Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Surat dari Surakarta (Bagian Dua): Ketika Berjalan di Trotoar Tidak Lagi untuk Melihat Merk Dagang

9 Agustus 2018

Setidaknya di Bandung, tempat saya tinggal, berjalan di trotoar adalah hal yang sangat asing. Pertama, trotoar seringkali kurang nyaman bagi pejalan kaki, oleh sebab kurang luas dan banyak diserobot oleh pedagang kaki lima (meski hal-hal demikian sudah banyak diperbaiki di masa pemerintahan Ridwan Kamil). Kedua, berjalan di trotoar adalah identik juga dengan menyempitkan pandangan kita, hanya pada toko-toko dan merk dagang yang ada di sisi jalan. Dalam arti kata lain, memilih jalur trotoar berarti juga siap dibujuk secara halus untuk membeli dan membeli. 

Namun trotoar di Surakarta kala soft opening International Gamelan Festival (IGF) 2018 kemarin, membuat saya merasa sedih dengan keadaan di Bandung. Pada acara yang dimulai sekitar jam setengah empat tersebut, tidak ada toko (yang buka) dan merk dagang (yang terpampang terang-terangan) di sepanjang trotoar di Jalan Slamet Riyadi, karena “disingkirkan” oleh 73 set gamelan. 

Foto oleh Riedo Andi Kurniawan

Setelah pembukaan melalui seremoni singkat di Taman Sriwedari oleh Walikota Surakarta, Pak F.X. Hadi Rudyatmo bersama Direktur Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, Pak Hilmar Farid, mulailah satu per satu gamelan dibunyikan. Para penonton langsung berjalan mengikuti sumber bunyi, dan menemukan berbagai macam kelompok gamelan dari anak-anak sekolah hingga berbagai komunitas. Kelompok yang banyak itu bukannya tanpa koordinasi. Mereka didirijeni oleh para panitia yang rata-rata merupakan mahasiswa seni dari ISI - Surakarta. Pendirijenan tersebut dilakukan salah satunya demi menjaga agar suara satu kelompok tetap harmonis atau tidak menabrak dengan kelompok lainnya - yang secara jarak cukup dekat -. 

Jalan Slamet Riyadi bukanlah jalan yang dapat dikatakan pendek. Lebih dari satu kilometer saya susuri untuk menyaksikan seluruh kelompok gamelan yang bermain di trotoar. Semakin lama, didasari oleh ketertarikan, warga kian merapat sehingga menciptakan kerumunan yang membuat saya susah mendapatkan ruang gerak dalam berjalan kaki. Namun sekali lagi, berjalan jauh dan berdesakan tidak terlalu menjadi soal, ketika trotoar kali ini tidak sedang untuk menjajakan merk dagang, melainkan menampilkan nilai-nilai luhur dari kesenian. 

Apa yang ditampilkan pada soft opening IGF 2018, kemungkinan mengacu pada konsep meleburnya jarak antara pemain dan apresiator. Para pemain duduk di trotoar dan para apresiator bisa siapa saja, tidak selalu orang-orang yang awalnya punya intensi untuk menyaksikan pertunjukkan. Konsep semacam ini menempatkan seni sebagai sesuatu yang inklusif dan mau turun dari menara gading untuk bersentuhan dengan masyarakat. 

Foto oleh Riedo Andi Kurniawan

Penampilan semacam ini bukannya tanpa risiko. Apa yang ditampilkan secara tiba-tiba di ruang publik (kesenian apapun, tidak hanya gamelan, tapi bisa juga musik jazz atau musik klasik, misalnya), harus berhadapan dengan reaksi yang beragam. Tidak menjadi masalah jika reaksi tersebut berupa atensi yang positif. Namun bisa juga terjadi ketika penampilan yang mengejutkan semacam itu, malah ditanggapi secara dingin dan malah sinis. Bisa disebabkan oleh kepentingannya yang terganggu (jalan menjadi macet, trotoar menjadi sempit), atau sesederhana memang tidak suka terhadap musiknya. 

Namun upaya flash mob (penampilan kejutan di tengah kerumunan) tetap merupakan satu percobaan yang berani, terutama dalam konteks kesenian. Kendatipun upaya tersebut menemui caci maki, misalnya, tetap saja publik menjadi mengenalnya. Bukan tidak mungkin, lama-lama orang-orang menjadi terbiasa, dan pelan-pelan mulai menyukai. 

Penampilan 73 kelompok gamelan tersebut berlangsung selama kurang lebih satu jam. Pada jam lima, bebunyian mulai surut. Penonton pun berangsur-angsur mulai mengurai diri dari kerumunan. Tidak semua penonton ini segera pulang ke tempatnya masing-masing. Mereka bisa jadi bersiap, untuk pembukaan akbar (grand opening) di Benteng Vastenburg, malam harinya. 

Sementara itu, romantisme saya akan selalu tinggal, tentang bagaimana trotoar, untuk sekejap saja, tidak bermuatan merk dagang.

Foto oleh Riedo Andi Kurniawan

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat