Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Surat dari Surakarta (Bagian Sembilan - Habis): Mencari Oleh-Oleh yang Tepat untuk Dibawa ke Bandung

12 Agustus 2018

Hari keempat di Surakarta, adalah artinya hari terakhir saya berada di sini. Festival masih akan berlangsung hingga tanggal 16 Agustus, tapi apa daya saya hanya ditugaskan hingga tanggal 12. Panitia sudah menyiapkan tiket pesawat kepulangan untuk jam 14.15 dan itu artinya saya punya cukup waktu dari pagi hingga siang hari untuk mencari oleh-oleh. 

Membawa pulang oleh-oleh memang seolah sudah menjadi budaya kita. Setiap kita akan pergi ke suatu tempat, kita sering diteriaki, "Jangan lupa oleh-olehnya, ya!" Padahal, kita semua juga tahu, tidak semua kepergian ke luar kota atau luar negeri, punya cukup waktu dan uang untuk membeli oleh-oleh. Namun demi keharmonisan dengan semesta, kadang kita harus memaksakan diri untuk mencari oleh-oleh, agar setidaknya tidak dicap sombong, mentang-mentang, dan sebagainya. 

Meski waktu sempit, saya menyempatkan diri untuk mampir di tempat menjual Serabi Notosuman yang terkenal itu. Saya membeli tiga dus untuk teman-teman di kostan dan dua instansi Perguruan Tinggi tempat saya bekerja. Setelah itu, saya mencari sosis Solo untuk beberapa kawan dan tidak menemukan dimana-mana (dalam perjalanan ke Bandara) kecuali di Bandara Adi Sumarmo itu sendiri. Walhasil, satu gulung sosis berukuran dua kali gigit itu harus ditebus dengan harga sepuluh ribu Rupiah. Ini tentu saja, kita tahu, akibat dari membeli di Bandara. 

Namun inti artikel ini ternyata bukan tentang oleh-oleh makanan yang saya tulis di atas. Oleh-oleh bisa saja bermakna luas, bisa berupa makanan dan cenderamata, bisa juga terkait pengetahuan dan pengalaman. Saya tidak mampu membawa pulang makanan dan cenderamata yang banyak oleh sebab keterbatasan waktu dan uang, tapi saya punya oleh-oleh lebih besar dalam seluruh tubuh saya, untuk diceritakan dan diaplikasikan di kota kelahiran saya, Bandung. 

International Gamelan Festival (IGF) 2018 adalah festival yang sangat luar biasa. Tentu saya melontarkan pujian ini bukan karena saya diundang oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan RI sebagai payung penyelenggara. Bukan. Kalaupun memang iya begitu, saya hadir sebagai blogger yang tidak menginduk pada media manapun. Saya hadir sebagai orang bebas, yang bisa berkomentar apapun karena saya hanya akan mengunggahnya di kanal milik pribadi. 

Ini alasan mengapa saya memuji IGF 2018 sebagai festival yang bagus: 

1. Festival ini dengan cantik melibatkan banyak pihak untuk berkolaborasi, dari mulai Kemendikbud, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Indonesiana (tentang ini, akan dijelaskan di poin berikutnya), Pemerintah Kota Surakarta, swasta, seniman, hingga ke pedagang kaki lima. Festival ini membuat segala sesuatunya menjadi milik bersama. 

2. Sistem informasi begitu rapi dan memadai. Meski festival berlangsung di banyak titik, tapi informasi tersedia secara komprehensif baik lewat situs, media sosial, hingga dibagi lewat selebaran, umbul-umbul dan terpampang di reklame. Sehingga para pengunjung tidak merasa tersesat untuk memilih mana kegiatan yang mereka sukai dari IGF 2018 ini. Sistem informasi yang bagus ini juga membuat IGF 2018 terasa mengubah atmosfer kota Solo. 

3. Keterlibatan para ahli di festival seperti Rahayu Supanggah dan Garin Nugroho, menambah bobot kegiatan ini. Tidak semua festival mempunyai aktor intelektual dan kultural di belakang penyelenggaraannya. Dengan keberadaan sosok-sosok itu, terasa sekali IGF 2018 tidak hanya festival hura-hura, tapi juga punya dasar filosofis yang kuat. 

4. Kelompok gamelan yang tampil sangat beragam, dari mulai para pemain mancanegara hingga siswa SD, dari pemain profesional hingga amatir. Kegiatan yang dimunculkan juga sangat bervariasi dari mulai panggung musik (tentunya), konferensi akademik, pameran hingga pasar makanan. Keterlibatan pedagang kaki lima di festival juga menjadi pertimbangan yang luar biasa. 

5. Ini saya baru ketahui. Di festival ini ada kepanitiaan yang unik bernama knowledge management. Bagian ini khusus mengurusi hal ikhwal pengetahuan dan sejarah tentang gamelan. Ini adalah ide luar biasa karena selama ini festival cenderung terjebak pada keriaan (saja) dan minim aspek edukasi. Ternyata hasilnya lain jika aspek edukasi ini memang diniatkan ada dan diurusi secara independen. 

6. Keberadaan Indonesiana selaku perpanjangan tangan Dirjen Kebudayaan dalam hal penyelenggaraan dan pendampingan, berfungsi sangat baik. Tugas Indonesiana secara umum adalah berkoordinasi dengan pihak panitia lokal dan terus memberi masukan serta mengawasi jalannya festival agar luarannya tetap berada dalam jalur UU no. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ada sembilan festival inti dan empat festival pendukung di Indonesia tahun ini dan Indonesiana berupaya menjadikan seluruh festival tersebut lebih terintegrasi sehingga dampaknya menjadi terasa bagi masyarakat secara luas. Indonesiana, sejauh ini, berhasil mengisi "jurang" yang selama ini menganga antara panitia lokal dengan pemerintah pusat. 

Kesan mendalam saya tentang IGF 2018 seyogianya menjadi oleh-oleh paling nikmat bagi warga Bandung yang tidak kunjung punya festival yang membanggakan. Saya tentu tidak berharap oleh-oleh ini tersimpan hanya sebagai pengetahuan dan pengalaman saja. Semoga suatu saat bisa teraplikasikan entah dengan cara bagaimana, bisa kecil maupun besar. 

Akhirul kata, pesawat pulang sudah menunggu. Bandung, kota tempat saya lahir dan besar, sudah menanti untuk dicumbui. Terima kasih, IGF 2018, Indonesiana, dan Dirjen Kebudayaan, sampai jumpa di lain kesempatan. Salam budaya!



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat