Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Blade Runner (1982): Distopia yang Masokistik



Meskipun reputasinya sudah beberapa kali saya dengar, namun baru semalam saya kesampaian nonton film Blade Runner. Ekspektasi ketika memutar film ini cukup tinggi. Saya sedang enggan berpikir yang berat-berat sehingga berharap bahwa film ini akan berisi aksi-aksi menawan sehubungan dengan yang main adalah Harrison Ford. Namun lama kelamaan disaksikan, 10 menit; 20 menit; 30 menit; hingga satu jam; saya mulai merasakan bahwa film ini tidak ada tendensi ke arah laga. Film ini punya bau-bau filosofis yang membuat saya paham mengapa Mas Ismail Reza beberapa kali mengangkat wacana untuk mendiskusikan film ini. Jika hanya sekadar film laga, untuk apa kita berdiskusi, kan?

Blade Runner mengambil tempat di tahun 2019. Sebuah situasi distopia masa-depan yang ditandai salah satunya oleh terciptanya kloning manusia bernama replicant. Replicant versi terbaru, yakni Nexus 6, adalah replicant yang paling menyerupai manusia dari segi baik emosi maupun intelegensia. Untuk apa replicant ini diciptakan? Tadinya hanya sebatas sebagai budak untuk mengerjakan koloni manusia di luar sana, bernama Off-World Colonies. Tapi akhirnya beberapa replicant sukses kabur dari pekerjaannya dan berkeliaran di bumi. Berkeliarannya replicant ini tidak hendak dibiarkan begitu saja. Diutus polisi rahasia untuk memburu dan "mempensiunkan" para replicant yang kabur tersebut. Polisi rahasia itu disebut dengan Blade Runner. Salah satu yang paling aktif dan diandarlkan adalah Rick Deckard yang diperankan oleh Harrison Ford.

Mendengar kilas ceritanya, kita seperti akan digiring ke film semacam Terminator. Yang terbayangkan adalah Deckard memburu satu demi satu para replicant dan membunuhnya dengan keji. Namun kemudian, berbagai visualisasi yang ditampilkan, pertama, membuat film ini terasa punya nuansa seperti film science-fiction milik David Lynch yakni Dune. Baik Dune maupun Blade Runner keduanya punya tone color film yang khas, yang terihat riang gembira di permukaan namun kita susah sekali untuk tertawa karena sadar bahwa ke-distopia-annya dipenuhi hal-hal yang satir. Kedua, Blade Runner pada akhirnya lebih fokus pada urusan psikologis ketimbang hendak pamer pandangan-pandangan futuristik sang sutradara, Ridley Scott (meski ia menampilkan dengan sukses benda-benda futuristiknya seperti Spinner alias mobil terbang). Blade Runner banyak berkutat dengan kegalauan Deckard sebagai seorang pemburu replicant, yang disebabkan oleh indikasi implisit bahwa ia pun adalah seorang replicant, serta rasa kekagumannya yang aneh pada replicant bernama Rachael, sekaligus juga pada yang antagonis bernama Roy Batty, yang punya sisi jahat sekaligus baik. 

Walhasil, Blade Runner, dengan tempo film yang sangat lambat, mungkin akan mengecewakan bagi mereka yang sudah kadung berharap film Ridley Scott ini akan seatraktif film ia yang sukses sebelumnya, Alien (1979). Namun simak bagaimana Scott sesungguhnya cukup puas dengan Blade Runner. Ia merasa berhasil menyuguhkan "pengalaman akan rasa sakit" lewat situasi distopia yang membingungkan plus keterpukulan psikologis seorang Deckart. Blade Runner memang menjadi satu diantara sedikit film-film Hollywood yang tidak terlalu pro-pasar. Reputasinya baru belakangan saja dipulihkan, ketika pada masanya lebih banyak dicibir karena membosankan dan tidak jelas. 

Jauh setelah masa pemutarannya, Blade Runner direhabilitasi dengan sentuhan-sentuhan interpretasi filosofis. Ada yang mengatakan bahwa Roy Batty adalah sosok superman seperti yang digadang-gadang oleh filsuf Friedrich Nietzsche. Batty diciptakan sebagai budak namun akhirnya maju tampil melampaui dirinya dan akhirnya membunuh kreatornya sendiri, Dr. Tyler. Inilah sosok superman yang diidamkan Nietzsche, yang bisa menjadikan dirinya dari sosok bermental budak menjadi sosok bermental tuan. Ada juga yang mengatakan bahwa Blade Runner dipenuhi oleh simbolisasi mata (Freemason [lagi]??). Namun apapun interpretasi yang dikembangkan tentang film ini, Scott sepenuhnya benar bahwa Blade Runner punya nuansa "masokistik" yang amat kental. Kita merasakan suatu sakit yang nikmat ketika menikmati adegan demi adegan yang seringkali tak punya penjelasan.  

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1