Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Surat dari Surakarta (Bagian Satu): Pak Hilmar, "IGF 2018 Tidak Ingin Menjadi Sekadar Pesta Semata!"

9 Agustus 2018

Tiba di Bandara Adi Sumarmo, Surakarta, pada pukul sepuluh pagi, penerbangan 55 menit dari Jakarta nyaris tak terasa oleh sebab saya terlelap sembari mendengarkan musik Beethoven yang disediakan oleh fasilitas audio dari maskapai. Selesai mengambil bagasi, panitia yang bertugas mengumpulkan awak media telah setia menunggu di luar. Dengan ramah, perempuan bernama Mbak Amalia tersebut menggiring kami ke mobil dengan kapasitas besar, agar awak media yang ia jemput - yang terdapat enam orang lainnya - merasa nyaman dan tidak berdesakan. Kami langsung dibawa ke hotel Royal Heritage, sebuah hotel yang saya perkirakan mempunyai fasilitas bintang lima, dimana kami akan makan siang bersama Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. 

Pak Hilmar, dengan wajah yang terlihat lelah, tak lama kemudian datang dan tetap mencoba menebar senyumnya. Setelah berbasa-basi sedikit, ia mulai memaparkan secara garis besar hal ikhwal International Gamelan Festival (IGF) 2018 yang diselenggarakan di Surakarta ini. “Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari IGF sebelumnya yang digelar di London dan Glasgow. Setelah penyelenggaraan di sana, kemudian timbul pertanyaan, mengapa tidak diselenggarakan di kita saja untuk tahun berikutnya? Akhirnya diputuskan Surakarta menjadi tuan rumah dan ‘kembali pulang’ atau home coming menjadi tema IGF kali ini,” ujar Pak Hilmar, yang dilantik menjadi direktur sejak akhir tahun 2015. 

Foto oleh Amalia Prabowo

“Kepulangan ini,” lanjut Pak Hilmar, “adalah kepulangan yang menarik, karena tidak banyak diantara masyarakat kita yang tahu bahwa gamelan sudah begitu berkembang di luar sana, melebihi apa yang kita bayangkan.” Pak Hilmar seolah hendak mengatakan, bahwa gamelan telah berdiaspora, menyebar ke seluruh penjuru dunia dan berakulturasi dengan kebudayaan setempat. 

Sebagai contoh, di IGF kali ini, terdapat sejumlah kelompok gamelan dari mancanegara seperti dari Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Irlandia, Australia, Inggris, Hungaria, dan Belanda. Di masing-masing negara tersebut, musik gamelan bisa jadi tidak diaransemen dengan seratus persen sama dengan yang dilakukan di kita. Ada penyesuaian dan peleburan yang menciptakan kekayaan khazanah bagi dinamika perkembangan musik gamelan itu sendiri. 

IGF merupakan salah satu saja dari sejumlah festival di Indonesia yang digelar di tahun 2018 dan berada di bawah koordinasi Indonesiana. Pertanyaannya, apakah itu Indonesiana? Tentang ini, Pak Hilmar memberi penjelasan cukup komplit, terutama terkait dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, “Ya, dalam menindaklanjuti undang-undang tersebut, kami merasa perlu untuk mendirikan Indonesiana sebagai platform. Apa artinya platform ini? Ya, semacam badan yang membantu tata kelola kegiatan seni sehingga berbagai festival yang ada di Indonesia menjadi lebih berkelanjutan, berjejaring, dan tentu saja, berkembang.” 

Penjelasan demi penjelasan Pak Hilmar, yang santai tapi berbobot, membuat mata saya kian berbinar, membayangkan momen pembukaan kegiatan yang waktu itu akan dimulai sekitar dua jam lagi. Dari arah hotel, di seberang jalan, sudah terpasang sejumlah set gamelan. “Siapa yang akan memainkan gamelan itu?” tanya saya pada Mbak Amalia, yang saya lakukan sebelum bertemu Pak Hilmar. “Oh, banyak sekali, sekitar tujuh puluh lebih kelompok gamelan di Surakarta, dari mulai siswa SD, SMP, SMA, hingga umum, akan membunyikan gamelan ini secara bersamaan nanti di saat pembukaan,” jawabnya. Rupanya saya baru sadar, bahwa alat gamelan itu tidak hanya satu set saja, melainkan banyak sekali, dipasang di trotoar sepanjang jalan Slamet Riyadi. 

“Sebuah festival,” Pak Hilmar kemudian melanjutkan, dan membuyarkan bayangan saya yang sedang mengobrol dengan Mbak Amalia, “bagaimanapun, harus mempunyai aspek pesta, hiburan, dan mengajak banyak orang untuk berbahagia. Namun kami mencoba agar IGF ini tidak hanya tentang aspek festivity saja, melainkan juga tentang pembangunan ekosistem kesenian. Misalnya, pemerintah daerah Surakarta, pada even ini, juga membagikan sejumlah set gamelan ke kelurahan-kelurahan. Lalu dalam IGF ini, banyak sekolah-sekolah dan sanggar kesenian dilibatkan. Even ini juga mengadakan workshop, diskusi, dan pameran, sehingga punya nilai edukasi.” 

Foto oleh Amalia Prabowo

Pelayanan panitia yang baik dan berkelas, penjelasan yang ramah namun mendalam dari Pak Hilmar membuat kesan saya tentang acara ini sudah sangat positif sejak awal. Meski lelah mendera - akibat pergi sejak dini hari dari Bandung -, namun ada harapan yang terbit dari dalam benak, yang membuat badan tiba-tiba segar senantiasa: Bahwa pemerintah ternyata bisa begitu peduli terhadap pengembangan kebudayaaan. 

Tadinya, jujur saja, saya agak skeptis. Wilayah kebudayaan, secara stereotip, adalah wilayah yang sering diperlakukan asal-asalan oleh sebab barometernya yang tidak jelas. Kebudayaan kemudian direduksi menjadi hanya sebagai pemuas kebutuhan pariwisata, dan pada akhirnya luput dari penggalian nilai-nilai luhur sekaligus kedalamannya. Kita bisa berharap, di tangan Pak Hilmar, Indonesiana, dan IGF 2018, mulai ada kesadaran dari semua pihak, tentang pentingnya pelestarian budaya, tanpa harus melulu punya orientasi pasar dan komersialisme. 

Setelah itu, saya meminta berfoto berdua saja dengan Pak Hilmar. Ia mengiyakan dengan santai (meski matanya tetap tampak sayu akibat lelah) dan merangkul pundak saya sebelum gambar diambil melalui kamera ponsel.


Foto oleh Amalia Prabowo





Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1