya manusia itu bergerak dari estetis ke etis seiring dengan pertambahan usianya. Semakin ia bertambah dewasa, manusia semakin merasa harus melakukan hal-hal yang sebenarnya “tidak ia sukai”, semata-mata untuk menunaikan tanggung jawabnya. 

Tahap yang terakhir adalah manusia religius. Bagi Kierkegaard, eksistensi yang paling tinggi itu dipahami ketika ia melompat pada keimanan. Iman merupakan sesuatu yang tidak berdasar, seperti lubang gelap. Karena tidak berdasar itulah, kita hanya bisa percaya, mengandalkan keimanan. Semakin orang menggantungkan kepercayaannya pada suatu hal yang abstrak dan absurd, semakin ia patut dipuji, menurut Kierkegaard. Karena sesungguhnya, antara rasionalitas dan iman terdapat sebuah jurang pemisah. Kita hanya bisa menjembataninya dengan melakukan sebuah “lompatan”. Jadi, ketika keputusasaan seseorang membawanya kembali pada Tuhan, sesungguhnya di sana terdapat lompatan terhadap level eksistensi yang paling tinggi. Mungkin itulah sumbangsih terbesar Kierkegaard: ia mencoba menguraikan makna keimanan. Kebanyakan orang mengatakan, “Tuhan ada dulu, baru kita percaya” namun Kierkegaard membalik premis tersebut. Ia bilang, “Kita percaya dulu, baru Tuhan ada”. Menurut Kang Syarif, Tuhan itu dapat kita percayai karena kita tidak bisa tahu apapun tentangNya. Saya pun menanggapi bahwa menurut saya Tuhan itu sangat tidak masuk akal. Namun, ketidakmasuk-akalan itu lah yang justru membuatNya menjadi masuk akal. 

Di akhir diskusi, Kang Syarif menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya semua filsuf eksistensialis memiliki garis pemikiran yang sama. Hanya saja, mereka memiliki solusi yang berbeda-beda. Kierkegaard memilih untuk melemparkan dirinya kepada Tuhan, pada akhirnya. Nietzsche memilih untuk berdiri di atas kakinya sendiri karena hal yang paling nyata dalam hidup menurutnya adalah manusia, Tuhan telah mati. Sedangkan Sartre berkata bahwa faktanya manusia itu bebas, dan kita tidak bisa melemparkan diri kemana-mana, kecuali pada kebebasan itu sendiri. Kelas filsafat kami mengenai filsuf-filsuf eksistensialis berakhir sampai di sini. Minggu depan kami akan masuk ke dalam pokok bahasan dengan tema yang baru. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya! 

 *** dparamithatp

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1